Halloween party ideas 2015

Kalau Yesus tidak Bangkit Pagi Ini

Paus Fransiskus saat menyampaiakn pesan Urbi et Orbi
pada 5 april yang lalu, foto dari catholicnewsagency.com
Yesus bangun tepat pada pagi hari. Yesus memang manusia seperti kita, bangun pada pagi hari. Pagi-pagi buta seperti penggembala kerbau di kampung saya. Atau juga seperti ibu-ibu pedagang sayur di Pasar Cempaka Putih, Jakarta. Atau juga seperti tukang bersih jalan di jantung kota Parma. Mereka bangun pagi-pagi buta. Bangun tidur memang mesti pagi-pagi. Saya kenal seorang pastor tua di paroki saya dulu. Dia bangun pagi-pagi dan berdoa. Baginya, pagi hari adalah waktu yang tepat untuk berbicara dengan Dia. Seperti saya juga dulu, bangun pagi, sejak SMP untuk belajar pagi, sebelum berangkat sekolah. 

Pagi hari memang waktu yang baik untuk menyegarkan diri. Termasuk melihat apakah betul yang kita lihat itu sudah jelas. Maria pergi kubur pagi ini dan melihat kubur kosong. Batu palang juga sudah digulingkan. Tidak ada orang di sana. Betulkah kubur itu kosong? Betulkah yang Maria lihat itu sudah jelas? Ataukah dia dihantui ketakutan sampai menghalanginya untuk melihat yang sebenarnya? Maria memang melihat tetapi tidak jelas apa sebenarnya yang terjadi. Apalagi dia langsung merasa takut menghadapi peristiwa ini. Di sana rupanya ada seorang pemuda, berbaju putih, yang membuat Maria bisa melihat dengan jelas.

“Jangan mencari Dia. Dia tidak ada di sini. Dia sudah bangkit”, begitu kira-kira katanya pada Maria.

Dia sudah bangkit. Maklum, pagi hari. Pagi-pagi buta. Kita bangun dari tidur dan Yesus bangun dari tidur panjangnya. Dia memikul salib dan akhirnya wafat pada Jumat lalu dan hari ini, Minggu pagi, Dia bangkit. Dia tidak ada di kubur. Kubur hanyalah tempat istirahat sementara baginya. Dia akan bangkit dari kubur itu. Yesus memberi kita gambaran, hidup kita kurang lebih seperti hidup Yesus. Kita mati dan dikuburkan tetapi kita tidak tinggal dalam kubur itu.

Di kubur itu, kita singgah sementara. Setelahnya—seperti Yesus—kita akan bangkit. Kubur itu seperti terminal sementara. Terminal pusat, tempat banyak orang datang menunggu bus. Dan memang kubur itu seperti terminal, dan bukan tujuan akhir. Dari sana kita akan dibawa menuju tujuan akhir hidup kita. Tujuan akhir perjalanan kita.

Yesus sudah pergi dari terminal itu. Itulah sebabnya Dia bangun dari situ. Orang mencarinya di situ tetapi Dia tidak ada di situ. Maria dan para murid—seperti kita—sudah terlambat. Kereta sudah pergi. Bis terakhir sudah berangkat. Kita kadang-kadang—seperti Maria dan para murid—suka bangun terlambat. Suka mengulur waktu sampai ketinggalan kereta, ketinggalan pesawat, ketinggalan bis. Ada juga yang datang hanya sampai di terminal. Mereka tidak tahu mencari bis dengan jurusan yang mereka tuju. Mereka datang hanya untuk mengantar keluarganya di terminal. Lebih dari mengantar, mereka juga hanya mau melihat Yesus itu. Sayang, Yesus itu tidak ada di terminal.

Yesus memang tidur di kubur yang kita sebut sebagai terminal itu, tetapi Dia tidak tidur selamanya di sana. Meski hanya sementara, orang-orang datang ingin melihatnya. Termasuk kita—kiranya. Beginilah kadang-kadang gambaran iman kita. Iman sebatas sensasi. Iman sebatas yang tampak dari luar. Iman seperti ini dimiliki banyak orang dalam setiap agama.

Iman yang seolah-olah mendalam padahal dangkal. Iman yang seperti air di kolam yang jarang dibersihkan. Iman kolam ikan. Iman yang kelihatannya biru atau hijau dan dalam padahal hanya 1 meter. Dalam 1 meter itu terdapat banyak plankton dan bunga-bunga air. Itulah yang menghambat penglihatan. Iman yang hanya sebatas mau melihat tetapi tidak mau mencari langkah berikutnya.

Maria dan para murid—seperti umat Katolik di Paroki Santa Cristina hari ini. Kami tidak membayangkan akan ada umat sebanyak ini. Baru kali ini gereja ini tidak bisa menampung umat yang datang. Pastor paroki memberi salam kepada semua yang datang dan menegaskan bahwa baru kali ini gereja penuh. Biasanya hanya 200 sampai 300 orang. Hari ini diperkirakan lebih dari 400 orang. Ini sudah banyak untuk ukuran paroki di tengah kota Parma ini. Tentu jumlah ini kecil dibanding gereja-gereja di Jakarta, Jogja, Makasar, apalagi di Flores, Timor, Ambon, Bali, dan Papua.

Iman seperti ini kiranya perlu terus dibina. Iman sejatinya tidak boleh statis tetapi dinamis. Iman perlu perkembangan. Ini tentu tugas setiap orang beriman. Iman dengan demikian menjadi sebuah pencarian. Entah pencarian dengan akal atau juga dengan pengalaman sehari-hari. Iman yang bagi kelompok tertentu harus bisa dipertanggung jawabkan. Tentu dengan akal. Iman yang bagi yang lain juga tak perlu dipertanggung jawabkan dengan akal tetapi dinyatakan dalam perbuatan, dalam kenyataan hidup sehari-hari. Iman seperti inilah kiranya yang juga dimiliki Maria dan para murid Yesus.

Dengan iman ini mereka mencari Yesus. Pencarian mereka mungkin hanya sampai ‘terminal’ tetapi ini adalah titik dasar untuk perjalanan iman selanjutnya. Iman memang kadang sulit dimengerti. Dan justru seperti inilah yang dialami para murid. Mereka hidup dan tinggal bersama Yesus namun butuh waktu bagi mereka untuk memahami arti semua yang Yesus buat. Iman yang butuh pemahaman dan pencarian.

Kiranya umat Katolik hari ini—yang merayakan Minggu Paskah, Pesta Kebangkitan Yesus—tidak saja berhenti pada menjadi Katolik Napas alias Natal-Paskah. Tetapi, menjadi orang Katolik yang menjiwai kesehariannya dengan nilai-nilai Katolik. Tidak dipungkiri iman seperti ini kadang-kadang sulit. Lebih gampang menjadi Katolik Napas ketimbang menjadi Katolik sepanjang hari, apalagi sepanjang hidup. Bagaimana pun menjadi Katolik memang sejatinya adalah menjadi orang yang selalu mencari. Tidak akan pernah puas dengan sebuah penemuan. Hari ini mungkin bertemu Yesus dalam doa namun besok tidak ada lagi pengalaman perjumpaan seperti ini. Tidak apa-apa. Meski Yesus tidak dijumpai sehari-hari, Dia sebenarnya sudah berpesan, “Marilah dan Kamu akan melihatnya.” Marilah kita mencari dan kita akan melihatnya.

Selamat Paskah 2015

Parma, 6 April 2015
Gordi


Post a Comment

Powered by Blogger.