Halloween party ideas 2015

FOTO, terangker.com
Untuk kedua kalinya kudengar burung itu bernyanyi. Malam ini baru kudengar dengan jelas. Entah karena suasananya sepi. Tidak ada bunyi lain yang kudengar. Di luar jendela kamarku ada beberapa pohon rimbun. Musim semi membuat pohon-pohon itu berimbun. Daun-daunnya lebat. Daun itu rupanya jadi rumah idaman bagi burung-burung. Entah karena dekat dengan jendela kamarku, nyanyian burung itu kudengar dengan jelas. Dua kali lagi. Padahal, selama ini, jarang kudengar nyanyiannya. Entah karena aku terlalu sibuk mendengar yang lain. 

Burung itu mungkin menegurku untuk mendengarnya. Betapa tidak, dua kali kudengar nyanyiannya. Bunyi mobil yang lewat di jalanan samping kamar malah tak kuhiraukan. Entahkah karena aku patuh dengan teguran burung ini?

Atau, mungkin burung itu memang mengajakku untuk mendengarnya? Sungguh jika demikian, dia berhasil mengajakku. Dia ibarat guru yang mendidik didikannya sampai berhasil. Guru yang mendidik anak didiknya seperti yang ia inginkan. Padahal, mendengarkan itu amat sulit. Anak sekolah tidak tahan tinggal tanpa bersuara selama 45 menit dalam kelas. Kalau pun bisa, itu karena dipaksa. Atau karena takut dimarahi guru. Di ruang sidang anggota DPR sulit mendengar satu sama lainnya.

Memang anggota DPR lebih cenderung untuk ribut, mempersoalkan korupsi, dana proyek, PSK dan mengabaikan suara rakyat yang memilih mereka. Anggota DPR memang kadang-kadang membohongi pemilihnya. Mereka menawarkan janji manis. Parahnya lagi rakyat kecil dengan mudahnya saja tergoda manisnya janji itu. Rakyat memang adalah pendegar ulung. Mungkin pendengar seperti burung beo juga. Mendengar begitu saja apa yang dikatakan pembicara. Tetapi, anggota DPR mestinya belajar mendengarkan dari rakyat kecil yang memilih mereka. Anggota DPR sebenarnya lebih parah lagi karena setelah berjanji, mereka abaikan suara rakyat. Mereka memang betul-betul tidak tahu mendengarkan suara rakyat.

Nyanyian burung itu kudengar kedua kalinya. Aku dengar dengan jelas. Suaranya nyaring memecah kesunyian malam. Malam adalah simbol ketakutan. Tapi, mengapa burung itu bernyanyi. Dan, burung itu bernyanyi seperti penyanyi di tengah konser. Burung itu mungkin tidak takut. Memang burung itu tidak takut. Burung itu mengajakku untuk tidak takut sekalipun dalam kegelapan. Burung itu seperti telah merayakan kemerdekaan. Dia bebas tanpa beban bernyanyi.

Nyanyiannya mungkin mengajakku untuk hidup bebas. Hidup merdeka tanpa tekanan, tanpa beban, tanpa ketergantungan dengan yang lain. Mungkin terlalu sulit untuk melepas ketergantungan itu. Tapi, burung itu kiranya sudah membuka jalan. Dia memberiku contoh. Bernyanyi di malam hari. Tanpa rasa takut. Seolah-olah ada terang dalam kegelapan. Hidup memang mestinya tanpa rasa takut, tanpa suasana gelap. Hidup mesti bersinar untuk sesama. Hidup mesti bebas tanpa ketergantungan.

Ah burung itu tak kudengar lagi. Mungkin dia hanya datang untuk memberiku isyarat bahwa hidup ini mesti dihidupi dengan bebas. Rasa bebas dari semua yang mengunkung kehidupan. Dengan hidup bebas, beban berat pun bisa dipikul. Malam pun bisa jadi siang. Ah betapa indahnya hidup dalam kebebasan. Betapa nyanyian burung itu adalah nyanyian kemerdekaan.

Terima kasih untuk nyanyianmu

PRM, 19/5/15
Gordi

Post a Comment

Powered by Blogger.