Halloween party ideas 2015


Seorang ibu tampak ketakutan. Ia tidak berbicara dengan teman di sampingnya. Tiap kali ada penumpang baru masuk, dia selalu melihat ke kiri dan ke kanan, mengenali wajah penumpang lain. Ia tetap diam hingga tiba di tempat tujuannya. Begitulah kondisi di bis kota, Metromini, beberapa waktu lalu.*Gambar: google images

Kebanyakan penumpang angkutan umum di Jakarta memilih untuk diam. Mereka diam ketika berhadapan dengan orang baru. Budaya inisiatif untuk menyapa hilang. Mereka akan sibuk dengan keasyikannya sendiri ketika berada di dalam mobil atau kereta. Di dalam Metromini, saya temukan para penumpang yang diam. Anak mudi/a sibuk dengan HP atau MP3-nya, yang tua diam saja tanpa berkomentar. Di dalam bis Transjakarta juga sama. Penumpang berdesakan. Setelah mendapat tempat duduk, kebanyakan memilih untuk diam, tidak peduli dengan teman di samping. Mereka yang berdiri juga sama. Mereka hanya melihat pemandangan di luar bis, atau bergeser ketika ada penumpang lain yang hendak menempati tempat di samping, depan, dan belakangnya.

Hal yang sama terjadi dalam kereta. Selain duduk/berdiri berdesakan, penumpang juga berhadapan dengan pengamen, penjual, dan pengemis. Di tiap stasiun, ada satu (kelompok) oknum yang tidak dikenal yakni pencopet jalanan. Dia (mereka) pun diam, tidak berbicara dengan korban. Yang naik sibuk mencari tempat duduk, yang turun sibuk membereskan barang bawaan, yang mencopet sibuk mencari korban. Yang berbicara hanya mereka yang sudah berkenalan.

Diam berarti misteri. Diam berarti banyak hal. Namun, diam di dalam angkutan umum adalah diam karena curiga dan takut. Curiga terhadap teman di samping. Sebab, teman dalam sekejap saja bisa jadi lawan. Takut terhadap pencopet jalanan. Menurut pengakuan beberapa teman, mereka diam di angkutan umum karena takut. Bayangan tentang pencopet menjadi bayangan yang menakutkan. Kasus-kasus pencopetan jalanan pun kian marak. Ada pencopet yang menggaet kalung emas penumpang di stasiun kereta, ada penodong yang mengancam korban yang sedang berduaan dengan temannya demi mendapatkan sepeda motor, ada pencopet yang menggaet tas korban ketika bersama-sama melaju di jalan, ada pencopet yang membobol ATM, dan sebagainya.

Bayangan pencopet yang menakutkan ini membuat kebanyakan penumpang diam. Diam dan berjaga-jaga agar selamat dari pencopet. Diam sambil menaruh curiga terhadap teman di samping. Ketakutan membungkam mereka untuk diam, tidak mau berbicara, menyapa dengan teman di samping. Ada beberapa teman mengatakan ketakutan bisa hilang pelan-pelan ketika kita bisa berbicara dengan teman penumpang di samping. Saat itulah dia tidak merasa sendiri. Namun, ini tidak mudah. Hanya untuk menyapa saja tampaknya sulit. Ada juga yang “memasang” tampang muka bengis sehingga pencopet takut. Padahal yang namanya pencopet itu tidak mengenal korban, tidak mengenal orang baik/jahat.

Kapan lagi penumpang bisa berbicara? Apakah tunggu pencuri lenyap dari angkutan umum? Mungkin saja. Tetapi, hal itu sulit ditebak. Pencuri datang tanpa kenal waktu. Lebih baik kita tetap mau menyapa dengan teman penumpang lain daripada kita menunggu pencopet lenyap dari angkutan umum. Pekerjaan kita (hanya) menyapa. Dari (tegur) sapa, kita berkenalan. Setelah kenal, kita bisa berbagi cerita. Kalau sampai bercerita, kita tidak takut lagi. Meskipun, kita tetap was-was. Boleh curiga namun jangan sampai kecurigaan kita terlalu besar sampai kita tidak bisa menyapa. Memilih berjalan bersama teman tampaknya lebih nyaman karena kita bisa bercerita. Namun, tak jarang kita mesti pergi sendiri. Kita bisa saja beda tujuan bepergian dengan teman sehingga tidak bisa pergi bersama. Oleh karena itu, mari kita saling menyapa dengan siapa saja.
Cempaka Putih, 27 Februari 2011
Gordy Afri


Gambar: Google images
Tiap kali merayakan hari ulang tahun pasti saya kembali membayangkan peristiwa kelahiran saya. Entah mengapa saya punya kebiasaan seperti itu. Pada hari itu juga saya merasa bahagia ketimbang hari lainnya. Boleh dibilang inilah hari bahagia kekal saya dalam hidup. Oleh sebab itu saya rindu untuk merayakan hari ulang tahun di mana pun dan kapan pun. Kerinduan itu pun menjadi kerinduan abadi dalam hidup.

Menurut cerita mama, kelahiran saya menjadi sebuah momen bahagia bagi keluarga. Dua tahun setelah menjalani hidup berkeluarga, Bapak dan Mama merindukan anak, dan saat itu juga Kakak saya lahir. Kerinduan berikutnya adalah kehadiran saya sebagai adik. Kata mereka, sempat muncul rasa was-was, “Jangan-jangan kita mesti menunggu dua tahun lagi baru adik ada.” Beruntung ketika kakak saya berusia 1,1 tahun, saya lahir. Bapak dan mama amat bahagia. Selain mereka, keluarga dan orang yang membantu proses kelahiran saya turut berbahagia.

Kini, 24 tahun peristiwa itu berlalu. Masihkah ada yang berbahagia? Tanggal 15 Februari yang lalu usia saya merayakan ulang tahun ke-24. (Hmmm…setahun lagi genap ¼ abad). Pada hari itu juga ucapan selamat berbahagia datang dari berbagai penjuru. Yang pertamaYang kedua adalah konfrater sekomunitas. Yang ketiga adalah teman-teman saya yang menyampaikan ucapan selamat melalui dunia maya (facebook dan email). Teman-teman di dunia maya dibagi dalam dua kelompok yakni kelompok di dalam negeri dan kelompok luar negeri. Yang keempat—yakni  pada malam hari—adalah bapak dan mama serta kedua adik saya yang paling kecil. Pertanyaan di atas tadi dapat dijawab. Selain saya dan keluarga, masih ada orang yang berbahagia di usia saya yang ke-24. mengucapkan selamat adalah adik saya yang pertama dan yang kedua.

“Perawat” pohon kehidupanku
Tangan pertama yang menyentuh jiwa dan raga saya adalah Mama. Dialah yang membesarkan dan mendidik saya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Air susunya menjadi sumber hidup bagi jiwa dan raga saya. Dalam pelukannya yang berbalut cinta, saya bertumbuh secara ragawi dan psikologis. Katanya dalam suatu percakapan dengan saya, “Kamu dulu punya raga yang besar ketimbang kakak. Berat badan saya juga lebih besar. Banyak tidur dan sering nangis pertanda lapar atau mau buang air.” Selain dia ada BapakTerima kasih untuk Mama dan Bapak. yang sering bermain di waktu senggang. Kalau pulang sekolah, dia menggendong saya. “Kamu cepat tertidur kalau digendong,” katanya. Dalam tanggannya yang hangat saya dibesarkan.

Saya bertumbuh dalam didikan para guru/pendidik meski pendidik pertama dan utama adalah Bapak dan Mama. Saya mengingat kembali peran pendidik yang membentuk kepribadian dan pemikiran saya hingga saat ini. Saya mencoba menghitung kira-kira sudah mencapai 50-an lebih pendidik baik di pendidikan formal maupun yang informal dan nonformal. Selain mereka, saya ingat almarhum Kakak saya dan Adik-adik saya yang juga berperan dalam mendidik saya. Saya menganggap merka sebagai “perawat” pohon kehidupanku. Terima kasih buat para pendidik, pengajar, almarhum Kakak dan Adik-adik saya. Pengalaman hidup bersama kalian amat berharga bagi saya.

Saya yang sekarang
Saya yang sekarang adalah buah dari pendidikan yang diberikan keluarga dan para pendidik saya. Saya menjadi “saya yang sekarang” dengan segala kelebihan dan kekurangan, dengan sikap dan sifat serta tingkah laku yang sekarang adalah buah dari perawatan para pembentuk kepribadian saya. Selain keluarga dan pendidik dalam arti luas, yang memengaruhi perkembangan kepribadian saya adalah lingkungan dan teman-teman. Lahir dan dibesarkan di kampung, mendapat pendidikan menengah di kota kecil, dan sekarang menghidupi hidup harian di kota besar. Singkatnya, saya yang sekarang adalah saya yang dirawat, dibesarkan, dididik, dan dipengaruhi oleh keluarga, pendidik, teman, dan lingkungan. Saya berterima kasih buat semua teman saya sejak sebelum sekolah dasar hingga saat ini.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya mau berdoa bagi teman-teman dan siapa saja yang tidak merasa bahagia di saat hari ulang tahunnya. Saya ingat teman-teman di penjaraanak-anak jalanan dan kaum tuna wisma yang tidak sebahagia saya dalam merayakan hari ulang tahunnya. Semoga Tuhan memberi mereka kebahagiaan hati dalam mensyukuri hari ulang tahun mereka. Saya juga berdoa bagi teman-teman yang dengan segala cara mendukung panggilan hidup saya hingga saat ini. Tuhan sudah membalas jasa kalian. yang tidak bisa berbahagia bersama keluarga di hari ulang tahunnya. Saya ingat teman-teman saya khususnya

Akhirnya, saya mau bersyukur dan berterima kasih kepada Bapa di surga atas anugerah usia yang baru ini. Usia yang baru ini menjadi kesempatan yang baik untuk mewujudkan impian saya. Bagi saya, peziarahan ini belum berakhir. Kesempatan kemarin hingga saat ini menjadi pijakan yang kuat untuk meloncat ke peziarahan esok, lusa, dan hari-hari ke depan. Apa yang sudah saya lakukan, saya persembahkan buat Tuhan. Dan Tuhan ingin memberi tugas baru bagi saya yakni membagi kasih-Nya kepada sesama lewat kesaksian hidup saya. Mari teman-teman, kita bersama-sama, melangkah berdampingan, membagikan kasih Tuhan kepada sesama. Aminnn…

Cempaka Putih, 18 Februari 2011

Gordy Afri

foto dari google
Masih teringat jelas dalam benak kita, aksi akrobat para pemain sejagat dalam ajang “pesta piala dunia 2010” di Afrika Selatan. Sejuta mata melotot ke sana, sejuta orang beramai-ramai ke sana. Di sana ada pesta sejagat. Afrika Selatan menjadi “tempat wisata” sesaat yang mengundang sejuta tamu manca negara. Afrika Selatan bukan saja menjadi tempat yang dituju tetapi juga tempat asal sang reformator ulung yang beberapa waktu lalu sempat dikabarkan meninggal. Padahal dia masih hidup dan sedang dirawat.

Beberapa waktu lalu, kami di komunitas menonton dan mendiskusikan sebuah film menarik yang berjudul “Invictus”. Artinya “tak terkalahkan”. Film ini membuat kami antusias dan memberi sejumlah inspirasi. Di tengah hiruk-pikuk perjuangan negeri kita tercinta Indonesia ini, kami justru menemukan sosok pemimpin yang mampu mengubah situasi (reformator). Inspirasi film ini membuat saya bertanya, mungkinkah Indonesia mempunyai seorang reformator saat ini? Jawabannya mungkin. Hanya saja siapakah orangnya. Negara ini membutuhkan reformator. Kalau tidak, kita akan terhanyut dalam perdebatan tak berujung dan peristiwa-peristiwa yang membuat telinga kita panas mendengarnya.

Petualangan sang reformator
Nelson Rolihlahla Mandela atau dikenal dengan Nelson Mandela lahir di Mvezo, Transkei, 18 Juli 1918. Sekarang dia berusia 93 tahun. Ia adalah anak pertama dari keluarganya yang mengikuti sekolah. Pada umur 16 tahun (1934) dia mulai berkenalan dengan kebudayaan Barat ketika mengenyam pendidikan di Clarkebury Boarding Institute. Tempat lain yang membuat wawasan berpikirnya berkembang adalah Forth Hare University, di mana ia menentang kebijakan universitas dan dikeluarkan; University of South Africa, Johannesburg; University of the Witswatersrand, tempat ia mengambil kuliah di bidang hukum. Selain itu dia pernah menjadi aktivis dan ikut dalam African National Congress (ANC) atau Kongres Nasional Afrika tahun 1942. Di sini dia mulai menggagas aktivitas antiapartheid (pemisahan atau perbedaan ras).

Mandela memulai karirernya menjadi pengacara muda kemudian menjadi ketua ANC. Berbagai aktivitas antiapartheid membawanya ke penjara selama 27 tahun di Robben Island. Ia dibebaskan pada 11 Februari 1990. Dia dan Presiden Frederick Willem de Klerk (menjabat selama 20 September 1989-10 Mei 1994) mendapat hadiah Nobel Perdamaian pada 1993. Mandela adalah presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan yang terpilih pada 10 mei 1994. Ia menjabat selama 5 tahun (10 Mei 1994-16 Juni 1999). Ia turun ketika warga menilainya gagal memberantas penyakit AIDS yang merebak saat itu. Anaknya Makgatho Mandela menjadi korban AIDS pada 6 Januari 2005.

Berpaling ke Afrika Selatan
Mandela adalah contoh reformator ulung. Seperti pejuang antiapartheid (anti Rasisme) lainnya misal Malcom X di Amerika, Mandela menghadapi berbagai tantangan. Sejak menjadi pengacara muda, dan menjadi ketua ANC, dia sudah dihadapkan dengan yang namanya tantangan. Perjuangan memang menjadi unik ketika dihadapkan dengan tantangan. Puncak perjuangan Mandela adalah ketika dia dipenjara selama lebih kurang 27 tahun. Waktu yang matang untuk membentuk sebuah pemikiran. Apa daya cita-cita Mandela terbendung ketika dia mendekam di dinding tembok penjara. Meski demikian dia tidak mundur. Dalam penjara dia mengatakan dia bersedia mati untuk visinya (membebaskan Afrika Selatan dari apartheid.)

Film “Invictus” hanyalah sebagian dari bentuk perjuangan Mandela. Film ini menampilkan perjuangan Mandela untuk mempersatukan Afrika Selatan melalui olahraga yakni permainan Rughby. Mandela memberi kepercayaan kepada kapten untuk mengharumkan nama Afrika Selatan. Sesuatu yang unik. Kapten dan sebagian besar pemain rughby berkulit putih, hanya satu pemain yang berkulit hitam. Mandela menaruh kepercayaan pada sang kapten. Dia pun tidak ragu-ragu dengan rendah hati mengundang sang kapten ke kantornya untuk “minum teh” bersama. Dia juga mengajak para pemain untuk turun ke seluruh pelosok tanah air, melihat langsung kondisi negeri, mencari bibit pemain, dan meminta dukungan warga.

Indonesia dan Mandela
Film ini cocok ditonton oleh kaum pemimpin di negeri ini (Indonesia). Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari “bunga kehidupan” sang reformator ulung ini. Melihat kondisi masyarakat kita saat ini yang diliputi berbagai masalah kemiskinan, cuaca tidak menentu, harga pangan naik, kejahatan, dan sebagainya, sudah saatnya pemerintah turun tangan. Gaya kepemimpinan Mandela bisa diterapkan di Indonesia. Kaum pemimpin misalnya berani turun tangan mengentas kemiskinan, memebri dukungan kepada para petani untuk meningkatkan produksi pangan. Selain itu kaum pemimpin perlu turun tangan melihat langsung tantangan yang dihadapi nelayan dan masyarakat kecil lainnya, dan membuat langkah konkret untuk membantu mereka.

Mandela tahu betul kondisi masyarakat dan negaranya. Dia pun tidak segan memanfaatkan potensi yang ada. Alangkah baik kalau kaum pemimpin memanfaatkan potensi di negeri ini dan memberi semangat kepada rakyat untuk mendukung upaya ini. Potensi laut yang bisa memperkaya para nelayan dan masyarakat lainnya. Bahkan dengan perjuangannya, para nelayan kita bisa menjaga kawasan terluar negeri ini. Potensi angin dan matahari yang bisa digunakan untuk pembangkit listrik. Akhirnya semuanya kembali kepada kita semua (pemerintah dan rakyat), apakah kita mau berubah? Mau menjadi reformator dalam setiap tugas dan profesi kita? Tidak cukup membuka mata tetapi mesti bertanya, apa yang bisa saya lakukan dengan ini semua?
Cempaka Putih, 6 Februari 2011
Gordy Afri
Powered by Blogger.