Halloween party ideas 2015

Bulan Agustus identik dengan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan yang tiap tahun dirayakan. Mulai dari rakyat kecil di pelosok kampung hingga pejabat tinggi di kota-kota besar dan di ibu kota negara, Jakarta. Namun, dari media masa, ada laporan kalau ada daerah tertentu (di dekat perbatasan) yang belum dan baru saja merayakan perayaan besar ini.
Tahun ini, bulan Agustus bukan saja identik dengan kemerdekaan. Saudari/a Muslim mengadakan ritual puasa. Maka, bulan Agustus (untuk tahun ini) idetik dengan bulan puasa (ramadhan). Dalam bulan puasa, saudari/a Muslim mau membebaskan diri (merdeka) dari nafsu duniawi. Jangan heran kalau makanan ada hanya saat buka puasa di sore hari.

Ada keunikan lain di bulan Agustus. Menjelang tanggal 17 muncul banyak pertanyaan di dunia maya dan media masa. Pertanyaan yang dominan seputar tema “kemerdekaan”. Ada yang bertanya, “Sudah merdekakah kita?” Jawabannya beragam. Ya, tidak, sebagian merdeka sebagian belum, dalam bidang tertentu ya, bidang lain tidak. Ada pula yang menguraikan “kemerdekaan” itu sendiri. Dulu, rakyat mau merdeka dari penjajah asing. Sekarang, rakyat mau merdeka dari penjajah dalam negeri.

Jauh dari pertanyaan abstrak seperti itu, ada hal yang mencolok di mata kita. Bulan Agustus identik dengan bendera Merah Putih. Di mana-mana, di kantor, pertokoan, perumahan, dan tempat umum lainnya, Merah Putih berkibar. Bahkan di gang-gang rumah rakyat, ada bendera Merah Putih. Meski ukurannya kecil dan terbuat dari bahan plastik. Ketika dipasang antara dua tiang, kumpulan bendera kecil ini menjadi pemandangan yang mencolok. Di kendaraan juga, ada kibaran Merah Putih.

Dari laporan media, diketahui bahwa, jumlah bendera yang berkibar tahun ini berkurang. Tahun lalu, di setiap gang, ada untaian panjang Merah Putih. Tahun ini, ada juga namun jumlah untaiannya sedikit. Selain itu, para penjual bendera tahun lalu lebih banyak ketimbang tahun ini. Begitu juga dengan laporan tukang jahit bendera. Tahun ini jumlah pesanan menurun ketimbang tahun sebelumnya.

Dari sini, bisa diketahui, sejauh mana geliat rakyat merayakan kemerdekaan bangsa ini. Ibarat orang yang tidak memiliki arah masa depan yang jelas. Bahkan kalau boleh dibilang, ada kemunduran geliat merayakan kemerdekaan. Secara umum, rakyat bisa saja jenuh dan kecewa dengan pencapaian pemerintah menyejahterakan rakyatnya. Mata rakyat melihat penyelesaian kasus korupsi yang tak kunjung selesai.

Selain itu, rakyat sediri mengalami kekecewaan lain. Kekecewaan yang menyentuh hidup harian mereka. Mereka yang menjadi nelayan merasa tidak diperhatikan. Tak ada upaya untuk memberdayakan kegiatan mereka. Para petani sawah merasa tidak dihiraukan perjuangan mereka. Hasil usaha mereka berhadapan dengan beras impor. Tak ada upaya untuk meningkatkan usaha mereka. Petani garam dijanjikan bantuan namun sekaligus juga pemerintah mengimpor garam. Barang kebutuhan rakyat lainnya juga diimpor. Jangan heran kalau di toko-toko ada buah-buahan impor, sepatu impor, pakaian impor, dan sebagainya. Kapan rakyat bisa puas dengan hasil usahanya?

Rakyat Malaysia, India, dan Korea bangga dengan hasil buatan dalam negerinya. Para pejabat diwajibkan memakai kendaraan buatan negeri sendiri. Rakyat pun ikut-ikutan lalu membanggakan hasil usaha mereka. Mereka bisa puas. Sebagian besar kebutuhan dalam negerinya dihasilkan rakyat sendiri. Indonesia agak beda. Ada banyak potensi di laut, udara, dan darat yang bisa diolah. Namun, pemerintah dan rakyat enggan menggalinya. Kapan Indonesia bangga dengan hasil karyanya?

Pertanyaan “sudah merdekakah kita”, agak sulit dijawab dengan “Ya, merdeka” dan sulit juga dijawab “Belum merdeka”. Di jalanan ada banyak mobil mewah. Akan ketahuan bahwa pemiliknya adalah orang berada. Kalau orang luar melihat banyak mobil mewah di jalan dan hanya mobil mewah di tol, akan muncul kesan Indonesia sudah kaya sudah merdeka. Kenyatannya???

Dari bidang pendidikan, ada kebanggaan terutama prestasi anak bangsa dalam olimpiade internasional. Namun, pendidikan Indonesia bukanlah soal memenangkan olimpiade. Itu hanya kebangaan sesaat saja. Secara keseluruhan, pendidikan Indonesia diwarnai komersialisasi. Biaya mahal, bertaraf internasional meski mutunya jauh dari kesan internasional. Kalau pendidikan sebagai agen of changes sebuah negara saja nasibnya begini, bagaimana bangsa ini bisa berubah?

Banyak orang Indonesia berprestasi yang tinggal di luar negeri. Peneliti unggul merasa dirinya tidak dihargai kalau tinggal di Indonesia. Penelitiannya tidak berkembang karena kekurangan dana penelitian. Mereka masih ingat Indonesia dengan sesekali mengadakan pertemuan bersama orang berprestasi. Namun, mereka tetap bekerja di (dan untuk) luar negeri.

Bagaimana mau mengelola kekayaan laut, kalau ahlinya tidak ada? Bagaimana mau mengeloala tambang kalau ahlinya harus didatangkan dari luar negeri? Bagaimana menyejahterakan masyarakat di sekitar lokasi tambang kalau hasil tambang dibawa ke luar negeri oleh pengelolanya dan sebagian ke pusat?

Ini hanya sekelumit potret bangsa Indonesia di hari ulang tahunnya ke-66. Pertanyaan sudah meredeka atau belumkah bangsa ini tidak perlu dijawab ‘ya’ dan ‘tidak’ secara singkat. Kondisi bangsa menjadi titik pijak untuk merefleksikan sejauh mana bangsa ini sudah merdeka dan sejauh mana belum merdeka. Tanpa mengurangi hasil debat pro merdeka dan pro belum merdeka, saya mengucapkan Selamat HUT ke-66 untuk bangsa Indonesia. Merdeka!!!!!

Jakarta, 27 Agustus 2011
Gordi Afri

Ternyata kata “filsafat” masih asing bagi orang tertentu. Beberapa teman bahkan berkomentar, baru dengar nama itu. Entah karena kurang baca, kurang dengar, kurang simak berita, atau alasan apa sampai muncul reaksi itu.

Bisa jadi mungkin karena “filsafat” itu kurang disosialisasikan (dimasyarakatkan) sehingga kurang familiar. Namun, beberapa teman juga mengatakan (orang-orang) filsafat itu terlalu mengawang-awang (abstrak). Ini mungkin karena (ilmu) filsafat itu tinggal dalam menara gading, yang mengerti hanya yang belajar filsafat itu sendiri. *Gambar google images

Mendefinisikan “filsafat” itu memang agak rumit. Ketika defiinisi dibuat selalu saja ada yang kurang. Lantas ada komentar, apakah filsafat itu sebatas itu? Dosen saya bahkan pernah membuat mahasiswa/i-nya kaget. Dia memberikan beberapa definisi filsafat dari beberapa filsuf. Anehnya, terakhir dia mengatakan, filsafat itu tak terdefinisikan.

Maksudnya, “filsafat” itu tak bisa dibatasi dalam definisi itu. Masih ada celah yang bisa ditanyakan dari definisi yang ada. Dari uraian sebelumnya saja, ada pertentangan antara para filsuf. Tak jarang pula muncul definisi, filsafat itu merupakan ilmu yang diawali dan diakhiri dengan pertanyaan. Bisa membingungkan bukan?

Saya mencoba memaparkan sebagian kecil dari definisi filsafat. Definisi yang diambil dari beberapa ahli ini tentu saja masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana pun definisi sebuah kata, kadang-kadang tidak memenuhi kandungan maksud kata itu. Itulah filsafat. Yang jelas ada guyonan, STF (Sekolah Tinggi Filsafat) itu adalah Sekolah Tanpa Faedah.

Nama ”filsafat” dan ”filsuf” berasal dari kata-kata Yunani philosophia dan philosophos. Berdasarkan bentuk kata, seorang philo-sophos adalah seorang ”pencinta kebijaksanaan”. Ada tradisi kuno yang mengatakan bahwa nama ”filsuf” (philosophos) untuk pertama kalinya dalam sejarah dipergunakan oleh Pythagoras (abad ke-6 SM). Tetapi kesaksian sejarah tentang kehidupan dan aktivitas Pythagoras demikian tercampur dengan legenda-legenda sehingga seringkali kebenaran tidak dapat dibedakan dari reka-rekaan saja. Demikian juga dengan hikayat yang mengisahkan bahwa nama ”Filsuf” ditemukan oleh Pythagoras (Bertens,  Sejarah Filsafat Yunani, 1999:17-18).

Arti philo-sophos yang adalah pencinta kebijaksanaan ini agak lain dari pengertian filsafat atau falsafah menurut kamus ilmiah populer. Dalam kamus ini, filsafat atau falsafah mempunyai pengertian yakni pengetahuan tentang, asas-asas pikiran dan perilaku; ilmu mencari kebenaran dan prinsip-prinsip dengan menggunakan kekuatan akal; pandangan hidup (yang dimiliki oleh setiap orang); ajaran hukum dan prilaku; kata-kata arif yang bersifat didaktis (lih. Widodo (ed), Kamus Ilmiah Populer, 2002:147).

Lain lagi pengertian filsafat menurut kamus umum bahasa indonesia. “Filsafat atau falsafat atau falsafah berarti pengetahuan dan penyelidikan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya daripada segala yang ada dalam alam semesta atau pun mengenai kebenaran dan arti ’adanya’ sesuatu.”( Poerwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1987:280).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah pencinta kebijaksanaan, kebijaksanaan akan pengetahuan; asas-asas pikiran dan perilaku; asas-asas hukum; dan pandangan hidup dengan menggunakan kekuatan akal budi (bdk. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, 1991:18).

*Tulisan ini merupakan olahan dari tugas kuliah di STF Driyarkara pada semester ganjil tahun 2008.

Jakarta, 10 Juli 2011
Gordi Afri


google images
Bagi sebagian orang menyebut hantu itu gampang sekali. Tak jarang ketika terjadi sesuatu, dengan gampang terlontar kata-kata “itu hantu”.

Biasanya hantu dikaitkan dengan tempat gelap. Sebagian orang di kampung saya dulu meyakini kalau hantu itu berkeliaran di tempat gelap. Sejak kecil juga, saya dikuasai keyakinan itu. Namun, sampai sekarang saya belum pernah melihat hantu. Seperti apa bentuknya, tidak jelas. Tak jarang bagi orang tertentu, hantu itu tidak ada.

Kelompok ini meyakini demikian karena belum pernah melihat hantu. Hantu tidak termanifestasi dalam bentuk fisik. Kalau demikian, dari mana orang mengatakan itu hantu? Bisa saja hal ini terkait dengan keadaan perasaan seseorang. Perasaan takut ketika berada di tempat gelap memicu seseorang untuk mengatakan itu hantu.

Hantu sampai di sini merupakan nama yang tidak jelas. Nama itu diciptakan begitu saja, tanpa ada wujudnya yang jelas. Hantu pada zaman dulu merupakan nama untuk kekuatan negatif,  semisal setan, jin, dan sebagainya. Bagi orang yang punya kekuatan untuk melihat kekuatan semacam ini, hantu itu ada. Mereka yakin ada hantu. Ini tentu tidak bisa diterima oleh mereka yang tidak bisa melihatnya. Dua kubu berbeda yang tidak bisa disamakan.

Seorang murid bisa menuduh gurunya hantu. Apalagi kalau dia tidak mengenal betul gurunya. Petrus yang sudah lama tinggal dengan gurunya (Yesus) pun belum mengenal betul gurunya itu. Dia bingung ketika guru itu menghampirinya. Lagi-lagi Petrus dikuasai perasaan takut. Takut terbawa arus laut. Perasaan ini yang membuatnya berteriak, “Itu hantu…”.

Bagi orang yang berada dalam kegelapan, teriakan itu hantu mudah saja. Meski tak jelas, mereka bisa berteriak. Jadi tuduhan itu hantu sebanrnya bisa muncul dari situasi kegelapan. Jangan-jangan kalau hati manusia gelap, teriakan itu juga muncul.

Bisa saja demikian. Ketika seseorang tak bisa lagi menerangi yang lain, yang lain akan tetap berada dalam gelap. Maka dia dan mereka tetap gelap. Dari sini bisa muncul teriakan itu hantu. Ketika kita berada dalam situasi terhimpit, di situ pun bisa muncul kegelapan.

Kalau sang guru itu benar-benar hantu, apa yang terjadi? Sang murid tak dikenali lagi. Demikian pun sebaliknya. Namun, sang guru tetap mengenal muridnya. Hanya saja murid lupa dengan gurunya.

Bagi orang yang masih mengenal sesamanya sebagai manusia, keadaan gelap itu akan menjauh. Dari perkenalan yang mendalam itulah lahir terang yang mengusir hantu. Maka, kalau dia benar-benar hantu, sinarilah dengan terang. Kelak teriakan itu akan berbunyi..”Itu saudara/iku…”

Saudara/I itu bukan hantu. Mereka manusia yang dikenal. Mereka mengenal aku. Kita saling kenal. Tak ada lasan untuk bermusuhan. Tak ada alasan untuk menuduh..  “Itu Hantu” meski datang godaan untuk menuduh demikian.

Cempaka Putih, 7 Agustus 2011
Gordi Afri



 


Powered by Blogger.