Halloween party ideas 2015

Jadikan pendeta sebagai panggilan dan jangan jadikan pendeta sebagai profesi atau pekerjaanmu
FOTO: Family Vacation


Demikian pesan Pendeta Markus F. Manuhutu dalam kata sambutan acara Ibadah Peneguhan untuk Adventino Ekaristi Priyonggo sebagai pendeta pada Minggu, 10/6/2012. Pendeta Markus adalah Ketua Majelis Sinode GPIB. Kata-kata ini bertuah. Wajar jika ini dijadikan bahan sambutan untuk pendeta muda dari pendeta tua yang banyak makan garam.

Pendeta sebagai panggilan berarti pendeta seumur hidup. Suka dan duka dijalani sebagai tugas pendeta. Di daerah terpencil banyak kekurangan jika dibandingkan fasilitas di kota. Di situlah pendeta ditantang untuk menjadikan aktivitas hariannya sebagai pendeta.

Sebaliknya pendeta sebagai pekerjaan/profesi berarti menghitung jam kerja. Layaknya seorang direktur perusahaan yang bekerja mulai pukul 9 pagi hingga 5 sore. Pekerjaannya dihitung dalam satuan waktu. Di luar jam itu ia bukan direktur lagi. Jika hitungan seperti ini diterapkan dalam kehidupan harian seorang pendeta, boleh jadi pekerjaannya akan gampang-gampang saja. Dia mencari yang mudah dilakukan, yang fasilitasnya lengkap. Di luar itu bukan pekerjaan pendeta.

Saya teringat kata-kata Romo Dr. Al Andang Binawan di STF Driyarkara saat kuliah Moral Keluarga. Dia mulai dengan bertanya, apa bedanya panggilan dan profesi? Apakah menjadi seorang ibu merupakan sebuah profesi? Kalau ya, maka, ibu itu tidak bisa melayani anak-anaknya dengan sepenuh hati. Lebih buruk lagi jika ia menghitung jumlah jam memasaknya atau jam mencucinya.

Menjadi seorang ibu berarti merasa diri dipanggil menjadi seorang ibu. Ibu bekerja tanpa kenal waktu. Bangun pagi tiap hari, menyusui anaknya, memasak, dan aktivitas lainnya, dilaksanakan tanpa menghitung. Inilah panggilan menjadi seorang ibu.

Betapa celakanya jika ibu menghitung pekerjaannya dari pagi sampai jam 12 siang. Setelahnya bukan pekerjaannya lagi. Dia tidak beda dengan pekerjaan seorang PNS yang masuk jam 7 dan pulang jam 1. Apa jadinya jika setelah masak malam, ibu bilang selesailah pekerjaanku. Ibu tidk seperti itu. Ibu-ibu di kampung seperti mama saya dulu, selesai makan malam, kami mencuci piring lalau setelah itu dia masih menyempatkan diri melatih kami membaca dan mengerjakan tugas. Terima kasih mama sayang jasamu besar buat kami anak-anakmu.

Jadi, hargailah setiap pekerjaan Anda, lihatlah itu sebagai panggilan dan bukan profesi belaka.

CPR, 9/7/2012
Gordi Afri

foto: di sini

Menjadi penjaga gerbang. Ini tugas baru saya di kota Yogyakarta. Menjadi penjaga berarti bertanggung jawab untuk menutup dan membuka gerbang.

Tampaknya ringan. Dan memang ringan. Menutup dan Membuka. Hanya saja menuntut tanggung jawab yang tinggi. Bayangkan jika saya lupa menutupnya. Pencuri masuk. Berapa banyak kerugian jika pencuri beraksi. Di rumah ada banyak yang bisa diambil pencuri. Ya...namanya pencuri mengambil sesuka hati, semau dia, semampu dia.

Bayangkan pula jika saya telat membukanya di pagi hari. Saya membukanya pada pagi dan menutupnya pada malam hari. Tukang kebun yang biasanya masuk pagi juga tukang koran yang masuk pagi tidak bisa masuk. Mereka kecewa dan saya dirugikan. Lebih dari sekadar rugi, mereka menilai saya lalai menjadi penjaga gerbang.

Tidak ada yang lebih istimewa selain membuka dan menutup gerbang di pagi dan malam hari. Saat buka, ada suasana segar, udara pagi yang bersih, kesunyian yang indah. Saat tutup ada suasana ramai, bukan hanya karena deru kendaraan di jalan ring road utara tetapi juga bunyi jangkrik dan binatang malam lainnya. Ada pemandangan romantis di sela-sela rerimbunan pohon nangka, mangga, cemara, dan beberapa pohon rimbun lainnya.

Sungguh ini pengalaman unik. Tiap pagi dan malam saya berolahraga. Berjalan dari pintu kamar, turun, melewati belasan anak tangga, lalu dari pintu rumah ke pintu gerbang. Lumayan, sekali jalan 100 meter. Kalau dihitung, pergi-pulang pagi dan sore, sudah 400 meter. Ini olahraga jalan kaki yang didapat dari tugas jaga gerbang. Belum bolak-balik naik turun tangga.

Wah ini hikmat luar biasa. Belum lagi sapaan ke pemilik rumah sebelah, bapak-bapak dan ibu-ibu serta mbak-mbak yang ke pasar pada pagi hari atau yang sedang lari pagi dan lewat di depan gerbang. Menyapa orang-orang yang sama. Jadi akrab dan saling kenal.

Inilah hikmat dari tugas menjaga pintu gerbang. ringan tetapi menuntut tanggung jawab. Berkorban untuk bangun pagi tetapi memiliki banyak kenalan.

PA, 27/7/2012
Gordi Afri


Wanita rentan terhadap tindakan diskriminatif. Mereka direndahkan. Mereka menjadi tak berdaya. Boleh jadi akar dari semua ini adalah anggapan bahwa wanita itu lebih rendah ketimbang kaum lelaki. Padahal sejatinya wanita dan lelaki itu mempunyai derajat yang sama. Tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Penulis novel ini, Abidah El Khalieqy, menyadari tindakan diskriminatif terhadap kaum wanita. Dia adalah salah satu yang menyadari lalu bangkit memberontak (dengan menulis). Kiranya dia dan kita setuju bahwa tindakan diskriminatif terhadap perempuan harus dihentikan.

Novel ini mengisahkan kehidupan Nisa dan pamannya Lek Khudhori. Mereka mula-mula sama-sama memiliki keinginan yang sama yakni belajar. Sang ponakan suka dengan gaya didik pamannya. Ponakan, Nisa, menimba banyak ilmu dari pamannya. Sampai suatu ketika sang paman kuliah di Arab dan sang ponakan tetap mengirim surat. Mereka saling mengirim surat.

Meski mengisahkan kisah cinta sang ponakan dan sang paman, novel ini mempunyai pesan yang menarik yakni perjuangan terhadap kaum perempuan. Penulis dengan berani mengajukan pertanyaan kritis misalnya mengapa perempuan dilarang puasa pada saat haid?

Menurut hemat saya, pertanyaan kritis semacam ini menumbuhkan minat bertanya pada pembaca untuk menggugat diskriminasi terhadap perempuan. Kiranya dengan pertanyaan ini muncul pertanyaan lain yang kritis.

Penulis yang adalah penyair dan novelis ini mengulas kehidupan di pesantren. Kisah seputar pembacaan Alqur’an oleh para santri, pelajaran bahasa Arab, dan pelajaran lain yang terkait. Semuanya diulas dengan bahasa yang mengalir.

Penulis yang banyak mendapat penghargaan bidang tulis menulis antara lain Penghargaan Seni dari Pemerintah DIY 1998 mengajak pembaca untuk membuka mata terhadap kehidupan perempuan. Semoga dengan membaca novel ini banyak kaum perempuan menyadari kehidupannya dan bangkit berjuang emngkritisi segala yang ada. Perempuan kiranya tidak boleh tinggal diam, menerima begitu saja peraturan yang ada. Bukan untuk memberontak secara fisik tetapi mencari dasar argumen dari peraturan yang ada. Dengan demikian pemahaman mereka diperkaya.

Judul buku: Perempuan Berkalung Sorban(Sebuah Novel)
Pengarang: Abidah El Khalieqy
Penerbit: Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Tahun terbit: 2001, 2009 (edisi revisi)

CPR, 7/7/2012
Gordi Afri

Rabu, 18 Juli 2012. Malam ini turun hujan pertama di kota Yogyakarta. Saya baru beberapa hari di kota ini dan baru merasakan hujan pertama. Entah sebelumnya kapan hujan terakhir. Yang jelas tanah-tanah di kota ini masih kering. Debu di lapangan basket depan rumah makin banyak. Tanah kering karena kekurangan air hujan.

Hujan ini membawa berkat bagi kami di Yogyakarta. Berkat apakah itu? Paling tidak kami tidak perlu menyiram tanaman dan bunga-bunga kami. Air hujan sudah mencurahkan kesegaran kepada tanaman itu. Kami hanya berterima kasih kepada Tuhan sang pemberi hujan.

Kota Yogya sebentar lagi tampak hijau. Bunga-bunga mekar setelah menyerap air hujan. Debu-debu jalanan makin hilang. Jalan-jalan tampak bersih tanpa ditaburi debu yang mengotori lubang hidung.

Inilah berkat dari hujan pertama di kota ini. Tuhan sudah merencanakan semuanya.

PA, 19/7/2012
Gordi Afri


Kaum abal-abal. Siapakah kaum abal-abal? Arswendo, penulis novel ini mengangkat kehidupan kaum abal-abal. Boleh jadi mereka bukan siapa-siapa tetapi di tangan Arswendo, kehidupan mereka menjadi cerita menarik.

Kaum abal-abal menurut Arswendo adalah kaum miskin, tak berdaya, tukang ribut, susah diatur (hlm. 1). Novel ini mengisahkan kehidupan mereka ini. Kalau dibahasakan secara umum mereka ini adalah kaum lemah. Mereka lemah dari segi sosial. Tidak punya modal untuk bertahan dalam kehidupan sosial. Mereka ini tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Tak jarang mereka ditipu atau dipaksa mengaku palsu. Justru karena lemah mereka gampang diperdaya oleh oknum tertentu.

Inilah yang dikisahkan penulis novel ini. Bahasa yang digunakan Arswendo mudah dipahami. Seperti dalam novel lainnya, bahasa Arswendo menarik dan mengalir. Uraiannya detail. Kekuatannya pada segi mendeskripsikan kehidupan kaum abal-abal. Pembaca dibawa masuk dalam seluk-beluk kehidupan mereka. Ada yang jadi tukang preman jalanan, tukang rampok, tukang hajar orang, dan kriminal lainnya. Ulah mereka kadang-kadang meresahkan warga. Petugas keamanan kadang-kadang enggan menghentikan aksi mereka karena kekuatan tak sebanding. Atau juga tidak berefek jera.

Kehidupan yang antah-berantah ini menjadi cerminan keseharian kaum abal-abal. Bagaimana pun kehidupan mesti berujung pada satu titik. Bagi mereka titik itu adalah penjara atau rumah tahanan. Ini tentu bukan pilihan mereka. Tetapi, titik itu mau tidak mau mesti diterima. Kaum abal-abal rentan dijadikan oknum palsu oleh kaum yang kuat. Mereka dipaksa mengaku palsu demi menyelamatkan kaum kuat yang melakukan tindakan kriminal.

Di penjara mereka masih melanjutkan aksi mereka. Memang tidak seterang-terang sewaktu di dunia luar. Di penjara mereka beraksi sesuai situasi dan kondisi. Mereka memeras anggota baru atau juga kaum berduit. Tawuran pun tak terhindarkan.

Selain itu novel yang ditulis oleh penyair, wartawan, novelis, kolumnis ini mengisahkan kehidupan napi (narapidana) beserta istri dan anak-anak mereka di dunia luar. Istri mereka kadang-kadang menjenguk sang suami, ada juga yang tidak dijenguk sama sekali.

Arswendo yang beberapa kali mendapat penghargaan dalam dan luar negeri juga mengulas keseharian petugas penjara. Ada kongkalingkong antara napi, penitera, jaksa, hakim, dan polisi. Tentu semuanya diulas dalam gaya bahasa novel yang menarik.

Novel ini bisa dibaca oleh siapa saja untuk mengetahui seluk beluk kehidupan dalam dunia tahanan/penjara. Kehidupan narapidana sebelum dan sewaktu menjadi tahanan. Juga, relasi antara polisi, hakim, jaksa, petugas penjara, dan narapidana. Semuanya dirangkai dalam ulasan yang menarik, bernas, dan mengalir.


Judul buku: Abal-abal(Sebuah Novel)
Pengarang: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
Tahun terbit:1994


CPR, 7/7/2012
Gordi Afri


Selasa, 10 Juli 2012. Ada sejarah baru dalam perjalanan hidup saya. Hari ini, saya meninggalkan kota Jakarta. Saya akan melanjutkan kehidupan di kota Yogyakarta. Saya pun meninggalkan konfraters di Jakarta.
Dua sepeda motor melaju menuju terminal Rawamangun. Kornel dan saya lalu Asis dan Pandri. Kami berempat berangkat ke tempat ini. Ya...mereka datang demi saya. Kami akan berpisah pada sore ini. Kami memang telah menghabiskan 6 tahun bersama sejak masa pranovisiat. Fonsi yang juga teman seangkatan tidak bisa hadir untuk mengantar saya ke terminal.





 
Saya salut dengan mereka. Asis baru saja bangun tidur saat Kornel memanggilnya untuk berangkat ke Rawamangun. Pandri dan Kornel sedang berada di depan komputer. Mereka meninggalkan kesibukan atau hobi mereka dan mengantar saya. Kami memang sudah hidup bersama dan akan selalu bersama meski dalam bentuk yang berbeda.

Saya menumpang bis Safari Dharma Raya ke Jogja. Kornel, Asis, dan Pandri ikut mengantar sampai di dalam bis. Tas besar disimpan di bagasi bawah sedangkan tas kecil saya simpan di bawah kursi. Kami berfoto-foto di dalam bis. Lalu, foto-foto di luar bis. Setelahnya kami berpelukan dan berpisah. Perpisahan yang amat sederhana. Hanya ada kata...sampai bertemu lagi di lain kesempatan.



Setelahnya, mereka menuju tempat parkir dan mengambil motor. Saya duduk di kursi nomor 17 sambil menunggu bis berangkat. Tiba-tiba mereka lewat di luar bis dan melambaikan tangan. Sempat-sempatnya mereka melemparkan senyum manis ke arah saya.

Kami kini berpisah oleh tempat. Saya melanjutkan karya di Yogyakarta. Kornel dan Asis akan melanjutkan karya di salah satu komunitas Xaverian di Indonesia. Pandri melanjutkan studi ke Parma-Italia. Fonsi akan melanjutkan studi di STF Driyarkara. Kami tinggal di tempat yang berbeda namun kami tetap bersatu. Kami yakin Tuhan ada bersama kami dan kami akan bersatu dalam doa. saling mendoakan...itulah pesan yang selalu bergema ketika kami merasa lemah dan tidak ada semangat. Pesan itu kini menggema kuat ketika kami ada di tempat yang berbeda.

Mereka mengantar sampai di terminal. Terminal adalah tempat akhir dan tempat awal sebuah perjalanan. Saya mengawali karya saya di Yogyakarta sejak keberangkatan dari terminal ini. Semoga “terminal” yang sama melekat di hati kami seangkatan yang sebentar lagi mengalami kehidupan baru. Tuhan kami bersyukur atas kebersamaa kami di Jakarta kami mohon sertailah perjalanan hidup kami selanjutnya.

Yogyakarta, 11/7/2012
Gordi Afri

Gambar dari google

Pekerjaan harian wartawan ternyata bisa dikisahkan dalam bentuk novel. Kesibukan jurnalis mulai dari mencari berita, mencari nara sumber, mengejar deadline (batas waktu masuk berita) berita, berhadapan dengan pemimpin redaksi, dan tantangan lainnya bisa menjadi roh sebuah novel. Inilah yang diangkat oleh penulis novel ini.

Penulis novel ini yang adalah Guru Besar Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP Negeri Singaraja, Bali ini dengan jeli mengisahkan perjalanan jurnalistik Hardiman, sang jurnalis. Dia mau menyelidiki kasus terbunuhnya Siska Ambarwati, sang pengusaha dan perempuan penghibur papan atas. Hardiman menjalankan tugas yang dipercayakan Seno, sang pemimpin redaksi ini dengan baik.

Jurnalis ini pun bekerja tanpa kenal lelah. Inilah salah satu pesan yang didapat dari novel ini. Pekerjaan apa pun asal dilakukan dengan semangat juang akan membuahkan hasil. Pembaca diajak oleh penulis novel untuk menelusuri seluk beluk berita yang muncul di koran harian. Berita itu ternyata diproses dengan panjang. Jurnalis biasanya mencari berita dan redaksi menyiapkan terbitan berita itu.

Penulis yang juga seorang penulis puisi, cerpen, novelet, novel, ratusan esai, dan kolom mengarahkan pembaca dari satu alur ke alur berikutnya. Ulasannya ringan dan mudah dibaca. Novel ini bisa dibaca dalam waktu singkat. Tiap akhir bab selalu muncul pertanyaan, bagaimana kisah selanjutnya? Pertanyaan inilah yang membuat pembaca tak berhenti begitu saja pada akhir tiap bab.

Ulasan novel bergaya jurnalistik ini membuat novel ini mudah dibaca. Bahasa jurnalistik dipadukan dengan bahasa sastra/novel. Kata-kata yang digunakan juga menarik, ringan, mengalir, dan mudah dipahami. Untuk lebih jelasnya pembaca bisa membaca novel ini. Bagaimana kisah terjadinya pembunuhan terhadap cewek yang adalah pengusaha dan penghibur papan atas ini? Silakan membaca di novel ini.

Judul buku: Siska Ambarwati (Sebuah Novel)
Pengarang: Sunaryono Basuki Ks
Penerbit: Grasindo, Jakarta
Tahun terbit: 2004

CPR, 7/7/2012
Gordi Afri
Powered by Blogger.