Halloween party ideas 2015

Aku hanya seorang tukang kebun
foto oleh Bambang Setiari
Tanpa aku kebun kita jadi berantakan
Tanpa aku kebun kita tidak indah
Tanpa aku kebun kita tidak terawat

Aku hanya tukang kebun
Tiap sore menenteng selang air
Tuk menyiram tanaman
Tiap sore berhadapan dengan debu

Di musim kering aku akrab dengan tanamanku
Di musim hujan juga aku akrab
Tuk mencabut rumput liar
Kini aku sibuk dengan kebunku

Tiap sore ada tugas mulia
Merapikan kebun kami
Kelak pada saatnya nanti
Kami memetik buah dari buah-buahan yang ada di kebun

Ada mangga, jambu, nangka, pepaya, markisa, rambutan, dan sebagainya
Tak sia-sia aku menyiram
Lumayan irit duit tuk beli buah
Buah hasil usaha sendiri emang segar
Lebih segar dari buah di pasar
——————–
Obrolan malam
PA, 2/10/2012
Gordi Afri



foto oleh Saleh Iskak
Aku hanya seorang tukang kebun
Tak patut jika engkau berbicara tentang ekonomi denganku
Aku hanya tahu, kebun, kebun, dan kebun
Tetapi kalau ekonomi yang berkaitan dengan kebun aku bisa
Katakanlah aku jual buah dan engkau membelinya
Laku….

Yang kayak gini aku tahu
Tetapi kalau kamu ngomong soal ekonomi kerakyatan, ekonomi Barat, dan sebagainya
Maaf aku tak paham
Tetapi aku tidak mau ditipu dengan istilah
Aku hanya seorang tukang kebun dan tidak mau dipusingkan dengan istilah-istilah
Aku tetap berusaha memahami istilah dalam dunia perkebunan

Ya… paling tidak berkaitan dengan kesuburan tanah dan pertumbuhan hasil kebunku
Kandungan humus dalam tanah misalnya
Musim berbuah tuk setiap jenis buah
Buah paling laku
Buah paling manis
Suhu yang cocok untuk setiap jenis buah

Aku memang hanya seorang tukang kebun
Tetapi aku mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kebun
Ada juga ekonomi, sejarah, biologi, pertanahan, kimia, dan sebagainya
Jadi tukang kebun itu memang megasyikkan
Bukan hanya bergulat dengan kebun saja
Tetapi aku bergulat dengan segala yang berkaitan dengan kebun

Nah kalau berkaitan dengan korupsi?
Aku juga bisa masuk ke sana secara tidak langsung
Kalau orang menipu aku kan arahnya bisa ke korupsi
Tetapi ya itu terlalu jauh

Aku bisa menyentuh bidang korupsi tetapi bukan sebagai pelaku
Boleh jadi sebagai pelapor kasus korupsi
Tetapi sebelum itu terjadi
Lebih baik aku mengurus kebunku
Buah-buahan di kebunku membutuhkan air
Dan air itu harus saya berikan
Kalau tidak mereka tidak berbuah lagi

Baca juga:
————————
Obrolan pagi…..

PA, 3/10/2012
Gordi Afri

*Dimuat di blog kompasiana pada 3/10/2012



foto oleh Buruh Migran Indonesia
Negara tanpa buruh adalah negara tanpa industri
Siapa pun boleh jadi setuju dengan pernyataan ini. dengan itu mau dikatakan bahwa buruh adalah aset negara. Seperti profesi lainnya, buruh juga mempunyai sumbangan luar biasa bagi negara. Perkembangan industri tidak lepas dari peran buruh. Ilmuwan boleh saja menemukan hal baru. Selanjutnya temuan itu dilanjutkan oleh para buruh. Mereka bekerja demi mewujudnyatakan temuan itu. Bayangkan jika negara tanpa buruh. Industri akan macet. Masyarakat terkena imbasnya. Jangan harap ada kemajuan bagi amsyarakat luas.

Seorang kawan pernah berkomentar bahwa buruh di sebagian besar negara di Eropa dihargai dengan gaji tinggi. Mereka juga punya hak atas hari libur dan hari istirahat. Tak boleh mempekerjakan buruh semau kita. Pekerjaan buruh sudah diatur dalam undang-undang yang mengikat.

Jangan bandingkan dengan buruh Indonesia. Dia juga memaklumi, Indonesia belum semaju dengan negara Barat. Kata orang Indonesia memang maju. Ekonominya bagus. Mereka juga berbondong-bondong datang ke Indonesia. Berinvestasi di sini. Buka perusahaan di negeri ini. Ujung-ujungnya mereka mempekerjakan tenaga Indonesia.

Tenaga kerja Indonesia memang banyak. Katanya yang tamat kuliah pun akan jadi tenaga kerja kasar. Dalam negeri saja banyak. Bahkan sebagian lagi ke luar negeri. Dengan jumlah sebesar itu, negara ini sebenarnya sudah maju. Sumbangan para tenaga kerja besar. Tetapi mengapa sampai hari ini buruh kita masih belum sejahtera?

Itu karena kebijakan pemangku jabatan. Begitu komentar orang. Ya…ada benarnya. Buruhkan hanya pelaksana tugas. Apa yang diperintahkan atasan itulah yang mereka lakukan. Tak pernah atau jarang diajak berdialog, duduk bersama, membicarakan seuatu. Ya…buang-buang waktu saja. Jumlah buruh saja banyak. Mau bicara satu-satu?

Tak mungkin. Bisa kok bicaranya ringkas saja. Inti pembicaraan adalah menyejahterakan kehidupan mereka. hidup sejahtera menenteramkan hati. Kalau hati sudah tenteram pekerjaan pun jadi nyaman. Tak ada paksaan. Tak ada persaingan. Tak ada rasa diperas. Tak ada rasa ditipu. Tak ada rasa seperti kelinci percobaan, ditendang sana-sini. Kalau mau sejahtera, tempatkan kami, para buruh, di satu pos, dan bekerja di situ sampai menjadi mahir. Kami merasa diperas jika ditendang ke sana kemari. Hari ini di sini, bulan depan di sana, tahun depan tak tahu ke mana lagi. Kami punya anak-istri-suami yang harus kami hidupi. Kalau kami ditendang, bagaimana dengan kehidupan keluarga kami? Mereka butuh makan. Tak pantas kami diombang-ambingkan, diiming-iming, dibuai janji palsu. Kami juga manusia yang patut dihormati.

Wahai para penguasa dengarlah teriakan kami. Sampai kapan kami hidiup dalam situasi tidak emnentu? Jangan jadikan kami sebagai tenaga kontrakkan. Kontrak berarti tidak punya kebijakan. Sebentar-bentar kami dipuji, sebentar-bentar kami dihina. Biarkan kami bekerja dengan aman tanpa memikirkan akan di kemanakan lagi. Biarkan kami bekerja di tempat ini. jangan melempar kami ke perusahaan-perusahaan yang tidak jelas rimbanya. Nanti hidup kami terombang-ambing. Bagaimana jika kami mengombang-ambingkan hidup kalian, wahai para penguasa? Boleh jadi kalian tidak mau. Nah..ayo donk…hargailah kami.
——————-
Obrolan pagi dari seorang TUKANGKEBUN

PA, 3/10/2012
Gordi Afri



Foto oleh Craig A Rodway
Kali ini (Sabtu-Minggu, 29-30 Maret 2014) untuk kedua kalinya terjadi pergantian waktu. Ini menjadi aturan dasar, katakanlah demikian, di Eropa. Kala musim berganti, waktu juga berganti. Tadi malam, tepatnya jam 11 malam, waktu dimajukan satu jam, sehingga menjadi jam 12 malam. Waktu yang kemarin rupanya hanya berlaku di musim dingin sejak 26 Oktober lalu. Pembaca bisamembaca di sini, pengalaman saya waktu itu. Saat itu, waktu mundur 1 jam.

Semalam waktu berganti lagi. Dimajukan 1 jam. Beberapa bagian ritme hidup akan berganti juga. Saya mengatur kembali jam-jam saya. Jam weker yang ada di bawah bantal saya. Juga jam tangan, dan jam di atas meja, dan jam dinding. Keempat elemen inilah yang saya ganti. Namun persoalannya bukan sampai di sini saja.

Saya mengatur keempatnya. Kecuali 1, jam yang ada di atas meja yang sulit diatur karena alasan teknis. Namun, pagi ini kala bangun, saya bingung karena keempatnya menunjuk waktu yang berbeda. Jam weker hamper sama, hanya beda 1-2 menit saja. Sedangkan jam dinding dan jam di atas meja sama sekali beda. Perbedaan antara keduanya 30 menit. Sedangkan perbedaan keduanya dibandingkan dengan jam weker dan jam tangan 45 menit. Saya hamper tidak mau bangun karena ingin bermalas-malasan di atas ranjang.

Untunglah saya bias mengatasinya. Saya bangun dan memutuskan untuk mengikuti jam weker. Rupanya ini yang benar. Saya keluar kamar dan melihat jam lainnya. Saya kembali ke jalan yang benar. Saya harus mengatur kembali jam-jam yang belum benar ini.

Mengikuti perubahan memang membutuhkan pengorbanan. Kadang-kadang elemennya belum siap. Tetapi bersiap-siaplah untuk menghadapi ketidaksiapan ini lalu mengatasinya sehingga menjadi siap.

Selamat hari Minggu untuk para pembaca.

Parma, 30/3/2014

Aku ingin menulis sesuatu tentang kamu. Sudah dipikirkan matang-matang sebelumnya. Hanya satu langkah lagi untuk menulis. Yakni mengetik dengan jari. Sayang sekali langkah terakhir ini gagal. Yah…seperti anak SD yang belajar 6 tahun tetapi gagal gara-gara satu mata pelajaran yang diuji dalam tempo 1 jam.

Satu langkah terakhir yang amat berharga. Tak lengkap jika langkah itu tidak dibuat. Rasa-rasanya gampang padahal sulit dalam kenyataannya. Itu sudah lebih dari setengah. Toh..akhirnya gagal. Tak peduli lebih dari setengah atau mendekati selesai.

Sebuah proyek memang mesti selesai. Jangan ada yang tertinggal. Ibarat proyek monorel di ibu kota yang mesti selesai. Sayangnya yang ada hanya rancangan tiang. Entah itu sudah berapa puluh persen dari rancangan awal. Di mata kita proyek itu gagal.

Banyak contoh lain yang mana pekerjaan akhirnya belum selesai. Demikianlah kondisi jalan di beberapa desa. Jalan itu dibiayai oleh pajak rakyat. Entah namanya jalan negara, jalan provinsi, jalan bantuan daerah tertinggal. Belum selesai dibuat tiba-tiba berhenti. Katanya dananya kurang. Lha…kalau kurang kenapa tidak diminta lebih banyak? Atau jangan-jangan rancangannya pas tetapi dananya dikorupsi.

Ah…aku tak jadi menulis tentang kamu. Aku buka facebook tadi dan ternyata ada teman yang mau ajak bicara. KAmi pun berbicara dan lupalah ide menulis tentang kamu. Gak apa-apa yah…kapan-kapan baru disambung. Ini peristiwa tiba-tiba. Yang jelas aku bukan perencana di negeri ini yang membuat proyek tetapi tidak selesai. Mereka gampang saja membuat laporan. Padahal rakyat menderita karena menjadi korban pertama.

—————————
Obrolan pagi menjelang siang

PA, 5/10/2012
Gordi Afri

Tulisan hilang. Baru saja dibuat. Siapa yang mencurinya? Bukan siapa-siapa. Dunia maya ini kan bisa saja saling curi. Tetapi ini bukan pencurian yang menghebohkan. Bukan juga kasus saling curi. Bukan plagiat juga. Ini murni tulisan yang hilang.

Tadi saya sedang menulis di blog kompasiana. Biasanya memang saya menulis di komputer lalu masukkan di blog ini. Bukan menulis langsung di blog. Gara-gara beberapa minggu terakhir sering menulis langsung di blog, saya ketagihan. Nah..ketagihan inilah yang membuat saya menyesal bukan main.

Ketika mau menampilkan tulisan (posting), tiba-tiba komputer macet. Internetnya juga macet. Wah…keluar tulisan….LAMAN TIDAK BISA MERESPONS. Gawat. Tulisan saya hilang. Tak ada yang mencuri. Entah di mana rimbanya sekarang tulisan itu. Yang jelas saat proses menyimpan kemudian menampilkan, komputer dan jaringan internet macet. Tidak jadi proses itu. Lagi-lagi proses terakhir gagal.

Tak apa-apalah. Apa boleh buat. Ini jadi pelajaran berharga untuk selanjutnya. Beruntunglah saya masih bisa menulis lagi. Kesalahan dan kekesalan saat ini cukup untuk malam ini. Hari esok menanti dengan kejutan baru. Selamat malam buat pembaca semuanya yang setia.

——————

Obrolan malam

PA, 5/10/2012
Gordi Afri

foto oleh JJ Pacres
Siang-siang begini enaknya apa yah? Mari bermain dengan kata-kata biar otak tetap segar. Konon, ada pepatah klasik, belajar untuk hidup atau hidup untuk belajar? Pepatah ini amat terkenal. Bukan hanya itu, pepatah ini juga menjadi bahan perdebatan kami waktu SMA dulu. Menarik. Lumayan buat latihan berdebat sekaligus berdiskusi, merumuskan argumen yang logis.

Siang ini kita tidak ingin membahasnya lagi. Cukuplah itu pada massanya. Siang ini saya mengajukan pertanyaan yang mirip dengan itu. Hanya beda depannya saja. Belajar diganti dengan menulis. Menulis untuk Hidup atau Hidup untuk Menulis?

Begitulah jadinya kalaimat itu. Saya hanya mengajukan pertanyaan. Entah dianggap sebagai retorika belaka atau juga ada yanbg menjawabnya. Saya hanya melontarkan saja. Toh, kalau berdiskusi masing-masing orang punya jawaban, punya argumen.

Pilihan pertama, menulis untuk hidup, bisa. Menulis untuk menghasilkan uang. Uang ini digunakan untuk membiayai  sekolah atau membeli keperluan makanan, dan sebagainya. Menulislah sebanyak mungkin sehingga bisa memperoleh banyak uang.

Pilihan kedua, hidup untuk menulis, bisa juga. Setiap hari ada tulisan yang dihasilkan. Hidup ini tidak lain tidak bukan,  hanya untuk menulis. Lalau pekerjaan lain? Bekerja juga tetapi porsi terbesar adalah menulis. Menulis menjadi kegiatan dominan. Tiada hari tanpa menulis.

Teman-teman silakan memilih, pilihan pertama atau kedua. Mari berdiskusi juga kalau penjelasan saya tidak lengkap. Untuk itulah kita berbagi. Hidup untuk berbagi, menulis untuk berbagi, ngeblog untuk berbagi.

Selamat siang untuk pembaca semuanya.
———————
Obrolan siang menjelang santap siang

PA, 6/10/2012
Gordi Afri

foto oleh Bronwen Lee
Pernahkah kita memerhatikan kelima jari kita? Bagi yang hobi merawat kuku di tangan pasti sering memerhatikan jari. Yang lain boleh jadi jarang memerhatikan. Tetapi paling tidak kita mencuci tangan kita saat tangan itu kotor. Dengan itu, kita juga memerhatikan kebersihan jari-jari kita. 

Jari telunjuk biasanya kita gunakan untuk menunjuk orang, benda tertentu, arah tertentu, pohon tertentu, dan sebagainya. Intinya dia berfungsi sebagai penunjuk. Lebih dari penunjuk, jari itu juga melambangkan kesaktian kita. Engkau…kau..kamu…diucapkan dengan nada keras sambil menunjuk orang lain.

Ini tanda bahwa kita berkuasa atas orang yang kita tunjuk. Kita lebih benar dari orang yang ditunjuk. Dalam memerintah kadang-kadang jari ini juga berfungsi untuk menunjuk bawahan.

Tetapi satu jari tak bisa sebanding dengan empat jari lain. Ada yang mengatakan satu jari untuk orang lain dan empat jari untuk diri sendiri. Kalimat ini bisa ditafsirkan dengan dua hal.

Pertama, positif. Satu jari mau menunjukkan perhatian kita kepada orang lain. Tetapi empat jari menjadi rambu-rambu bagi kita sebelum menunjuk orang lain. Lihatlah diri sendiri sebelum mengoreksi orang lain. Perintahlah diri sendiri sebelum memerintah orang lain. Empat jari ini mengingatkan kita sebelum satu jari kita mengingatkan orang lain.

Kedua, negatif. Satu jari menunjukkan kesaktian kita pada orang lain. Menunjuk yang lain berarti kita yang berkuasa atas dia. Tetapi pantaskah kita berkuasa atas dia? Bukankah kita sama-sama dan sederajat? Tidak ada yang berkuasa dan tidak yang dikuasai.

Sementara empat jari yang lain menunjukkan keangkuhan kita. Ini bisa dilihat ketika kita menunjuk dengan satu jari terbuka sedangkan empat jari lain mengepal/ tertutup. Hanya satu yang kita berikan pada yang lain, hanya satu yang membuat kita menerima yang lain, sedangkan empatnya kita tutup dan hanya dinikmati sendiri.

Sungguh malangnya jika tafsiran kedua ini yang diterapkan. Apa jadinya nanti jika satu untuk kamu dan empat untuk aku. Egoisnya hidup ini. apa salahnya satu untuk aku dan satu untuk kamu? Apa ruginya jika empat untuk aku dan empat untuk aku? Apakah tidak lebih baik jika lima untuk aku dan lima untuk kamu?

Andai hujan dibagi-bagi kepada setiap orang siapakah yang mendapat banyak? Sayangnya hujan tidak mengenal manusia. Semuanya akan terkena basahnya. Demikian juga dengan matahari yang tidak memilih manusia sesuai kebaikan dan keburukannya. Yang baik yang buruk ia sinari. Semoga terangnya matahari menerangi hati kita semua dan semoga segarnya air hujan menyegarkan hati kita semua.

———–
Obrolan pagi

PA, 8/10/2012
Gordi Afri

Foto oleh Niccresswell
Hujan kemarin membawa berkah. Tukang kebun tak perlu menyiram tanaman. Kebunnya sudah diguyur hujan. Tanahnya basah, debunya hilang. Pohonnya segar. Tak perlu repot bawa selang, buka keran, dan menyiram dari pohon ke pohon. 

Ternyata hujan itu membuat lelaki yang itu tidak tampak seperti lelaki. Dia lelaki tetapi sepertinya tidak jantan. Kena hujan sekali saja langsung sakit. Boleh jadi dia tidak tahan hujan. Katanya, kehujanan makanya sakit. Padahal teman-temannya tidak ada yang sakit. Dia memang beda.

Katanya kehujanan, betulkah itu? Mereka, termasuk dia, membawa mantel/jas hujan. Kalau hujan di jalan, mengapa tidak memakai mantel itu? Kalau sudah ada mantel mengapa masih menjawab kehujanan?

Jangan-jangan dia berbohong. Beberapa temannya bilang kemarin mereka tidak kehujanan. Hanya ada gerimis sedikit, katanya. Apakah lelaki itu sakit karena gerimis itu? Ah…mana mungkin. Boleh jadi demikian.

Tetapi mungkinkah dia hanya ingin tidur saja? Mungkin juga seperti itu. Kalau begitu, dia sudah berbohong denganku. Katanya kehujanan padahal tidak. Katanya sakit padahal mau tidur.

Oh..engkau lelaki tetapi sungguh malang tipu muslihatmu. Engkau bilang sakit padahal bukan, engkau bilang kehujanan padahal tidak. Engkaulah lelaki yang bukan lelaki. Lelaki itu jantan. Dia seharusnya tidak berbohong. Lelaki itu biasanya jujur. Dia berani mengungkapkan kesalahan dan kebenaran.

Engkau sama sekali menyembunyikan kelelakianmu. Kelelakianmu itu adalah kejantananmu itu. Dengan sebutan lelaki dan dengan tubuh-fisik serta sifat yang kamu miliki, kamu memang pantas menjadi lelaki. Sayangnya kamu bukan lelaki yang digambarkan orang. Kamu lelaki yang lemah. Kamu pantas dijuluki lelaki yang bukan lelaki.

Ah..mendingan tukang kebun itu. Dia tidak menonjolkan diri sebagai lelaki sejati. Tetapi dari perbuatannya, dia tampak seperti lelaki. Dia memang adalah lelaki sejati. Dia merawat tanamannya dengan baik. Tak perlu takut, tak perlu menyembunyikan kebobrokan.

Lelaki, jantan, ya seperti tukang kebun itu. Dia kadang-kadang dianggap tidak berguna tetapi justru dia menggunakan segala yang ada demi kemajuan rumah tangganya. Banyak orang mendapat manfaat dari pekerjaanya. Tanpa dia mana ada buah-buahan berkelimpahan di pasar?

Boleh jadi dia tidak atau jarang ke pasar. Tetapi orang tahu buah ini berasal dari kebunnya. Buah manis itu merupakan hasil usahanya. Engkau lelaki. Tunjukkan bahwa kamu lelaki dan tak lemah dikala kehujanan. Buktikan bahwa kamu lebih besar dari guyuran hujan yang membuatmu sakit-sakittan dan bukan sakit.

PA, 8/10/2012
Gordi Afri

Terima kasih sudah mendengar ceritaku
Begitu katamu mengakhiri percakapan kita tadi
Aku tak menyangka engkau mengucapkan itu
Aku hanya datang dan berbincang-bincang denganmu

Rupanya engkau menjadikanku teman curhat
Aku pun ingin mendengar curhatmu
Sebatas mendengar dan mencoba menjadi pendengar setia
Meski kadang sulit mendengarkan curhat orang

Tetapi aku mencoba dengan senang hati hanya mendengar saja
Tak perlu merespons
Jika engkau membutuhkan saran aku mau beri
Kalau tidak aku hanya ingin mendengar curhatmu

Terima kasih juga dariku untukmu
Aku sudah jadi teman curhatmu
Engkau memang ingin bercurhat
Boleh jadi engkau jarang bercurhat

Dari kata-katamu engkau senang
Bisa curhat siang ini
Terima kasih atas pengalamanmu
Aku pamit dulu yah….
———-

Obrolan siang setelah mendengar curhat seorang sahabat tadi pagi

PA, 9/10/12
Gordi Afri

Aku mau pamit

Dari keramaian
Dari kebersamaan

Bukannya aku benci
Bukannya aku bosan

Aku ngantuk
Aku capek

Besok bertemu
Besok dilanjutkan

Terima kasih untukmu
Terima kasih padamu

Engkau baik hati
Engkau rela menemani

Denganmu aku bahagia
Tanpamu aku sedih       

Kita lalui hari ini
Dengan penuh canda dan tawaria

Kini aku mau pamit
Kini aku mau ke alam mimpi

Sampai jumpa besok
Dengan semangat baru
——————
Obrolan malam menjelang bobo……

PA, 9/10/12
Gordi Afri

         *dimuat di blog kompasiana pada 9/10/2012


Selamat dan Semangat Pagi
Untuk semua pekerja di kompasiana
Ada kompasioner yang entah di mana berada
Ada admin yang bekerja di kantor kompasiana

Kita berterima kasih pada Dia
Yang memberi hari baru untuk kita
Hanya satu yang bisa kita ucapkan pada Dia
Sebagai bentuk rasa syukur
Yakni mengisi hari ini

Dengan aktivitas yang berguna bagi sesama
Juga bagi keberlangsungan alam ciptaaan
Selamat berkarya bagi semuanya
Semoga salamku sampai ke hadapan kalian semua
—————-
Obrolan fajar
PA, 10/10/12
Gordi Afri                

Sejak kemarin, kanal fiksi di kompasiana macet. Kadang-kadang bisa muncul tulisan. Tetapi sebagian besarnya macet. Saya kira hanya saya yang mengalami ini. Ternyata ada juga beberapa teman yang mengalami hal itu.

Kalau ini terus terjadi, sayang sekali. Para penyair di kompasiana bisa kewalahan. Semangat menulis mereka boleh jadi kendor. Tetapi saya yakin hal ini tidak membawa pengaruh besar dalam menghasilkan karya-karya populer mereka.

Saya mencoba menulis beberapa puisi pendek. Hanya beberapa karena saya memang belum terlalu bisa menulis puisi. Apalagi cerpen. Tetapi saya mencoba menikmati karya kompasioner yang juga penyair.

Semoga kanal fiksi ini bisa kembali normal. Saya yakin pengelola kompasiana sudah menyiapkan trik jitu untuk mengembalikan kanal ini. Jangan patah semangat dalam menulis karya sastra.

Saya sudah mengalihkan tulisan yang berbau sastra ke kanal catatan harian. Tujuannya sederhana. Supaya langsung bisa dibaca. Awalnya saya memasukkan di kanal fiksi. Tetapi, ternyata macet ketika mencoba membukanya. Saya alihkan saja ke kanal catatan harian.
—————-
Obrolan pagi…
Selamat bekerja buat pembaca sekalian

PA, 10/10/12
Gordi Afri

*Dimuat di blog kompasiana pada 10/10/2012 dengan judul Kanal Fiksi Kompasiana sedang Eror

TENTANG MANUSIA YANG SUPER SIBUK
gambar dari paling-seru.blogspot.com
Saya bukan orang sibuk tetapi kadang-kadang saya sibuk.

Kesibukan menjadi rutinitas warga modern. Gara-gara sibuk, tak ada lagi waktu untuk bersama yang lain. Anak bukan lagi teman permainan. Suami dan istri bukan lagi teman curhat. Bayangkan jika hanya sekali seminggu berkumpul bersama. Hari-harinya dilalui dengan kesibukan.

Manusia modern dikepung irama sibuk. Apakah dengan kesibukan kita menjadi manusia yang sebnarnya? Belum tentu. Menjadi orang sibuk belum tentu menyejahterakan kehidupan keluarga.

Kesibukan yang berlebihan justru memiskinkan aktualisasi diri. Kita bekerja untuk menghidupi diri dan keluarga. Kita bekerja bukan untuk menyengsarakan diri, membuat diri kita begitu menderita. Bekerja menuntut penderitaan itu wajar. Tetapi jangan bekerja sampai menderita selamanya.

Cukuplah bekerja untuk menghidupi diri dan keluarga. Di luar itu kita dibudak oleh pekerjaan. Untuk apa cari lebih kalau kita sebanrnya sudah dapat menghidupi diri dan keluarga?

Kesibukan kadang-kadang menjadi bentuk pelarian dari sebuah persoalan. Padahal persoalan tetap ada meski kita sibuk sana-sini. Wah…ini jadi pengamat kessibukan. Bukan. Saya hanya mengobrol tentang kesibukan saja.

Kasihan dengan orang sibuk yang sampai-sampai bertemu kelaurga besarnya saja susahnya minta ampun. Saya yakin membatalkan kesibukan untuk bertemu keluarga besar tidak mengurangi aktualisasi kita sebagai manusia.

Manusia bukanlah kesibukan. Kesibukan hanyalah sebagian dari kepribadian manusia. Manusia juga butuh rekreasi, olahraga, olahpikir, olahbatin, perlu sosialisasi, dan sebagainya. Jadi, untuk apa kita menghabiskan sebagian besar dari waktu kita untuk sibuk?

Pangkas kesibukan yang tidak perlu. Sibuklah hanya untuk keperluan yang relevan dan berguna.

———————
Obrolan pagi

PA, 12/10/2012
Gordi Afri

Banyak yang mengeluh karena kompasiana macet. Blog keroyokan ini sudah menjadi candu bagi banyak penulis blog. Gara-gara macet beberapa hari saja sudah banyak keluhan. Keluhan itu sebaiknya tetap diabadikan dalam bentuk tulisan. Seperti sudah dianjurkan, teruslah menulis. Simpanlah tulisan itu dalam komputer Anda. Ketika tiba saatnya tulisan itu diposting di kompasiana. Kalau demikian kan tidak perlu pusing tujuh keliling.

Kompasiana memang belum pulih. Kali ini ia mesti diberi perawatan yang cukup. Kelak hasilnya nanti bisa sembuh, sehat, sehingga kompasioner yang mengeluh bisa tersenyum lebar. Kompasiana cepatlah sembuh. Banyak penulis-kompasioner merindukanmu.

————–
Obrolan sore

PA, 17/10/2012
Gordi Afri

Powered by Blogger.