Halloween party ideas 2015

Kita tentu tak bisa memungkiri kehadiran sebuah benda unik dalam kisah kelahiran Yesus. Palungan, tempat Yesus dibaringkan. Semua orang Kristen (dan juga bukan Kristen) hampir pasti mendengar nama benda ini setiap kali merayakan Natal. Mungkin kita dengan saksama mencari makna di balik palungan ini namun mungkin juga tidak. Pertanyaannya bias saja demikian, Mengapa Yesus kok lahir di benda yang kotor ini? Tetapi bisa juga demikian, Mengapa kita harus memperhatikan palungan yang adalah benda tak bermanfaat itu, hanya untuk tempat makanan ternak saja. Apa pun pertanyaannya tentu tergantung situasi hati kita masing-masing. Tetapi ada baiknya kalau kita mengetahui lebih kurang makna di balik palungan itu.

Menurut hemat saya, palungan sangat berarti di balik kelahiran Yesus. Palungan merupakan simbolisasi maksud kedatangan Yesus. Biasanya, anak-anak ternak mengambil pakan dari palungan yang sama. Satu palungan untuk semua ternak. Saya kira tidak kurang kalau kita (manusia) diandaikan sebagai ternak-ternak itu. Meminjam kata-kata dari seorang bapak Pendeta dalam perayaan Natal bersama di sekolahan bulan Januari lalu, “Kita mau mengambil makanan dari palungan yang sama.” Maka dalam arti tertentu kita bersatu. Kita berasal dari sumber yang sama. Yesus justru hadir dalam palungan itu. Dan kita makan dari palungan itu. Di sini, saya melihat bahwa Yesus mau mengajak kita untuk mengambil bagian dalam karya-Nya, mengambil makanan dari palungan yang sama, dan sekaligus mau menyadarkan kita bahwa Dia adalah pemersatu. 

Saya meminjam kata-kata Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatulah, Jakarta (KOMPAS 24 Desember 2010), “Yesus mengajarkan, jika kita ingin dicintai maka cintailah sesama.” Kehadiran Yesus tidak hanya menyatukan kita (manusia dengan manusia) tetapi juga menyatukan kita dengan lingkungan, dan tentu saja dengan Dia yang lahir di palungan. Dalam hal inilah kita ditantang untuk membuktikan kepada sesama bahwa kita sadar atau disadarkan akan pengaruh cinta Tuhan itu.

Kehadiran Yesus di dunia mau menegaskan bahwa Allah sungguh mencintai manusia. Yesus hadir dan turun menjadi manusia untuk mewujud-nyatakan cinta Bapa kepada semua manusia. Dengan menjadi manusia Yesus bisa mencintai, mendekatkan diri dengan manusia, dengan semua manusia. Maka, semoga perayaan natal ini membawa pembaruan bagi kita semua. Semoga kita tidak terjebak dalam kerangka berpikir bahwa Natal hanyalah sebuah festival agama saja (meminjam kata-kata Komaruddin Hidayat, KOMPAS 6 Desember 2010). Natal bukanlah sebuah festival tetapi sebuah perayaan berahmat, di mana Allah turun menjadi manusia karena mau mencintai manusia. Selamat Natal untuk kita semua.
Cempaka Putih, 25 Desember 2010
Gordi Afri

www.orchidsplus.com
Saya sering mendengar pendapat banyak orang bahwa tanaman bunga itu indah. “Bunga-bunga itu indah”, “Bunga di tamanmu ada berapa jenis?” “Bunga itu begitu cantik dan wangi”, “Ada bunga bru di taman ini”, “Kita ke taman bunga yuk..”, “Kita cari tempat yang nyaman misalnya di taman gitu…” dll. Kalimat-kalimat semacam ini kiranya mewakili pendapat sekelompok orang yang begitu terkesima dengan tanaman bunga. Saya kurang begitu ingat kapan dan saat-saat mana saya mulai tertarik dengan bunga. Saya pernah menanam bunga, merawat tanaman di halaman, di dalam ruangan, di dinding rumah, dan sebagainya tetapi saya tidak merasa begitu tertarik. Ada ketertarikan terghadap bunga tertentu dan pada saat tertentu misalnya bunga mawar yang sedang mekar. Namun, saya tidak pernah merasa seolah-olah bunga menjadi sesuatu yang sublime sehingga harus didewa-dewakan, dibesar-besarkan ceritanya. Meski demikian saya menghargai pendapat teman-teman yang begitu terkagum dengan bunga. Hanya saja saya heran, mengapa banyak orang khususnya orang-orang tertentu begitu tergila-tergila dengan bunga? Apa daya pikat sehingga dia begitu terpesona dengan bunga? Adakah hal lain yang membuat dia/mereka terpikat dengan tanaman yang namanya bunga? Adakah pesan khusus dari bunga sehingga mereka harus memiliki taman bunga atau sekurang-kurangnya di samping mereka ada bunga?




Di samping saya ada tanaman bunga, ada taman bunga, ada pot bunga. Di rumah dan di rumah tetangga ada bunga bahkan ada ada taman bunga yang ukurannya besar. Di kampus saya ada bunga, di gereja, di tempat-tempat umum yang saya kunjungi. Singkatnya ada banyak tempat yang disediakan untuk bunga. Bunga di sini maksudnya bunga hidup, bukan bunga hiasan yang tidak bernapas. Dari fenomena ini muncul asumsi bahwa bunga begitu disukai banyak orang. Dalam gereja ada bunga. Letaknya juga strategis yakni di altar dan sekitarnya. Umat yang mengikuti perayaan ekaristi pasti melihat bunga ini. Dan kalau coba dihitung, kira-kira berapa banyak yang suka akan bunga itu? Cara menata dan merangkai bunga itu bagus sehingga banyak orang melihatnya dan bahkan banyak orang tertarik untuk melihatnya. Untuk mengukur suka-tidaknya orang pada bunga di altar itu gampang saja. Coba saja pada satu hari Minggu altar dibiarkan tanpa bunga. Saya pernah mendengar bisikan beberapa orang di samping saya, “Kok agak lain ya. Altarnya kurang begitu bagus. Coba kalau dihiasi bunga….” Ini menunjukkan bahwa ada orang yang masih mengharapkan adanya bunga di altar. Ini hanya sekadar contoh untuk menggambarkan bagaimana orang tertarik melihat bunga. Di tempat-tempat umum lainnya bisa saja ada komentar seperti ini. Pertanyaannya, mengapa orang begitu tertarik dan bisa kagum pada bunga?


Pengalaman tertarik dengan bunga merupakan pengalaman personal. Pengalaman personal yang bisa diceritakan kepada orang lain. saya kira ini soal perasaan. Dan perasaan merupakan sesuatu yang abstrak. Kadar ketertarikan orang pada bunga tidak bisa diukur dengan pasti dan tentu saja berbeda untuk tiap orang. Ketertarikan itu muncul dari hati dan tidak bisa ditipu. Saya hanya bisa mengatakan saya tertarik dengan bunga yang berwarna merah itu sementara teman di samping saya tertarik dengan bunga yang berwarna kuning. Kami tidak bisa menjelaskan kadar ketertarikan saya sekian. Yang bisa dijelaskan mungkin hal-hal lahiriah misalnya warnanya, wanginya, bentuknya, dll. Tetapi hal esensial yang membuat saya tertarik tidak bisa dijelaskan. Dan memang hal-hal lahiriah inilah yang bisa membuat orang tertarik pada bunga. Orang buta tidak bisa merasa tertarik dengan bunga karena warnanya. Ia mungkin bisa tertarik karena wanginya.

Ciri-ciri lahiriah dari bunga inilah yang membuat orang melihat bunga mempunyai daya pikat tersendiri. Orang-orang tertentu berjuang mati-matian mendapatkan bibit dari sebuah bunga karena ia merasa bahwa bunga itu mempunyai arti baginya. Entahkah pengalaman masa kecilnya atau pengalaman jatuh cinta atau pengalaman lain. Bunga itu bisa membuatnya menghayal dan mengingat pengalaman bersama orangtua, bersama sang kekasih, dll. Bunga menjadi tempat untuk curhat mengenai peristiwa tertentu, masa tertentu. Saya senang ketika pada suatu kesempatan disuruh untuk mencari bunga kembang sepatu. Waktu kecil bunga ini mendominasi pagar taman kami. Tentu saja unik bagi saya pada saat itu. Tiap beberapa hari dia mengeluarkan pucuk bunga berwarna merah dan merah muda (tergantung jenis kembang sepatu). Pucuk ini menjadi rebutan antara dua kelompok makhluk hidup. Manusia (saya dan kakak saya) dan beberapa kelompok burung. Saya dan kakak saya berebut untuk memetik pucuk ini. Di dalamnya ada cairan manis yang bisa dinikmati. Begitu pula dengan beberapa jenis burung pipit yang mencurinya dari taman kami. Mereka mau menikmati manisnya pucuk itu. Warnanya juga menarik perhatian saya. Warna merah/merah muda bisa dilihat dengan jelas dari jauh. Ketertarikan akan warna dan wangi pucuk kembang sepatu ini berlaku juga bagi para tamu wisata di hotel tempat saya pernah tinggal. Mereka—yang umumnya dari Eropa—senang kalau ada bunga di kamar. Ini menandakan bahwa ada alasan yang memikat hati banyak orang untuk tetarik dengan bunga. Alasan ini bukan berkadar rasional tetapi cenderung berkadar perasaan (feeling) meskipun yang perasaan itu bisa dirasionalkan.
www.happyvalentinesday14february.com

Di samping itu, saya kira hal lain yang menarik banyak orang untuk memiliki, merawat, menikmati tanaman bunga adalah zat kimia yang dikeluarkan oleh bunga. Seperti tanaman-tetumbuhan umumnya, bunga mengeluarkan oksigen (O2) yang dibutuhkan oleh manusia. Dia menghasilkan banyak oksigen. Tak jarang banyak orang di kota besar memelihara banyak bunga di rumah, di kantor, di taman umum, di mal, dan tempat umum lainnya. Dari sini terpancar kehijauan yang merupakan reduksi dari warna alam asli. Warna-warni juga akan tampak dari beberapa jenis bunga yang memiliki warna tertentu. Keindahan akan tampak. Selain itu, banyaknya bunga akan mengurangi proses pemanasan global (global warming) yang sekarang ini sedang menjadi perhatian dan keprihatinan banyak orang. Makanya, ada alasan bagi orang tertentu untuk terkesima dan kagum ketika melihat bunga, melihat taman bunga yang hijau dan indah. Di tengah hiruk-pikuk dan kacau balaunya polusi udara Jakarta, saya kagum dan merasakan indahnya taman bunga dan pemandangan alam di puncak. Bersih dan segarnya udara di puncak membuat saya betah dan ingin duduk berlama-lama di taman bunga di salah satu rumah peristirahatan. Tak heran kalau orang mengatakan surganya dunia adalah taman bunga.

Terakhir. Bunga bisa menjadi pembawa pesan khusus. Pesan yang tampak sekaligus tidak tampak. Saya pernah memberi sepucuk bunga kepada teman saya. Bunga itu dititipkan pada teman saya yang lain, dan pernah juga saya sendiri sengaja menaruh di atas meja belajarnya. Dia senang, kagum, dan tertarik dengan bunga itu. Bunga itu mempunyai banyak pesan yang tidak tampak, tergantung dia menafsirkannya. Saya memberinya hanya mau mengatakan bahwa kamu secantik bunga ini, penampilanmu secantik bunga ini, dan sebagainya. Bagi dia mungkin ada yang lebih dari situ. Bunga dari sang kekasih menimbulkan multi-tafsir. Namun, pada intinya bunga menjadi ungkapan cinta antara dua remaja, dua kekasih yang sedang dibakar oleh kobaran cinta. Bunga dari sang kekasih menjadi kandungan memori yang begitu kuat dalam jangka waktu tertentu. Bunga itu bisa menjadi ungkapan cinta terdalam antara dua kekasih. Singkatnya bunga menjadi jembatan cinta yang keliahatan sekaligus transenden (baca= melampaui yang kelihatan). transenden karena makna di balik hadirnya bunga itu—bagi orang tertentu—begitu dalam, kadang tak terbayangkan. Maka, saya senang karena di samping rumah, di halaman kami ada banyak bunga. Begitu juga di rumah tetangga. Bunga-bunga itu menjadi obyek untuk menghilangkan kepenatan dan kejenuhan di tengah banyaknya materi kuliah juga menjadi obyek mata untuk bernostalgia. Maka, mari kita memelihara bunga………
Jakarta, 6 Desember 2010
Gordy Afri





Beberapa waktu lalu, saya dicegat oleh seorang remaja. Dia mau menanyakan perihal pakaian berwarna Ungu yang dikenakan oleh pastor saat memimpin misa. Pertemuan yang adalah sebuah kebetulan. Kebetulan dia lewat dan bertemu saya. Lalu, dia menodong saya untuk memenuhi keingintahuannya akan arti warna Ungu yang dikenakan pastor itu. Peristiwa ini membuat saya untuk peka dengan perkembangan yang terjadi di sekitar saya. Remaja ini begitu tanggap melihat peristiwa di sekitarnya. Dia datang ke gereja lalu melihat hal yang baru yakni pakaian berwarna Ungu. Hari-hari Minggu sebelumnya dia datang ke gereja dan seperti biasa dia melihat sang gembala mengenakan pakaian berwarna Hijau. Perubahan pada pola berpakaian sang gembala ternyata tak luput dari perhatian para pemerhatinya. Mungkin remaja ini kurang mendengarkan penjelasan sang gembala perihal perubahan pakaian yang dia gunakan dalam misa. Biasanya, sang gembala memberi penjelasan tentang makna pakaian itu atau sekurang-kurangnya mengapa dia mengenakan pakaian berwarna itu.
Menurut buku yang saya baca, warna Ungu dalam pakaian pastor itu mempunyai tiga arti yakni prihatin, matiraga, dan tobat. Warna ini dikenakan pada masa adven. Ya, adven yang berasal dari kata bahasa Latin, adventus yang artinya kedatangan. Kedatangan Dia yang adalah Tuhan kita Yesus Kristus. Menunggu kedatangan seseorang mengandaikan bahwa sebelumnya ada kerinduan. Kalau saya merindukan orangtua saya berarti saya mempunyai harapan bahwa ada saatnya nanti saya bertemu orangtua saya. Saya menunggu waktu yang tepat yakni pada masa liburan. Dalam kerinduan kita berharap dan sambil berharap kita mempersiapkan hati kita untuk menerima Dia (dan dia/mereka) yang kita tunggu. Menerima Dia dengan hati yang bersih akan lebih berguna daripada menerima Dia dengan hati yang kotor. Kotor karena kita kurang menggunakan waktu penantian untuk memebersihkan hati kita. Orang-orang di kampung membersihkan segala penjuru kampung sebelum pak camat datang mengunjungi kampung mereka. Pemerintah Indonesia bersama masyarakat Jakarta mempersiapkan segala sesuatu—termasuk menyingkirkan hewan korban dari jalur-jalur utama—sebelum kedatangan Obama. Sudah sepantasnya memang kita menyiapkan hati yang bersih untuk menerima Dia, menerima siapa saja yang datang ke hadapan kita.
Saya kira remaja yang bertanya tadi sudah siap menerima Dia. Keberaniannya mencegat saya untuk bertanya merupakan sebuah kesiapan. Siap kalau terjadi apa-apa. Sebab, ada hal baru yang ia temukan. Kita ingat saudara/i kita di Mentawai, Yogya, dan warga sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur yang setiap saat selalu siap. Mereka siap-siaga kalau-kalau terjadi bencana alam, tsunami, tanah longsor, semburan lahar, dll. Kita mestinya selalu siap setiap saat demi menghadapi peristiwa luar biasa. Gereja Katolik mempunyai tradisi tua—sejak abad-abad pertama sejarah Gereja—untuk mempersiapkan diri menyongsong kedatangan-Nya. Ini sebuah kesempatan berahmat yang seyogianya dimanfaatkan dengan bijaksana. Kalau masa ini dilewatkan begitu saja, kita akan menyesal nanti. Ibarat lima gadis cantik nan bodoh yang lupa menyiapkan pelita saat mempelai tiba. Bayangkan kalau kita baru sadar bahwa kita lupa membawa cangkul ketika kita berdiri di atas ladang kita. Bayangkan kalau kita lupa membawa kartu izin mengikuti ujian saat memulai ujian. Bayangkan kalau kita lupa membawa handuk ketika kita sudah basah dengan air di kamar mandi. Semuanya akan kacau-balau. Betapa ruginya kita kalau sudah diberi waktu untuk bersiap-siap tetapi hasilnya justru kosong. Rugi dan malu (kalau masih bisa merasa malu) kalau kita tidak ada bedanya sebelum memasuki masa adven dan saat mengakhiri masa adven yakni saat Dia telah hadir di hadapan kita.
Kita tidak boleh lupa untuk tetap prihatin dengan saudara/i kita di Mentawai, Wasior, Yogya, dan Jawa Timur. Kita mengisi masa penantian ini dengan sedikit rasa prihatin. Dari rasa prihatin tumbuh niat untuk membantu mereka yang kondisinya agak prihatin. Dengan demikian kita tidak lagi berhenti pada rasa prihatin saja tetapi memberikan hati untuk mereka. Kita harus bisa keluar dari kemapanan kita dan keluar untuk menemui mereka yang mengalami situasi baru. Kita perlu untuk peka dengan kondisi mereka. Mari kita mengikuti jejak sang remaja tadi yang berani keluar dari rasa herannya dan mencari jawaban. Mari kita keluar dari rasa prihatin kita dan menemukan obyek yang kita prihatinkan.
Jakarta, 3 Desember 2010
Gordy Afri



Sejak adanya kehidupan di bumi ini, manusia tidak pernah hidup sendiri. Manusia mesti hidup dengan manusia lain. Adam dalam kisah, hidup dengan Hawa. Sang Pencipta tahu betul Adam tak bisa hidup sendiri. Manusia—siapa pun dia—selalu membutuhkan manusia lainnya. Bahkan ketika manusia mendekam di penjara pun, ia tetap membutuhkan sesamanya. Seorang teman di penjara beberapa waktu lalu berujar, “Meski tinggal di penjara, saya tetap berkomunikasi dengan keluarga.” Ini menadakan bahwa manusia membutuhkan manusia lainnya. Dengan demikian, salah satu kebutuhan dasar manusia adalah hidup dengan manusia lain.


Hidup bersama mengandaikan bahwa (semua) kebutuhan dasar terpenuhi. Minimal kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Manusia mau tak mau mesti memenuhi kebutuhan ini. Dalam satu kelompok sosial, kebutuhan ini menjadi tanggung jawab semua anggota kelompok. Semuanya berjuang untuk memenuhi tri kebutuhan dasar itu. Dalam perjuangan itu ada jatuh-bangun. Di sinilah peran anggota kelompok. Yang lemah dikuatkan oleh mereka yang masih mampu. Inilah solidaritas sosial.

Permasalahan muncul ketika anggota kelompok—dengan tahu dan mau—melupakan tanggung jawab untuk memperhatikan sesama. Munculnya penganggur misalnya merupakan muara dari kelupaan semua anggota kelompok akan tugasnya untuk memperhatikan sesama. Kita lihat para penganggur di negeri ini. Mereka adalah mereka yang terlupakan oleh kita semua. Mungkin ada yang berujar, “Kalau mau makan mesti bekerja dulu.” Saya kira ujaran semacam ini wajar dan sah-sah saja. Tetapi, cukupkah sampai di situ? Bagaimana dengan mereka yang tidak mempunyai pekerjaan? Persoalan dasarnya belum disentuh. Yang mesti dilakukan terlebih dahulu adalah memberi mereka pekerjaan. Maka ujaran berikutnya mesti berbunyi, “Seberapa besar sumbangan saya untuk menciptakan lapangan kerja di negeri ini?”

Menurut hemat saya, ini yang kadang-kadang dilupakan oleh penduduk negeri ini. Mental masyarakat kita masih banyak yang seperti mi instant. Dipanaskan beberapa menit saja langsung bisa dinikmati. Kebanyakan dari kita hanya mau bekerja di lapangan yang sudah ada tanpa menciptakan lapangan baru. Lebih parah lagi kalau kebanyakan dari kita tidak mau bekerja. Padahal untuk menciptakan lapangan perlu kerja keras. Ini yang justru sering dihindari oleh masyarakat kita. Banyak penganggur (orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap) datang ke Jakarta menjadi lebih menderita. Mungkin mereka mengira di Jakarta ini ada banyak lapangan kerja. Kalau pun ada, pekerjanya mesti berijazah atau berkemampuan tertentu. Apakah penganggur kita mampu memenuhi tuntutan para pemilik lapangan kerja di ibu kota? Lagi-lagi kalau tidak punya, kita tetap menjadi penganggur. Padahal jauh di daerah sana, mental pekerja keras itu tumbuh. Masyarakat daerah kita memiliki mental perkerja ulet dan pantang mundur. Tantangan bukanlah penghalang tetapi peluang untuk maju. Maukah penganggur kembali membangun lapangan kerja baru di daerah masing-masing? Lagi-lagi perlu mental pekerja keras bukan mental mi instant.

Banyaknya ekspor TKI keluar negeri adalah bukti nyata gagalnya usaha kita bersama untuk bertanggung jawab atas kehidupan sesama manusia. Bangsa Indonesia dan masyarakat Indonesia gagal dalam menjamin kesejahteraan bersama. Lebih parah lagi ketika kita gagal menyelamatkan Sumiati, asal Dompu, NTB dari ancaman kematian di negeri orang. Menurut hemat saya, kepergian Sumiati mesti menjadi bahan refleksi kita bersama. Bagaimana pun masing-masing dari kita mempunyai tanggung jawab moral untuk memperhatikan sesama kita. Maka beberapa pertanyaan pantas diajukan. Sejauh mana kita memperhatikan seama kita? Apakah kita terjerat dalam bahaya keangkuhan sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi manusia lain untuk menikmati kesejahteraan dalam negeri ini? Begitu egoiskah kita sehinga lupa dan menutup mata terhadap penderitaan orang lain? Ada banyak penganggur, ada banyak penderita karena bencana alam di Wasior, Mentawai, dan Yogya, ada banyak pasien di rumah sakit, ada banyak pengemis di jalan, ada banyak TKI yang telantar di dalam dan luar negeri, ada banyak perempuan yang dijual begitu saja seperti barang jualan, ada banyak penderita lainnya.

Abad yang lalu, seorang filsuf Yahudi, Emanuel Levinas (1906-1955) mengatakan bahwa “Yang lain bagiku adalah penampakan (epifani). Yang lain membuatku merasa terpanggil untuk berbuat baik.” Pertanyaan untuk kita, apakah Sumiati membuat kita merasa terpanggil untuk berbuat baik? Tentu berbuat baik kepada sesama manusia. Semoga kita mampu menyelamatkan Sumiati-sumiati yang lain, semoga tidak ada lagi Sumiati-sumiati yang lain. Jangan lupa kita semua mempunyai tanggung jawab moral untuk menyelamatkan Sumiati-sumiati yang lain dan juga yang mungkin menjadi Sumiati-sumiati yang lain.


Jakarta, 27 November 2010
Gordy Afri


Hari Minggu ini (21 Nov.), kita merayakan pesta Raja Semesta Alam. Raja itu adalah Yesus. Seorang raja adalah seorang yang memiliki kuasa. Yesus memiliki kuasa. Kuasa atas seluruh jagat raya, seluruh alam semesta. Meski demikian, tampaknya Yesus agak aneh. Betulkah Yesus aneh? Sangat aneh kalau kita melihatnya dari kacamata manusiawi belaka. Bagaimana mungkin seorang raja disalibkan? Di mana kuasanya? Bukankah hanya penjahat kelas kakap (mungkin juga kelas teri) yang wajar disalibkan? Bukankah para koruptor saja yang menerima hukuman sesadis penyaliban iu?

Yesus mungkin keliru kalau kita hanya melihatnya dari sisi manusiawi saja. Ada dua pilihan bagi Yesus ketika Ia berada (digantung) di salib. Pertama, Ia turun dari salib supaya selamat. Kedua, Ia tetap tergantung di salib, menderita, dan meninggal. Berhadapan dengan pilihan ini, manusia (saya dan Anda) mungkin cenderung memilih yang pertama. Bisikan manusia bergema, “Turun saja dari salib, mumpung saya punya kuasa untuk menyelamatkan diri.” Mengapa harus menderita kalau memang ada kesempatan untuk membebaskan diri sendiri? Lagi pula, pilihan pertama risikonya kecil dibandingkan kedua (nyawa melayang). Lalu, mengapa Yesus memilih yang kedua? Mungkinkah Yesus keliru? Bukankah pengandaian moral mengatakan pilihlah pilihan yang risikonya kecil dari semua pilihan yang ada.

Teman-teman, Yesus memilih yang kedua karena Ia sadar akan keberadaan dirinya. Dia sadar dan tahu, Dia adalah utusan Bapa. Dia memilih pilihan yang kedua karena Ia ingin mewujudkan kehendak Bapa yakni menjadi Penyelamat. Konsekuensi dari pilihan menjadi Penyelamat adalah menanggung penderitaan. Yesus bisa saja turun dari salib dan dengan kuasa-Nya mengelak dari penderitaan itu. Tetapi, Yesus diutus bukan untuk itu. Ia tidak mau menyelamatkan hanya dirinya sendiri (turun dari salib) karena Ia mau menyelamatkan semua orang. Inilah yang Ia tunjukkan kepada banyak orang ketika berada di salib. Kesaksian Yesus untuk bertahan di salib akan membuat banyak orang membuka diri. Pemimpin pasukan saja bisa membuka diri melihat Yesus di salib, “Sungguh orang ini adalah orang benar.” Mampukah kita menjadi seperti pemimpin pasukan ini?

Kacamata manusiawi kita mungkin melihatnya dari sudut lain. Kacamata saya dan Anda melihat seperti kacamata seorang penjahat di samping Yesus. Kalau memang mempunyai kuasa mengapa Ia tidak menyelamatkan dirinya? Kehendak Bapa bukanlah untuk itu. Kita bisa saja menghendaki seperti kehendak penjahat itu tetapi Bapa menghendaki yang lain. Bapa justru menghendaki yang sebaliknya, Yesus menjadi Penyelamat bagi semua orang. Menurut hemat saya, peristiwa salib ini menjadi batu pijakan yang kuat bagi saya dan Anda dalam hal apa saja. Bapa sudah tahu apa yang hendak Ia berikan kepada kita yakni apa yang perlu kita butuhkan. Maka, jangan memaksakan kehendak kita kepada-Nya. Misalnya dalam doa. Sebaiknya saya dan Anda jangan meminta apa yang kita inginkan sebab Bapa sudah tahu apa yang kita butuhkan. Yang kita butuhkan adalah apa yang sungguh-sungguh kita perlukan. Itu yang Bapa berikan kepada kita. Belajarlah dari pengemis yang meminta “supaya bisa melihat” dan bukan meminta supaya diberikan uang. Pengemis itu tahu, “melihat” adalah hal yang perlu bagi dia ketimbang “uang” yang gampang diperoleh dengan meminta-minta. Maka, Yesus sama sekali TIDAK KELIRU. Kacamata manusia (saya dan Anda) mungkin keliru tetapi kacamata Yesus sama sekali TIDAK KELIRU.

Teman-teman, begitulah cara Yesus mencintai kita. Dia berkorban, nyawanya habis di salib. Apakah kita mau dan terlibat aktif berkorban demi korban bencana Wasior, Merapai, dan Mentawai? Mencintai sesama berarti “siap berkorban”. Itulah hakikat cinta kasih Kristiani. Semoga…
Jakarta, 19 November 2010

Gordy Afri

Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman mengenai topik berlalu lintas di Jakarta. Tema ini relevan tentu saja meskipun kadang-kadang tidak menyelesaikan persoalan. Paling akhir berujung pada wacana berlalu lintas. Akar tunggang permasalahannya tetap saja tertanam kuat dan sulit dicungkil. Sebab, membicarakan lalu lintas berarti menyentuh permasalahan seputar hayat hidup orang banyak. Meski demikian, kalau dihitung-hitung tema lalu lintas tetap menduduki posisi lima besar (hanya perkiraan sementara tanpa penelitian lapangan yang akurat) dalam perbincangan berbagai kaum di Jakarta. Tema ini sering dibicarakan karena orang selalu menghadapinya setiap hari. Maka, mau tidak mau mesti membicarakan dan mendiskusikannya terus menerus. Dari diskusi itu, kami menarik kesimpulan bahwa menjadi pengendara di Jakarta tidak cukup kalau hanya bisa mengendalikan kendaraan tetapi pengendara itu mesti lincah, cekatan, terlatih, terdidik, dan berani.

Suatu ketika, saya dan seorang teman ikut ambil bagian dalam berlalu lintas di jalur ramai. Ukuran jalan pas untuk dua kendaraan besar. Satu jalur. Di situ melintas kendaraan roda dua, tiga, empat, enam, dan lebih dari enam. Tak jarang truk pun kadang-kadang memotong jatah bus untuk ikut berkompetisi merebut penumpang. Mau bilang apa, truk berkerangka kuat, bergerak sedikit lamban karena beban terlalu berat. Kalau truk berada di depan bus maka bus terpaksa harus lambat. Kecuali kalau di bagian sebelah kosong. Pada umumnya seperti itu karena dua bagian jalan itu selalu dipadati kendaraan.

Tibalah saatnya duet bus berkompetisi di jalur itu. Start (kata ini sudah resmi diserap menjadi bahasa Indonesia, lih KBBI, 2008, 1375) dari garis nol. Lampu merah segera padam. Para pengendara bersiap-siap merebut posisi terdepan. Kendaraan kami ikut dalam kompetisi ini. Duet bus besar (Mayang Sari dan Kopaja) sama-sama menempati posisi terdepan di dua bagian jalan. Kami yang lain harus sabar. Bagaimana pun kecepatan mereka bisa dikalahkan dengan kecepatan kendaraan roda dua seperti yang kami gunakan. Duet maut di depan kami melaju sekencang mungkin merebut penumpang di halte berikutnya. Kami yang lain juga ikut melaju merebut posisi terdepan dan dengan harapan bahwa kami tiba di tempat tujuan dengan cepat. Semua kendaraan yang melintas begitu cepat. Malu donk kalau menjadi terbelakang dari semuanya. Risikonya jelas, berbahaya. Sebab, kompetisi ini dibayar dengan kehilangan nyawa.

Kami sudah mendekati duet maut di depan tetapi tidak bisa mendahului karena dua bagian jalan diisi semua. Mau mendahului tetapi tak ada ruang. Parahnya, Kopaja yang melaju tepat di depan kami tiba-tiba berhenti pada tempat yang bukan tempatnya berhenti. Dia tiba-tiba melaju dengan lambat dan berhenti. Kendaraan kami yang dalam posisi berkecepatan tinggi terpaksa menyesuaikan. Sulit. Tetapi di sinilah kemampuan seorang penegendara diuji. Pengendara yang lincah dan cekatan di semua medan jalan. Saya memperlambat (meski agak sulit) laju sepeda motor sambil melirik di spion kalau-kalau Mayang Sari sudah mendahului kami. Hanya ada dua pilihan bagi kami. Menabrak bagian belakang Kopaja atau merelakan diri menyerempet Mayang Sari di sebelah. Kami harus memilih satu dalam waktu yang begitu singkat. Pengandaian moral mengatakan, “Pilihlah yang buruk di antara pilihan yang terburuk.” Dalam artian bahwa, kami harus memilih pilihan yang risikonya kecil di antara pilihan yang berisiko besar. Menabrak Kopaja berarti kami siap terlempar ke luar jalan. Menyerempet Maya Sari berarti kami siap jatuh di tengah bahu jalan dan siap dilintas oleh kendaraan di belakang kami. Pilihan kami cenderung pada yang pertama. Tetapi, rupanya kami masih bisa melampaui keduanya. Maya Sari melaju dengan cepat. Dengan cepat pula saya memutar arah sepeda motor sehingga terhindar dari pantat Kopaja. Teman saya kaget. Rupanya dia mengukur posisi kalau-kalau saya menabrak Kopaja, sementara saya mengukur posisi kalau-kalau Maya Sari sudah mendahului kami sehingga kami bisa mengikutinya. Kami berhasil lolos dari dua cengkeraman duet maut.

Seandainya kami mengalami yang sebaliknya, apa reaksi orang-orang di sekitar kami? Saya jadi teringat kata-kata Yesus, kalau mau mengikuti Dia, kita harus berani kehilangan nyawa. Apakah kalau kami hilang berarti kami bisa mengikuti Yesus lagi? Tentu tidak. Kalau nyawa kami hilang saat itu, itu namanya mati konyol karena menjadi korban keganasan lalu lintas di Jakarta. Kejadian ini mirip dengan kata-kata Blaise Pascal (Filsuf Perancis dan ahli Matematika, 1623-62), “Dengan melewati segala tahap pengetahuan manusia sampai pada batas kemampuannya, berhadapan dengan misteri yang tak terbatas.” Kejadian tadi berada di luar perkiraan kami. Secara logika manusia kami bisa terserempet tetapi Dia yang Tak Terbatas itu bisa melindungi kami. Terima kasih Tuhan, pelindungku….
Jakarta, 13 November 2010
Gordy Afri


Tak terbayangkan jika manusia bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang tampak indah dan unik saat ini. Agar bisa melihat apa yang ada di balik penampakan wajah manusia, kita mesti melampaui penampakan itu sendiri. Yang ada di baliknya adalah situasi sebelum menjadi penampakan itu. Situasi itu adalah proses pertemuan sel telur dan sel jantan (sperma). Inilah awal yang akhirnya akan membentuk janin sebagai bakal tubuh (penampakan) manusia. Di situ akan diperlihatkan proses yang panjang dalam membentuk bagian-bagian tubuh manusia. Bagian-bagian itulah yang membuat tubuh manusia begitu kompkleks.
Beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman sempat melihat dua film pendek yang memperlihatkan awal mula (proses) manusia. Begitu rumit. Satunya memperlihatkan proses mulai dari pertemuan, perkembangan, pembentukan hingga kelahiran. Satunya lagi, memperlihatkan bagaimana janin itu beraktivitas; merasakan kesenangan, kesedihan, dan bahkan pemberontakan. Dia bahkan berontak ketika dirinya akan diambil (aborsi). Singkatnya, janin itu mengalami apa yang dialami ibunya. Dia bisa memberi reaksi atas perlakuan dan kejadian yang dialami ibunya.
Film pertama amat menarik. Dua sel bertemu membentuk satu sel. Sel itu bertumbuh dan berkembang dengan segala kerumitan prosesnya. Bagian-bagian selnya menyatu dengan sel induk sang ibu. Pernapasan misalnya dihubungkan dengan pernapasan ibunya. Begitu juga dengan sel lain. Sel-sel yang menyangkut organ tubuh menjadi satu dengan ibunya. Ada bagian yang bersifat “mandiri” dari ibunya. Mandiri karena dia bisa bereaksi terhadap peristiwa yang dialami ibunya. Dia memberi respons yang unik. Saat ibunya bahagia dia juga merasakan bahagia. Begitu juga ketika sedih ia ikut sedih. Dia tahu apa yang dirasakan ibunya. Kadang-kadang dia menungkapkan kegembiraannya dengan menendang tubuh ibunya. Kalau dia sedih akan tampak bahwa dia kurang bergerak. Inilah warna-warni kehidupan sang bakal tubuh (apa yang tampak) manusia. Rumit bukan?
Film kedua amat menarik namun menakutkan. Menarik untuk disimak pesan yang ada di baliknya. Menakutkan untuk dilihat jika tidak siap. Film itu menampilkan bagaimana proses aborsi. Aborsi dimaksudkan sebagai pembunuhan terhadap janin. Di sini bukan diuraikan jenis-jenis aborsi. Cukup mengetahui apa yang dimaksud dengan aborsi. Janin yang sudah hidup dalam jangka waktu tertentu. Beberapa bagian selnya sudah terbentuk dan yang lain dalam proses pembentukan. Dia akan diambil dari keberadaannya. Beberapa petugas siap mengambilnya dari rahim ibu. Begitu sadis. Janin itu dihancurkan bagian per bagiannya. Bagian kepala yang belum sempurna, bakal tubuh, kaki, tangan, dan bagian lain. Menarik bahwa janin itu tidak begitu saja menerima perlakuan yang ditujukan kepadanya. Dia masih bisa berontak. Dia mencoba menghindar ketika jarum yang akan mengambil kepalanya masuk. Dengan berbagai cara yang bisa dilakukannya ia memberontak. Ini menandakan bahwa dia hidup dengan “sadar”. Sadar akan apa akan dialaminya. Dia melangkah sebelum menyerah. Di lain pihak, sang ibu begitu menderita. Dia dibius sehingga kurang merasakan sakitnya. Tetapi, ibu itu masih bisa berontak saking sakitnya proses itu. Singkatnya, janin dan ibunya sama-sama menderita.
Dua film ini pantas dan mesti dianjurkan ditonton oleh calon bapak dan ibu keluarga. Hal yang bisa dipetik adalah calon bapak dan ibu bisa mengetahui seluk-beluk kehidupan sang janin (bakal manusia secara fisik). Proses yang rumit dari pertemuan dua sel, pembentukan organ sel hingga terbentuk janin yang bakal menjadi tubuh manusia. Calon bapak dan ibu harus mengetahui bagaimana proses aborsi, yang adalah tindakan menghilangkan dan membunuh eksistensi bay/janin itu. Begitu sakit dan amat menderita. Bagi sang ibu ini tidak mudah. Penderitaan fisik dan psikologis setelah bay itu berhasil dihancurkan. Dia akan merasa kehilangan untuk selamanya. Dia juga akan mengalami penderitaan fisik dalam jangka waktu tertentu. Kehilangan dalam arti bahwa keberadaan manusia janin itu dicabut. Bukankah dia itu manusia juga? Jika dibiarkan bertumbuh dan berkembang dia bakal menjadi seperti penampakan bapak dan ibunya. Ada tubuh dan perasaan yang melekat dalam keberadaannya. Untuk tujuan apa pun, bay itu harus dihilangkan dari keberadaannya. Dan apakah itu pantas? Itu sama dengan membunuh seorang manusia. Silakan melihat pesan di balik dua kisah dalam film pendek yang diceritakan tadi. Silakan menilai sendiri……….
Jakarta, 6 November 2010
Gordy Afri


Beberapa waktu lalu saya sempat diikutsertakan dalam pameran kain Kafan di sebuah tempat di Jakarta. Waktu ditawarkan dalam kegiatan ini, saya senang karena rasa ingin tahu saya akan terealisasi. Seperti manusia pada umumnya sebagai makhluk ingin tahu, saya pun ingin tahu apa itu kain Kafan. Saya sudah lama mendengar nama ini namun hingga saat itu masih banyak pertanyaan. Saya pernah melihat gambar kain Kafan itu di buku tetapi tidak lama saya melihatnya karena takut. Kok, gambarnya kayak gini, emang ga ada yang lebih baik? Serem!!!
Tanda tanya besar yang menempel di dahi saya ketika hampir tiba di lokasi pameran adalah, “Betulkah kain Kafan itu penutup jenazah Yesus?” Saya mengiyakan saja apa yang sudah lama diyakini umat Katolik bahwa kain Kafan adalah kain penutup jenazah Yesus. Satu motivasi saya mengikuti kegiatan pameran kain Kafan ini adalah mencari jawaban dari pertanyaan saya tadi. Akankah jawaban itu memuaskan saya? Tidak tahu, intinya saya mencoba mencari jawaban dan kalau boleh meminta jawaban dari pemandu acara pameran ini.
Teman-teman serombongan saya rupanya sama dengan saya, masih asing dengan istilah ini. Beruntung saya sudah mendengarnya lebih dahulu. Para pemandu hilir mudik di sekitar ruang tunggu. Merekalah yang melayani dengan memberi penjelasan tentang kain Kafan pada tiap rute yang disediakan panitia. Ini membantu pengunjung karena disuguhkan stand-stand sebagai manivestasi dari kain itu. Stand-stand itu berisi gambar mulai dari proses penemuan kain kafan itu, proses penelitian terhadap kain itu, sejarah tempat penyimpanannya hingga dimuseumkan. Menarik tentu saja.
Tibalah giliran kami masuk. Saya berdiri paling depan untuk mendengarkan penjelasan pemandu dan melihat dari dekat gambar-gamabar seputar kain Kafan. Penjelasannya cukup memuaskan, menarik, tidak tergesa-gesa, hanya saja tidak ada kesempatan bertanya. Kesempatan bertanya sedikit saja mengingat rombongan lain masih antri di belakang kami. Gambar-gambarnya cukup seram. Gambar-gambar ini adalah semacam replika dari kain Kafan asli yang disimpan di museum di Turin, Italia. Pada kain ada gambar jejak seorang manusia yang kelihatan seperti dianiaya hingga tetes darah terakhir. Mungki itu yang diyakini sebagai Yesus. Tentu itu tidak mudah mengidentifikasi orang itu atau sedikitnya ciri-ciri orang itu. Di sinilah para ahli berkecimpung. Ratusan ahli dengan berbagai keahliannya meneliti kain misterius ini. Ada yang meneliti dari sudut pandang bahan asli kain itu, umurnya kain itu, kekuatan kain itu ketika berhadapan dengan suhu dan cuaca yang berbeda, dan sebagainya. Singkatnya, kain itu diteliti oleh para ahli ilmiah. Menarik di sini karena para peneliti bukan hanya berlatar belakang agama yang berbeda tetapi juga kaum ateis (tidak beragama atau tidak percaya akan adanya Tuhan). Variasi latar belakang keahlian dan kepercayaan tidak menyurutkan niat mereka untuk bersatu meneliti kain Kafan itu.
Hasil akhir penelitian mereka ternyata agak mirip. Ada yang menemukan bahwa kain itu memang merupakan kain pembungkus jenazah seorang pemuda yang dianiaya, disiksa dengan beberapa pukulan, cambukan, dll. Pemuda itu berambut panjang dan ada beberapa bagian tubuhnya yang kena tusukan. Identifikasi ini agak mirip dengan ciri-ciri manusia yang bernama Yesus. Agak mirip belum tentu berarti itu Yesus dan belum tentu itu bukan Yesus. Siapa tahu ada pemuda yang mirip Yesus. Singkatnya ada kesulitan dalam mengklaim bahwa itu wajah Yesus. Kalau demikian, mengapa umat Katolik meyakini bahwa kain Kafan adalah kain pembungkus jenazah Yesus?
Saya tertarik dengan kata-kata almarhum Paus Yohanes Paulus II pada suatu kesempatan melihat kain kafan ini, “Gereja Katolik tidak berhak untuk mengatakan bahwa kain Kafan itu adalah kain yang betul-betul digunakan untuk membungkus jenazah Yesus, biarlah para ahli (yang berasal dari berbagai keahlian dan berbagai latar belakang agama-tmbhan pen.) yang membuktikan dengan penelitiannya.” Jawaban ini cukup berarti bagi saya sebagai sang pencari jawaban. Jawaban ini mengandung sikap rendah hati yang tulus dari seorang pemimpin agama Katolik. Akhirnya, saya sebagai orang Katolik hingga saat ini meyakini bahwa pertanyaan itu memang tidak mudah dijawab. Apa yang kelihatan kadang tidak kelihatan. Dalam artian dalam apa yang kelihatan tampak pula misteri yang tidak mudah dikuakkan. Terima kasih untuk pemandu dan teman-teman yang mengikutsertakan saya dalam pameran kain Kafan ini.
Jakarta, 29 Oktober 2010
Gordy Afri


gambar di sini
Perjalanan ke mana pun akan selalu terkenang jika ada peristiwa yang menyentuh hati. Ini efek dari peristiwa itu. Satu lagi hal yang menguntungkan yakni suasana ketika peristiwa itu berlangsung. Perjalanan menyenangkan, tidak membosankan, dan waktu tak terasa. Tiap saat akan diisi dengan hal yang menarik perhatian.

Beberapa waktu lalu saya mengalami hal ini. Sampai sekarang saya masih mengenang dan mengingat peristiwa itu. Lima belas menit sebelum kramat djati berangkat, saya dan seorang bapak duduk di dalam bis. Teman-teman penumpang lain mendahului kami dalam bis. Kursi yang tersisa pas buat kami berdua. Kami mulai menyapa dan memperkenalkan diri. Saya seorang mahasiswa dan dia seorang wiraswasta, katakanlah demikian. Dia bekerja sebagai penghubung antara pengrajin barang antik dari wilayah Jawa Timur dan para penjual di Bali. Pembicaraan kami berkisar seputar profesi masing-masing. Saya yang muda ini mulai bertanya tentang pekerjaan yang digelutinya. Dari kata-katanya tersirat makna mendalam tentang nilai kehidupan. Dia mengatakan, “Hidup ini membutuhkan perjuangan sekuat tenaga. Terkadang harapan kita tidak menjadi kenyataan. Di sinilah peran kita untuk selalu berjuang dalam menjalankan pekerjaan macam apa pun.”

Saya amat tersentuh dengan kata-kata ini. Menjadi manusia memang harus berjuang. Manusia yang tidak berjuang adalah manusia yang mudah jatuh dalam dunia putus asa. Perjuangan seperti apakah yang bapak ini geluti? Saya menanyakan perihal barang antik yang dia sebut. Barang-barang itu adalah lemari dengan berbagai model, kursi, meja, asbak, dan sebagainya. Barang antik itu ialah barang biasa yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampak begitu indah. Antik yang bapak sebutkan tadi adalah indah sehingga muncul istilah barang antik.

Giliran saya menjawab pertanyaan. Dia heran ketika saya mengatakan, “Saya dari pulau bunga dan sedang mencari ilmu (kuliah) di Jakarta.”
“Jauh amat dik.”
“Ya, begitulah pak….”

Dia tambah heran mendengar jurusan yang saya ambil, Filsafat. Dia sama sekali belum begitu akrab dengan istilah Filsafat. Ternyata masih ada masyarakat yang belum mengenal istilah ini. Dia berpesan supaya saya belajar dengan baik dan berusaha untuk berhasil. Pesan ini disampaikan karena dia melihat realitas yang ada di sekitar tempat ia hidup. “Sekarang ini banyak penganggur. Mendapatkan pekerjaan sangat sulit. Banyak sarjana menjadi penganggur. Jangan sampai adik menjadi penganggur setelah selesai belajar Filsafat.”
Saya paham dan setuju dengan pendapat bapak. Banyak penganggur di negeri ini. Sorotan tajam kaum tua kepada kaum muda yang diwakili oleh para sarjana adalah masalah mencari dan mendapatkan pekerjaan. Dia tentu kecewa jika kaum muda yang nota bene berpendidikan, menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi, tidak mendapat pekerjaan. Padahal generasi seangkatannya mendapat pekerjaan tanpa melalui pendidikan yang tinggi. Menurut hemat saya masalah ini bisa diselesaikan. Perlu kacamata yang tajam dan seimbang untuk melihat persoalan semacam ini. Perbedaan pendapat (atau mungkin penilaian) tentang pekerjaan perlu dijembatani dengan dialog yang hidup. Dua catatan yang menurut hemat saya amat membantu melihat persoalan seperti ini.

Pertama, tidak salah kaum tua mengatakan demikian. Tetapi, alasannya tidak melulu pada pendidikan. Alasan berpendidikan formal atau tidak bukan menjadi alasan dasar untuk membangun argumen. Kaum muda yang tamat SMA pun bisa mendapat pekerjaan yang layak dalam masyarakat. Saya kira persoalan utama adalah kemauan untuk bekerja. Banyak orang berpendidikan yang tidak mau bekerja di luar bidang keahliannya. Padahal tidak semua jurusan yang diambil memiliki lapangan kerja yang memadai. Kondisi ini seharusnya menumbuhkan semangat kaum muda untuk menciptakan lapangan kerja baru yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Kedua, ketiadaan lapangan kerja seharusnya menyadarkan orang untuk belajar berkreativitas dan meraba semua jenis pekerjaan. Orang yang kreatif bisa bekerja di sektor mana pun. Modalnya adalah kemauan untuk bekerja. Jangan terus mengharapkan untuk bekerja di bidang yang dikuasai, di bidang yang sesuai dengan jurusan di perguruan tinggi. Ada orang yang berhasil bukan karena ahli dalam bidangnya tetapi karena mau bekerja dalam bidang yang ditawarkan kepadanya. Kreativitas dalam bekerja muncul jika orang setia bergelut dengan pekerjaannya. Keahlian muncul setelah bergelut dalam jenis pekerjaan tertentu. Maka, jangan menganggap diri ahli karena telah menamatkan studi dalam bidang tertentu. Berhasil dalam studi tidak sepenuhnya membuat seorang sarjana menjadi ahli. Gelar sarjana yang didapatkan menjadi langkah awal untuk terjun dalam dunia lapangan kerja. Di situlah dia akan mendapat keahliannya. Seperti seorang yang terpelajar atau doktor belum bisa dikatakan ahli kalau dia belum mengajar atau membuat penelitian. Pergumulannya dalam dua bentuk kegiatan ini menentukan dan membuat dia menjadi ahli dalam bidang yang digelutinya. Petani tidak menjadi ahli kalau dia belum turun ke sawah, membasahi jari tangannya dengan air dan lumpur.

Pembicaraan kami sudah terlalu lama. Bis yang kami tumpangi mendekati bibir dermaga Gilimanuk. Kami pun keluar menikmati suasana baru di luar bis. Penyeberangan dengan kapal feri berlangsung selama 45 menit. Ketika masuk kembali dalam bis di pelabuhan Ketapang, Surabaya, saya mulai kantuk. Bapak itu ingin mlanjutkan perbincangan. Saya mengajukan satu pertanyaan kepadanya,
“Tiba jam berapa di Situbondo pak?”
“Dua jam lagi.”

Dia mengambil nasi bungkusnya ketika mata saya mulai redup. Saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Saya terlelap di alam peraduan tanpa mimpi. Saya capek apalagi siangnya tidak istirahat. Sepanjang sore hari kami berdiskusi. Tubuh saya begitu lelah. Saya kaget ketika sadar dan tidak melihat bapak itu lagi. Saya tidak bisa berdiskusi lagi dengannya. Padahal masih banyak bahan yang bisa disikusikan. Teman di samping kanan saya menyampaikan pesan bapak itu ketika dia mau turun tadi, “Bapak bilang selamat menempuh perjalanan selanjutnya, semoga tiba dengan selamat di tempat tujuan.” Ini pesan terakhir darinya yang tidak langsung saya dengar karena tertidur. Terima kasih pak, selamat jalan juga…….. Perjumpaan sesaat yang berharga buat saya. Hidup ini memang selalu membutuhkan perjuangan. Tiap hari harus diisi dengan perjuangan, apa pun bentuknya………

Jakarta, 4 September 2010
Gordi Afri




Seorang bocah duduk manis di bangku tua depan sebuah stand. Di hadapannya terdapat papan catur. Tempat sang bocah duduk itu sering dikunjungi orang—termasuk saya—untuk memotong rambut. Sebut saja nama kerennya “tempat pangkas rambut….” Tatapan matanya jauh ketika saya menghampirinya. Dia mungkin sedang memikirkan sesuatu entah tentang apa saja. Dia terkesima ketika saya bertanya kepadanya. Tatapannya langsung mendekat, melihat saya. Dia mendengar dengan cermat apa yang saya tanyakan. Pertanyaan paling mudah adalah bertanya tentang status pendidikannya. Dia menjawab dengan lugu dan sopan tetapi tepat, “Saya kelas 2 SD.”



Jawaban singkat. Dia tidak menyambung dengan jawaban tentang penjelasan mengenai sekolahnya. Komunikasi sempat terhenti. Saya melihat mukanya gembira. Tangannya memegang dan sesekali menggerakkan isi papan catur yang sudah tertata rapi di hadapannya. Saya ingin melanjutkan percakapan dengannya sambil menunggu giliran untuk dicukur.
“Sekolahnya di mana dek?”
“Di SD 115,” sambil menunjuk sebuah tempat yang dekat dari tempat kami ngobrol

Kali ini dia melanjutkan pembicaraan. Dia menawari saya bermain catur dengannya. Sayangnya saya kurang tahu permainan yang menuntut keseriusan ini. Apalagi tidak lama lagi saya dicukur karena giliran sebelum saya hampir selesai. Kacian dunk kalau permainannya tidak selesai, dan kacian juga kalau saya melayani dia dengan setengah hati. Dia mengalihkan topik pembicaraan tentang sekolahnya. “Di sekolah saya ada kolam ikan.”—bukan kolam renang lho—meskipun ia katanya hobi renang. Dia bersemangat menjelaskan tentang kolam renang ini, eh maksudnya kolam ikan ini. kolam ikan yang ada di luar lingkungan sekolah pun ia ceritakan. Luas kolam (diperkirakan), jumlah, jenis ikan, dan pembersih kolam.
Hanya satu yang saya cermati dari perbincangan kecil ini. Seorang anak yang merdeka. Merdeka yang saya maksudkan di sini adalah kebebasan untuk berbicara, mengungkapkan isi pembicaraannya dengan lawan bicaranya. Hari ini, Selasa 17 Agustus 1945, peringatan 65 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Apakah Indonesia semakin merdeka dengan usianya yang ke-65? Menurut saya, pertanyaan ini tidak perlu dijawab dengan kata “ya” dan “tidak”. Sebab, ukuran kemerdekaan tiap orang atau tiap peristiwa bahkan tiap kelompok berbeda. Masing-masing punya sudut pandang. Kalau dipilah satu per satu peristiwa yang dialami rakyat Indonesia beraneka ragam situasi dan kondisinya. Tiap peristiwa bisa dikategorikan sebagai peristiwa kemerdekaan atau peristiwa penjajahan—jika kemerdekaan itu dimengerti sebagai pembebasan dari penjajahan. Kebebasan untuk beribadat (mungkin lebih baik ditulis berdoa, bahasa yang umum dipakai) di satu tempat masih dibelenggu namun di tempat lain sudah terjamin. Sulit mengukur dua subyek peristiwa yang sama namun keadaanya berbeda di dalam naungan wilayah Indonesia. Kalau ditanya, orang di kota A akan menjawab merdeka namun di kota B akan menjawab belum bebas. Tidak ada kemerdekaan total. Maka, perristiwa-peristiwa semacam ini dilihat sebagai satu kesatuan dengan peristiwa lain yang terkait. Kemerdekaan sang bocah tadi hanyalah salah satu bagian dari kemerdekaan yakni kemerdekaan untuk berbicara. Bagaimana denganyang lain? Kemiskinan, kekerasan seksual, dll.
Yang perlu dilakukan dan disadarkan saat ini adalah kita mebangun bangsa ini dengan baik. Tiap kelompok wajib membantu kelompok lain demi tercapainya keadaan yang merata sesuai kondisi masing-masing kelompok. Perkerjaan seperti ini bermuara pada kesatuan. Kesatuan yang bermuara pada kemerdekaan. Soekarno, Hatta, dan para pemuda (beserta pemudi dengan peran mereka) puluhan tahun lalu menggunakan semangat kesatuan ini untuk mencapai kemerdekaan. Ini warisan leluhur bangsa kita yang menurut saya tidak lekang diterpa peradaban zaman modern. Maka, mari kita para pemuda/I zaman sekarang menggali dan menghidupi semangat leluhur ini. Mulai saat ini kita ingin merdeka seperti sang bocah yang duduk dan berbicara dengan merdeka. Selamat hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-65. Merdeka……..!!!!!!

17 Agustus 2010
Gordy Afri

Tak terasa liburan usai. Saya mengembalikan segalanya setelah selama liburan ada yang bengkok. Rutinitas berubah, aktivitas, pola makan, istirahat, dll. Sebentar lagi rutinitas harian mahasiswa akan dimulai. Sekarang ada kesempatan untuk menyiapkan segalanya dengan baik. Semua pola (belajar, istirahat, doa, makan + minum, olahraga, dst) dikembalikan lagi seperti sebelumnya. Liburan memang membawa dua perasaan yakni senang dan susah (bukan sulit). Senang karena banyak baru hal akan saya lakukan dan senang karena saya tidak disibukkan oleh aktivitas harian yang sudah direncanakan. Sulit karena masa ini justru membarui aktivitas dan rutinitas saya. Membarui berarti mengurangi bahkan menghilangkan gaya beraktivitas yang lama. TAk perlu menunda, sekarang saya memulai membarui lagi habits saya.

16 Agustus 2010
Gordy Afri

gambar dari adeegusti.wordpress.com
Ini hanya sebuah peristiwa yang sebenarnya tak diinginkan. Mengapa demikian? Yang jelas, saya tidak ingin mengalami hal seperti ini. Bagaimana pun saya tidak memaksakan kehendak dan keinginanku pada situasi yang ada. Mau tak mau saya harus mengiyakan segala yang dikehendaki oleh situasi di sekitar ketika saya tidak berdaya lagi mengelaknya. Namun kalau saya masih berdaya, saya pasti menolak keadaan yang ada dengan membelokkannya atau mengalihkan pada hal lain.

Malam sunyi, sepi, saya sendirian. Saya asyik dan kusyuk membaca beberapa artikel ilmiah dan beberapa tulisan dari buku kuliah. Ya, malam ini malam persiapan untuk ujian yang tinggal beberapa hari lagi. Suasana demikian tentu mendukung kegiatan saya ini. Saya pun tidak menyia-nyiakannya. Kata orang waktu terus berlalu dan tidak akan kembali lagi. Beberapa bacaan sudah saya baca, pahami, dan cermati isinya. Beberapa lagi belum. Idealnya, saya harus menyelesaikan semuanya. Artikel dan tulisan yang disediakan di atas meja adalah jatah saya hari ini. Sebab, besok dan seterusnya saya mempunyai jatah baru, yang lain dari hari ini. Lebih kurang ada setengah dari jatah yang ada belum saya baca. Saya yakin malam ini pun target saya tercapai. Situasi sunyi ini mendukung target saya ini.

Tidak lama berselang, situasi berubah. Sepi menjadi berisik. Ada apa??? Di luar sedang hujan. Agak aneh, bukannya kalau hujan jalan raya sepi. Sepeda motor dan kendaraan be-roda tiga alias bajaj, tidak ber-lalu-lalang di jalan raya. Rupanya berlawanan. Masih banyak kendaraan roda dua dan tiga berlalu lalang di jalan raya. Suasana menjadi tambah ribut, berisik, dan kurang mendukung untuk membaca. Saya menutup gorden jendela kamar saya dengan harapan suara-suara yang tidak diinginkan itu hilang dari pendengaranku. Hanya bisa hilang sebagian. Sebagiannya masih tertangkap oleh indra pendengaran saya. Oh....pekanya telinga ini mendengar bunyi-bunyi ini. Telinga memang unik, mendengar suara yang baik dan kurang baik. Prinsip kerjanya hanya satu yakni "Mendengar". Tambah gaduh lagi dengan suara hujan disertai angin, getaran guntur, dan sambaran kilat. O....malam penuh kegaduhan. Posisi tempat saya belajar cukup strategis untuk mendengar suara-suara seperti ini. Tak ada penghalang antara jalan raya dan jendela kamar makanya suara dari jalan raya langsung menembus kebisuan malam di kamar saya. Lagi-lagi pekanya telinga ini mendengar semua itu.


Saya berhenti sejenak, menanggalkan artikel dan tulisan di atas meja. Otak membutuhkan waktu sejenak untuk memasok energi. Sebab, isi tulisan dan artikel yang saya baca super berat meski menarik buat saya. Itulah pekerjaan mahasiswa. Menaklukkan yang berat sebisa mungkin sehingga menembus ketakterjangkauan yang selalu dihadapi. Ke-takterjangkau-an antara mahasiswa/i dan dosen dalam bidang ilmu pengetahuan dan ke-takterjangkau-an antara pembaca dan penulis buku/artikel/majalah.

Saat saya duduk, saya mendengar dan memperhatikan dengan serius rintikan hujan yang jatuh tepat di atas genteng atap kamar saya. Juga, bunyi percikan air yang sempat merembes di dinding kaca kamar. Saya bayangkan bagaimana tetesan air ini akan berkumpul hingga membentuk aliran air yang mengalir ke mana ia mau. Yang jelas alirannya dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Aliran demi aliran membentuk aliran yang lebih besar dan dahsyat. Aliran seperti ini kadang mengegerkan warga Jakarta yang sering kebanjiran. Saya pun tak luput dari amukan banjir tiga tahun lalu. Namun, aliran dahsyat seperti ini juga yang dimanfaatkan para petani. Aliran air ini yang mengairi sawah pak tani. Petani yang konon dikenal sebagai profesi paling mulia di negeri ini. Dari tangan merekalah para penduduk negeri ini hidup. Tangan merekalah yang merawat hingga butiran beras menjadi nasi di meja makan sebagian besar penduduk negeri ini. Namun, sekarang ini nasib petani rupanya luput dari perhatian orang penting di negeri ini. Padahal mereka tetap menghasilkan makan utama dari sebagian besar penduduk negeri ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya hanya Tuhan yang tahu. Dilema............antara dua kepentingan...Hujan untuk kepentingan para petani dan warga yang sering kebanjiran.

Hujan malam ini-paling tidak dalam pikiran saya-membawa akibat yang berlawanan sesuai konteksnya. Saya berangkat dari goresan saya ketika merefleksikan situasi ini. "Hujan deras mengguyur kota Jakarta malam ini. Pembawa baik atau buruk? Bagi oranng Jakarta mungkin buruk karena takut datang banjir. Bagi para petani pembawa baik. Hujan memberi kehidupan bagi benih-benih di ladang, menumbuhkan tunas baru, dan menyirami tanah tempat benih-benih itu tumbuh. Tuhan memang menurunkan hujan bagi semua orang di atas muka bumi ini." Tampak dua konteks yang berbeda. Orang Jakarta tidak menginginkan hujan karena akan merusak kedamaian malam ini. Banjir itu kadang mengusik hati warga Jakarta dan memorakporandakan sebagian besar harta mereka. Para petani (sebagian besar di luar Jakarta) mendambakan hujan untuk mendukung pekerjaan mereka. Betapa tidak, hujan yang adalah pupuk alami bagi tanah sudah didambakan jauh-jauh hari oleh petani. Hujan bagi mereka adalah pembawa berkat. Tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membeli pupuk buatan. Pupuk alami alias hujan diperoleh secara gratis dan cuma-cuma namun digunakan dengan sbaik mungkin. Para petani, jangan menyia-nyiakan hujan yang turun malam ini. Tanamlah sebanyak-banyaknya benih di ladang. Warga yang takut kebanjiran bersiaplah menyelamatkan diri dan orang lain ketika banjir itu datang.


Ah.....lamunan ini membawa saya jauh di seberang sana. Saya kembali ke tempat belajar. Saya kaget halaman tulisan dan artikel yang saya pelajari masih awal-awal. Belum maju, pertanda saya lama menjauhkan diri dari artikel ini. Tengah malam begini seharusnya sudah maju ke halaman belakang....hingga mendekati garis finish. Tulisan dan artikel ini harus harus saya baca malam ini juga. Saya sudah lama menghabiskan waktu untuk memikirkan (meski dalam bentuk melamun tentang hujan) hujan yang mengguyur tengah malam begini. Peristiwa ini sebenarnya tidak saya inginkan. Apa boleh buat, mau tidak mau, saya harus tunduk pada situasi. Hanya karena jenuh saya berhenti sejenak dan inilah yang terjadi. Kembalilah...kepada tugas utama seorang mahasiswa, belajar..... Dan jangan lupa berdoa mensyukuri semua anugerah Tuhan malam ini {kesempatan untuk belajar dan merefleksikan sejenak tentang hujan} Ora et Labora......

Gordy Afri midnight 1/6/10
Powered by Blogger.