iustrasi, di sini |
Sekarang,
zaman berubah. Dulu—konon kata dongeng—banyak orang bisa diam. Tidak banyak yang ribut. Sekarang banyak ribut.
Sekadar ribut ada. Yang ribut mempersoalkan sesuatu ada. Perkembangan teknologi
membuat manusia tidak bisa diam. Sehari, 24 jam, bisa ribut. Bicara di
telepon, hp, internet, dan sebagainya. Masihkah manusia berjuang untuk diam?
Sebelum
menjawab pertanyaan ini, baik kalau dijawab pertanyaan nakal sebelumnya, untuk
apa diam? Bukankah manusia juga termasuk makhluk komunikasi? Maksudnya manusia
membutuhkan yang lain dan berarti harus berkomunikasi dengan yang lain. Jadi
manusia tidak perlu diam?
Tentu
tidak. Manusia tetap membutuhkan diam. Ada saatnya manusia mesti diam. Dalam
diam ada banyak yang dialami. Persoalan hidup kadang-kadang bisa diselesaikan
dalam diam. Kalau sebuah masalah dibicarakan terus menerus tidak ada solusi.
Sebaiknya ada jeda antara bicara dan diam. Saat diam itu digunakan untuk
memikirkan solusi. Dalam hal ini diam itu mutlak perlu.
Manusia
zaman ini perlu memperjuangkan waktu diam itu. Apalagi dengan teknologi yang
ada, manusia tergoda untuk selalu berkomunikasi. Saat diamnya kapan?
Kadang-kadang saat makan pun sambil terima telepon. Saat tidur juga
kadang-kadang harus mengangkat telepon dan menjawab pesan singkat. Kapan saat
menikmati tidur dalam diam, tanpa diganggu?
Sesekali
boleh diganggu. Tetapi, kalau terus menerus seperti itu, dan tidak pernah diam
lagi, kurang bagus. Manusia tentu bisa memaksa tenaganya bekerja 24 jam.
Tetapi, fisik juga butuh diam, sekadar istirahat, atau bahkan diam untuk
mengisi tenaga baru.
Jadi, diam itu
tetap perlu. Dalam diam ada seribu jawaban atas persoalan yang dihadapi. Asal
jangan diam sepanjang hari. Kecuali kalau memang butuh waktu diam selama
seminggu untuk sekadar retret, putus hubungan dengan dunia luar. Ini wajib dan
perlu diam.
PA,
19/2/13
Gordi
Post a Comment