Halloween party ideas 2015
Showing posts with label OASE. Show all posts

THE HELPER OF HELPLESS
 
St Basil, the great, photo: fineartamerica.com 
O Lord, the helper of the helpless, the hope of those who are past hope, the saviour of the tempest-tossed, the harbour of the voyagers, the physician of the sick. You know each soul and our prayer, each home and its need. Become to each one of us what we most dearly desire, receiving us all into your kingdom, making us children of the light. Pour on us your peace and love, O Lord our God. Amen. Orthodox liturgy of St. Basil


ga-livinginchrist-jan18-p7

Berbuat Baik tanpa Mengenal Waktu

PHOTO: 123rf.com


Berbuat baiklah tanpa mengenal waktu. Maksudnya, jangan berpikir untuk berbuat baik hanya waktu tertentu saja. Kita memang hidup dalam waktu. Semuanya terikat oleh waktu. Seperti Imanuel Kant yang punya waktu tetap untuk berhenti dari kerja di kantornya. Semua orang tahu, kalau dia lewat, jarum jam menunjukkan pukul  5 sore.

Manusia modern tentu hidup dan makin dikuasai oleh waktu. Jadwal kereta makin tepat waktu. Terlambat 1 menit saja sudah telat. Bahkan sudah tidak dapat kereta lagi. Demikian dengan jadwal pesawat. Kecuali kalau mau yang suka lambat ya pilih Lion Air yang masih punya tempat untuk mereka yang suka telat. Bukan salah mereka tetapi salah pengelola maskapinya.

Segala sesuatu ada waktunya. Seperti kata kitab klasik, ada waktu untuk tidur ada waktu untuk bangun. Ada waktu untuk bekerja ada waktu untuk istirahat. Hidup dalam ritme waktu memang baik. Dan, di zaman modern ini perhatian yang besar akan waktu amat penting. Tetapi, baiklah kalau kita tidak dikuasai oleh waktu. Biarlah kita yang menguasai waktu. Kita tentu bisa melampaui waktu yang ada.

Kalau kita menguasai waktu kita akan berbuat sesuai yang kita inginkan. Kita tentu ingin berbuat baik. Kebaikan memang berlaku untuk semua. Semua menginginkan kebaikan. Semua ingin berbuat baik dan menerima perlakuan baik. Kebaikan itu universal, berlaku untuk semua orang. Maka, berbuat baiklah tanpa mengenal waktu.

Jangan pernah menghitung berapa jumlah kebaikan yang Anda perbuat. Usahakan untuk berbuat baik setiap waktu. Jangan pernah mengukur besar-kecilnya kebaikan yang Anda berikan. Berbuat baiklah semampu Anda. Jika Anda belum tersenyum saat bangun dengan pasangan Anda, dengan anak Anda, berikan segera senyummu. Jika Anda belum menyapa sopir pribadi Anda dalam mobil, segeralah sapa dia. Jika Anda belum pamit dengan istri/suami dan anak-anak Anda sebelum berangkat kerja, pamitlah sebentar dengan mereka.

Jika Anda sering melanggar lampu merah, segeralah berhenti saat lampu merah menyala. Jika Anda sering mencuri jalur pengendara lain, segeralah mengerem mobil Anda dan membiarkan kendaraan lain berjalan dalam jalurnya. Pelan-pelan Anda sedang berbuat baik. Dan teruslah berbuat baik semampu Anda dan kapan pun. Saat malam, ingatlah kembali kebaikan yang Anda berikan sepanjang hari tanpa menghitungnya. Bahkan, jika masih sempat, ucaplah salama tidur kepada pasangan, anak-anak, atau orang yang Anda jumpai. Jika Anda masih kuat, mampirlah ke tempat tidur anak Anda dan kontrollah sebentar kalau-kalau ada nyamuk yang mengigitnya.

Kecil tetapi berguna. Besar dan bermanfaat. Itulah kebaikan. Tidak mengenal waktu. Tidak mengenal ukuran. Kebaikan mesti melampaui waktu dan bobot. Kebaikan itu setara dengan matahari. Kita tidak pernah melihat matahari. Kita hanya melihat sinar matahari, melihat benda-benda yang disinari oleh cahaya matahari.

Seperti matahari, kebaikan juga tidak bisa kita lihat. Kebaikan adalah sesuatu yang abstrak. Kebaikan menjadi nyata ketika kita mewujudkannya dalam perbuatan. Ya, seperti menyapa sesama pengguna jalan kaki di pagi hari, ketika Anda mengujungi kolega yang sakit, ketika Anda menjemput anak Anda di sekolah, ketika Anda memperlakukan pembantu Anda seperti manusia terhormat seperti Anda, ketika Anda tidak menjadikan artis dambaan Anda budak seks Anda. Inilah bukti bahwa kebaikan itu bisa jadi nyata. Kita tidak melihatnya tetapi kita bisa melihat perbuatan baik yang merupakan wujud nyata dari kebaikan itu.

Salam cinta kebaikan.

PRM, 7/9/2015


Gordi

Dipublikasikan pertama kali di BERBUAT BAIK TANPA MENGENAL WAKTU


Mataku melotot memandang bunga-bunga itu. Bukan sekali saja lewat di sini. Pandangan pertama memang selalu menyentuh hati. Tapi, berkali-kali lewat pun tak membuat hatiku luntur akan sentuhannya. Ya, sentuhan keindahan bunga-bunga itu.

Bunga-bunga itu bak gadis cantik nan menawan. Gadis seperti ini jadi objek penglihatan lelaki. Boleh jadi bukan saja sebatas melihat tetapi ingin memilikinya. Dan lelaki begitu terpananya akan gadis cantik, dia akan berusaha memperolehnya. Lelaki pada umumnya ingin menunjukkan kejantanannnya. Dan, lelaki belum dikatakan pejantan jika belum memiliki gadis molek itu. Dengan segala cara pun dia menunjukkan pada kawannya bahwa dia adalah sang pejantan tangguh. Dia akan membuktikannya dengan memiliki gadis cantik itu.

Bunga itu memang bukan gadis cantik tetapi bunga itu betul-betul menggoda hatiku untuk memilikinya. Lama kutatap warnanya. Berwarna-warni. Perpaduan warna yang begitu indah. Hijau, merah muda,  merah tua. Betul, perpaduan yang indah. Merah selalu menarik dilihat dari mana pun terutama dari kejauhan. Permainan warna merah inilah yang membuat mataku terpana melihat jejeran bunga ini. Dari kejauhan sudah tampak indahnya. Makin dekat, makin indah. Makin indah, makin lama menatap. Makin lama menatap, jadi jatuh cinta untuk memilikinya.

Bukan saja warna merah. Ada juga warna hijau. Hijau selalu identik dengan kesuburan. Bunga ini memang tentu tumbuh subur. Entah siapa yang memberinya makanan bergizi. Yang jelas, bukan manusia. Pemilik bunga ini hanya menaruhnya dipot. Sesekali dirawatnya dengan memotong ranting dan daun yang tua. Tapi, tak pernah pemiliknya memberi pupuk. Hanya mencari tanah yang subur untuk menambah koleksi tanah dalam pot. Tanah itulah yang memberinya makanan sampai bunga itu tumbuh dan menampakkan keindahannya. Tanah tentu dianugerahi kesuburan oleh Sang Pencipta. Maka, bunga itu mengajakku sejenak untuk tidak berhenti menatapnya lama-lama tetapi menatap lebih jauh, menembus keindahannya, pada Sang Pencipta.

Hatiku masih terus merayu bahkan menggoda untuk memilikinya. Bunga ini memang sungguh bak gadis idamanku. Mengingat gadis idaman tak bosan-bosannya. Selalu saja ada yang kuidamkan. Melihat yang satu, mau. Sayang hanya sebatas mau sebab tak lama kemudian dia lewat lalu pergi. Tapi, tidak ada yang perlu disesali. Sebab, tidak ada waktu untuk mengingat dan menyesalinya. Selang berapa menit kemudian, datang lagi gadis idaman yang lebih cantik darinya. Maka, mengidamkan untuk memilikinya adalah sebuah pekerjaan yang tak hentinya.

Mengingat gadis idamanku itu seperti menginginkan bunga indah yang ada di depan mataku. Mau memilikinya tapi tidak bisa memilikinya. Sebab, bunga itu tumbuh di pot di pinggir jalan. Banyak orang lewat di sini. Banyak yang mengaguminya. Banyak pula yang seperti saya ingin memilikinya. Sayang, tak bisa diambil. Sebab, kalau saya mengambilnya, bunga itu tidak bisa dinikmati lagi oleh pengunjung lainnya. Ah sayang bunga ini hanya untuk dinikmati tetapi tidak untuk dimiliki.

Alam memang menyediakan semuanya untuk kita nikmati. Tetapi tidak boleh menikmatinya berlebihan. Keindahan itu sebaliknya menugaskan kita untuk menjaganya bak menjaga gadis cantik dari cengkeraman lelaki hidung belang. Anak cucu kita punya hak—dan mereka akan menuntut kita—untuk menikmatinya.

Salam cinta alam.

Molveno-Trento medio Agustus 2015

ilustrasi di sini
Cinta itu dahsyat, kata orang. Seperti apakah dahsyatnya? Mereka yang sudah merasakannya tentu berkomentar demikian. Tak salah komentar mereka. Karena, berangkat dari kenyataan.

Meski dahsyat, cinta itu juga sebenarnya merugikan. Pengagum paham ini juga tak salah karena berlandaskan fakta. Bagi mereka, cinta itu membawa dusta. Cinta seperti ini kiranya tidak jauh berbeda dengan cinta-nafsu. Nafsu yang bermula dari saling cinta. dan, cinta yang bertujuan pada nafsu. Ini sungguh cinta yang merugikan.

Saya baru saja tiba di Jakarta. Dengan tiket yang dibelikan seorang sahabat, saya terbang dari kota pendidikan, Yogyakarta, menuju ibu kota. Perjalanan lancar, bebas hambatan, hingga tiba di bandara Soe-Hat. Dari sana saya naik bus DAMRI menuju Rawa Mangun. Dari situ naik bajaj menuju rumah kami.

Dahsyatnya cinta itu seperti perjalanan. Perjalanan tanpa hambatan. Ini karena perjalanan itu disertai cinta. Cinta pilot pada penumpangnya, cinta sopir bis/bajaj pada penumpangnya.

Dahsyatnya cinta itu juga dirasakan saat bertemu teman-teman kampus dan adik-adik yang masih kuliah. Beberapa teman dengan ramah menyapa saya, menanyakan keadaan, dan sebagainya. Demikian juga dengan adik kelas. Tak diduga, saya diikutsertakan mengikuti acara di kampus. Ada pentas budaya, pengumuman hasil lomba olahraga, esai, dan beberapa permainan lainnya.
Saya bangga menjadi alumni kampus ini. Kebanggaan saya bertambah ketika beberapa dosen masih mengenali saya. Memang belum setahun saya meninggalkan kampus tercinta ini.

Inilah dahsyatnya cinta. Cinta itu ternyata ditemukan lewat orang-orang di sekitar. Mereka yang dulu pernah berjuang bersama kita. Cinta itu tak melulu dikatkan dengan relasi cinta antara lawan jenis. Cinta itu lebih besar dari sekadar semboyan, I love you.

CPR, 5/5/23
Gordi


Apa sih Ciri-ciri Cowok yang Jujur?

ilustrasi, di sini

Mencari ciri-ciri cowok yang baik menjadi kebiasaan para cewek. Cewek memang pantas membicarakan ini. Karena mereka bergaul dengan pria. Dan ini bukan sekadar untuk ditanyakan tetapi mesti diselidiki.

Pertanyaan di atas dilontarkan seorang teman cewek. Saya kaget, mengapa pertanyaan itu dilontarkan. Ada asap ada api. Teman ini memang sedang menjalin asmara dengan teman cowok. Dia pantas mengajukan ini. Dia pantas mengetahui ciri pria yang baik.

Menanyakan prihal pria merupakan awal yang baik. Mengetahui sebanyak mungkin informasi tentang orang yang akan dihadapi. Cewek mengetahui sebanyak mungkin dan sejauh mungkin seluk-beluk kehidupan seorang cowok. Kebiasaan cowoknya seperti apa. Apakah dia pembohong, pencemburu, playboy, pemfitnah, perayu dahsyat, dan sebagainya. Sifat-sifat ini mesti ditelusuri. Ini menjadi awal untuk menelusuri lebih dalam lagi kepribadian pria itu.

Hubungan asmara menjadi hubungan yang mengikat jika saling cocok. Mencapai kesepakatan yang cocok bukan perkara mudah. Ada rentang waktu tertentu untuk mengetahuinya. Proses panjang. Inilah masa pacaran. Pacaran bukan sekadar ungkapan kata-kata gombal tetapi mempelajari sifat sang pacar. Jika sudah cocok hubungan itu bisa dilanjutkan dan bahkan kalau mungkin sampai pada perkawinan.

Kecocokan ini juga bukan jaminan. Ada pasangan yang setelah berjalan ternyata sampai pada pembatas. Mereka berpisah. Muncul alasan karena tidak cocok lagi. Padahal dulunya sudah pacaran, dan masing-masing menemukan bahwa mereka cocok. Ini pasangan yang pas buat saya. tahu-tahunya hubungan mereka berakhir sebelum target tercapai. Hubungan ini rencananya seumur hidup. Dalam suka dan duka. Dalam untung dan malang.

Apa sih ciri-ciri pria yang jujur, bisa diubah, apa sih ciri-ciri wanita yang jujur? Bukan hanya pria yang bermata keranjang. Setidaknya beberapa teman mengakui pacarnya mata keranjang. Ini mungkin yang dialami cewek remaja. Yang belum menentukan secara pasti hubungan pacarannya. Atau yang emosinya labi. Gampang berpindah ke lain hati. Wanita bisa berbohonh pada pacarnya. Katanya sakit padahal ingin bertemu cowok lain. Mata keranjang juga bukan?

Pertanyaan di atas memang mestinya diajukan oleh cowok dan cewek. Bukan saja pada cowok yang lekat dengan pandangan mata keranjang. Cowok memang mata keranjang tetapi jangan terlena cewek juga bisa punya mata keranjang.

Gara-gara pertanyaan teman cewek ini saya menjadi tahu, bahwa mata keranjang itu milik si cowok dan cewek. Tetapi mudah-mudahan tidak banyak cewek yang mata keranjang. Kalau banyak nantinya cewek bersaing dengan cowok yang sebagian besar dicitrakan mata keranjang. Biar cewek tidak identik dengan mata keranjang, cewek mestinya tetap jaga mata yah, buanglah mata keranjang itu.

Pertanyaan di atas membuat saya menyinggung mata keranjang padahal inti pertanyaan ini hanya sifat pria yang jujur. Menyinggung sifat pria bisa juga mengaitkan dengan sebutan mata keranjang. Dan rupanya mata ini sudah menyebar di antara kaum cowok dan cewek. Hai cowok maukah kamu melepas mata keranjangmu? Hai cewek maukah kamu diidentikkan dengan mata keranjang? Tidak bukan? Yukkk bersihkan mata baik cowok-cewek agar tidak melihat dengan mata keranjang.

Lalu manakah ciri-ciri cowok yang jujur? Saya juga tidak tahu mana-mana saja cirinya. Tetapi mestinya cowok itu tahu, dia harus jujur, mengungkapkan yangs ebenarnya pada ceweknya. Demikian juga si cewek emsti terbuka, ungkapkan dengan jujur, katakan dengan tulus ikhlas pada cowoknya. Itulah ciri-ciri cowok dan cewek yang jujur.

PA, 29/5/13

Gordi

ilustrasi di sini
Siapa pun pasti ingin merenung. Merenungi kehidupannya, kejadian yang menyedihkan, kejadian yang membahagiakan. Setiap orang butuh saat-saat khusus ini. Merenung di tempat sunyi. Manusia memang makhluk yang sepi. Maksudnya suka menyepi, suka yang sunyi. Orang Bali boleh berbangga akan hal ini. Setiap tahun ada kesempatan untuk merenung dalam sunyi.

Meski suka sepi, manusia sebetulnya suka ramai. Suka masuk dalam kerumunan, masuk diskotek, masuk lapangan sepak bola, masuk pertunjukkan konser dan sebagainya. Manusia adalah bagian dari keramaian. Dan tampaknya keramaian ini mendominasi hidup manusia. Manusia sulit menyediakan waktu luangnya untuk menyepi. Maunya ikut retret, menyepi, tapi selalu tenggelam dalam kesibukan.

Soekarno adalah tokoh bangsa ini yang pastut dicontoh. Dalam dirinya merenung menjadi kegiatan yang bermanfaat. Bukan sekadar merenung tetapi memperoleh hasil dari merenung. Lima sila yang dikenal sebagai pancasila merupakan kelanjutan dari hasil renungan Soekarno di bawah pohon Sukun di kota Ende-Flores, NTT. Merenung baginya menjadi kesempatan untuk menemukan inspirasi.

Selain membawa manfaat, merenung juga sering diidentikkan dengan tindakan bodoh dan gila. Manusia sering menyindir para perenung sebagai orang gila. Gila, kamu merenung melulu. Demikian komentar beberapa pengritik. Pengritik ini sebenarnya tidak tahu apa arti merenung. Mereka menyamakan merenung dengan menghayal, nglamun. Menghayal memang bisa dipandang sebagai tindakan bodoh. Tidak menghasilkan apa-apa. Tetapi dalam sindiran bodoh ini, penghayal justru menemukan dirinya jauh dari kebodohan. Dia menciptakan kisah dalam novel justru bermula dari tindakan menghayal. Jadi, menghayal itu tidak selamanya dan tidak melulu tindakan bodoh. Sebagian orang mungkin ya tetapi sebagian lagi tidak.

Jika menghayal saja bukan melulu tindakan bodoh, merenung juga tidak bisa disamakan dengan tindakan bodoh. Merenung tampaknya bodoh. Tak bersuara, bisu, tak bertindak, diam. Dan memang itulah esensi dari merenung. Merenung menjadi saat-saat intim bersama pikiran. Dalam keintiman ini ada gerak pikiran. Pikiran bekerja keras dan menghasilkan sesuatu yang maksimal dalam kesunyian, keheningan, kediaman. Tak jarang memang merenung dikaitkan dengan tindakan diam, bisu, termenung, tak bergerak, dan sebagainya.

Gambaran ini adalah gambaran orang bodoh, tak berpendirian. Memang merenung adalah tindakan bodoh. Karena bodoh, orang menghindarinya. Namun, dari kebodohan itu lahirlah ide cerdik, pintar, dan segar. Perenung tidak identik dengan orang bodoh. Perenung yang dipandang bodoh justru menjadi tokoh visioner dan pintar. Dan memang untuk mencapai ide yang bernas, seseorang mesti merenung. Ide menarik tidak muncul begitu saja. Ide itu datang melalui situasi sunyi, diam, tak bergerak. Melalui tindakan merenung.

Itulah yang dibuat Soekarno, presiden pertama bangsa ini sekaligus proklamator. Diamnya Soekarno adalah diamnya orang pintar. Diamnya orang pintar adalah diam merenung. Dalam merenung dia menemukan ide cemerlang.

Kala manusia tak lagi mau merenung, hidup terasa dangkal. Mau yang mudah dan instan. Pikiran pun sulit diajak memikirkan yang dalam. Suka berpikir yang dangkal. Susah berpikir yang dalam. Lantas muncul ide yang dangkal, tidak mendalam, menyentuh permukaan saja. Debat publik pun menjadi hambar, jauh dari kedalaman aspirasi rakyat. Baik kalau manusia kembali ke asalnya sebagai makhluk pecinta sunyi, makhluk perenung.

Salam merenung.

PA, 5/6/13
Gordi



ilustrasi, di sini
Semua kompasianer ingin menulis. Menulis, bagi kompasianer adalah eksistensi. Keberadaannya sebagai anggota blog keroyokan menjadi nyata ketika dia menulis. Maka, menulis mesti menjadi kesehariannya. Selain menulis tentu dia juga membaca. Membaca dan menulis juga menjadi keseharian kompasianer. Kalau boleh mengubah kata-kata Descartes, kompasianer menulis maka kompasianer ada.

Meski demikian, ada juga kompasianer yang ada di sini untuk membaca saja. Tidak menulis. Entahkah dia suatu saat akan menulis. Untuk sementara dia hanya membaca dan memberi komentar saja. Tentu ini tidak bisa disimpulkan bahwa dia menjadi kompasianer hanya untuk membaca. Dia menjadi kompasianer pembaca saja. Padahal kompasianer yang lain adalah penulis. Kiranya, semua setuju, suatu saat, kompasianer pembaca ini akan menjadi kompasianer penulis.

Membaca dan menulis memang ibarat dua sejoli. Menulis ada karena membaca, membaca ada karena menulis. Tidak mungkin bisa menulis kalau sebelumnya tidak membaca. Membaca apa saja. Demikian juga tidak bisa membaca tanpa didahului menulis. Membaca mesti mutlak ada bacaan. Dan bacaan itu adalah tulisan. Maka, membaca dan menulis selalu berjalan beriringan.

Karena eksistensi kompasianer adalah menulis, setiap hari selalu ada tulisan yang ditayang. Bahkan, setiap 2 menit selalu ada tulisan. Tulisan ini muncul dari anggota kompasianer. Jumlahnya bertambah setiap hari maka tulisan yang masuk juga akan bertambah. Kompasianer memang ada untuk menulis. Meski demikian, tidak semua kompasianer bisa menulis setiap hari. Ada yang sekali seminggu, sebulan, atau tak tentu. Menulis karena ada ide, begitu beberapa di antara mereka menyebut hal ini. Ada juga penulis produktif yang setiap hari bisa menghasilkan lebih dari satu tulisan.

Antara kompasianer ada simbisosi mutualisme. Dalam arti, sesama kompasianer saling belajar. Belajar dari tulisan A, B, dan C. Dari situ akan ada tulisan lagi. Maka, menjadi kompasianer juga berarti menjalin relasi simbiosis mutualisme.

Kiranya, tidak perlu cemas  atau resah, jika kompasianer A tidak bisa menulis seperti kompasianer B. Toh keduanya unik. Tak perlu sama. Dan memang tidak harus sama. Keresahan dalam menulis muncul karena antar-kompasianer ada kecenderungan untuk membanding. Kalau dia bisa mengapa saya tidak bisa. Padahal saya tidak sama dengan dia. Dia kok bisa saya tidak bisa-bisa. Padahal sesama kompasianer.

Kecemasan yang membuat beberapa kompasianer tidak bisa menulis kiranya bisa diubah menjadi kegembiraan. Gembira karena suatu saat dia bisa menulis. Kecemasan tidak akan tinggal selamanya. Kecemasan itu akan menjadi kegembiraan pada suatu saat. Maka, bergembiralah yang cemas dalam menargetkan tulisan di kompaiana ini.

Keyakinan akan perubahan—dari cemas ke gembira—kiranya diakui kompasianer. Sebab, dengan sering membaca, kompasianer akan bisa memahami tulisan. Memahami sesuatu menjadi awal untuk menulis. Menulis sesuai dengan pemahaman. Jika paham soal masalah budaya tulislah itu. Paham soal internet tulislah itu. Maka, tidak ada kata cemas untuk menulis. Dunia tulisan itu luas. Dan, peluang untuk ke sana ada di kompasiana ini. Di sini, ada simbioasi mutualisme. Kamu menulis saya membaca, saya menulis kamu membaca. Kamu menulis, saya menulis. Kamu membaca saya juga membaca.

PA, 10/6/13
Gordi




Hari Minggu dikenal sebagai kesempatan untuk foya-foya. Karena hari ini banyak orang menikmati akhir pekan, liburan akhir pekan. Manusia memang suka foya-foya. Manusia ingin menikmati kesenangannya. Meski foya-foya manusia juga ingin menggunakan hari Minggu untuk bersujud pada Yang Mahakuasa. Itu karena hari Minggu dikhususkan untuk Tuhan bagi orang Katolik dan Kristen Protestan.

Hari Senin biasanya dikenal sebagai hari huru hara. Itu karena Senin menjadi awal pekan. Biasanya awal selalu menjadi sulit. Memulai apa pun pasti mengalami kesulitan pada awalnya. Manusia hampir mengalami ini setiap kali mengawali pekerjaannya. Itulah sebabnya awal pekan juga menjadi berat.

Kesulitan juga biasanya menjadi awal untuk berjuang. Manusia memang melewati masa sulit tetapi kemudian ia menikmati buahnya. Dia sukses. Banyak orang sukses yang diawali dengan perjuangan yang sulit. Kiranya semua setuju, kesulitan pada awal akan menjadi kebahagiaan pada akhir. Asal saja dengan tekun mengikuti proses yang ada.

Antara hari Minggu dan hari Senin ada malam Senin. Malam ini menjadi penengah antara dua hari yang kontras. Malam ini malam untuk mengakhiri foya-foya dan mengawali huru-hara dengan persiapan. Yang sudah siap akan menghadapi hari Senin dengan santai-santai. Dengan itu, Senin bukan lagi huru-hara. Manusia memang suka huru-hara bila berebut hadiah. Hadiahnya tidak seberapa tetapi gara-gara huru-haranya yang lain bisa terinjak.

Betapa pun buruknya huru-hara, sikap ini juga bisa menjadi positif. Huru-hara menjadi tanda perjuangan. Tetapi ini bukan huru-hara biasa. Huru-hara ini merupakan sikap terlatih. Dibiasakan atau dilatih untuk bersikap huru-hara ketika ada situasi darurat. Huru-hara ini kiranya tidak membahayakan yang lain. Sebaliknya ini justru untuk menyelamatkan yang lain. Salam huru-hara.


Jakarta, 16/6/13
Gordi 

Berkeringat. Ada yang jijik dengan keirngat padahal keringat adalah tanda orang sehat. Orang yang tidak berkeirngat malah pertanda sakit. Sudah bergerak ke sana kemari tetapi belum berkeringat. Tetapi ada juga yang keringat berlebihan. Gerak sedikit saja pasti berkeringat. Apa pun yang terjadi, yang jelas, berkeringat adalah tanda orang sehat.

Tetapi bukan orang sehat saja yang berkeringat. Orang sakit juga berkeringat. Bagi orang sakit, berkeirngat adalah tanda bahwa dia benar-benar sakit dan membutuhkan pertolongan. Jadi, berkeirngat itu bisa menjadi tanda orang sehat dan juga tanda orang sakit.

Untuk mereka yang tinggal di daerah dingin, berkeringat itu perlu. Keirngat menjadi penghangat tubuh. Mereka sudah menjadi dingin karena suhu maka mereka harus kreatif mencari kehangatan tubuh. Berolahraga, jalan cepat, jalan santai, berlari, bermain voli, futsal, sepakbola, bulu tangkis, dan sebagainya. Semua yang memicu keluarnya keirngat. Keringat menjadi tanda tubuh sedang mengeluarkan banyak energi.

Untuk yang tinggal di daerah panas, tidak susah berkeringat. Tanpa bergerak pun sudah berkeringat. Tetapi, ini tidak menjadi alasan untuk tidak berolahraga. Keringat dari hasil gerak tubuh atau olahraga adalah keringat yang sehat. Beda dengan keringat yang keluar dengan sendirinya karena suhu panas. Keringat seperti ini tidak beda dengan keringat orang sakit. Dia tidur pun keringat tetap keluar. Keringat menjadi tanda bahwa tubuh sedang tidak sehat.

Betapa pun keringat itu pertanda orang sehat, ada yang tidak suka berkeringat. Ada yang jijik melihat keirngat. Mungkin karena itu, mereka enggan beraktivitas untuk berkeringat. Tidak mau bekerja keras secara fisik sampai berkeringat. Bahkan tidak mau kena panas. Maunya ber-AC. Dari rumah, mobil, lalu kantor. Kapan berlahraga di alam bebas. Tidak pernah atau bahkan jarang.

Padahal olahraga di alam bebas menyehatkan. Ada pergantian udara yang masuk paru-paru. Dan, jika berolahraga di alam bebas, keringat keluar dengan sendirinya. Keringat yang menjadi tanda jijik itu justru menjadi pertanda bahwa tubuh sedang sehat dan menyatu dengan alam yang juga memberi kesegaran pada manusia. Keringat, betapa pun engkau tidak diinginkan, aku tetap menginginkanmu. Betapa aku merasa segar setelah berkeringat. Dan, ini adalah imbas dari keringat yang mengucur tubuhku sehabis futsal mtadi sore.

Jakarta, 4/7/13
Gordi

Foto dari rete.comuni.italiani.it
Air yang jumlahnya sedikit rupanya cukup untuk semua. Tidak perlu rebut air ala Indonesia. Indonesia memang di beberapa wilayahnya masih kekurangan air bersih. Di beberapa wilayah lagi ada isu air bersih yang ada sudah dibeli oleh perusahaan air minum. Air itu lalu dikemas dalam botol. Lalu, air yang gratis didapat dari alam itu jadi berbayar setelah ‘dibotolkan’. Keran air di tengah kota,

Musim panas di benua Eropa ini menjadi pelajaran penting untuk kita semua. Khususnya yang sedang berkunjung ke Eropa. Panasnya minta ampun. Hari ini saja, Kamis 6/8/2015 diperingati sebagai hari terpanas sepanjang tahun. Suhu hari ini memang panas. Di daerah pegunungan dengan ketinggian 400-an meter saja suhu bisa naik 34°Celcius.

Suhu ini tentu membuat banyak orang harus minum banyak air. Selain mencari teduhan yang menyejukkan. Di Eropa pada umumnya saat ini, dari Juni sampai Agustus, banyak orang membawa air dalam perjalanan. Selalu ada botol aqua di tangan, di dalam tas, dan juga di atas sepeda kala bersepeda. Tubuh memang butuh banyak air. Seperti kita di Indonesia tentunya seperti di Jakarta yang butuh banyak air untuk tubuh.

 Di Eropa seperti Italia dan Prancis pengalaman musim panas ini jadi unik. Di kota-kota selalu ada keran air. Di berbagai sudut kota selalu ada keran air yang selalu mengeluarkan air dengan volume kecil. Kerannya memang kecil tetapi cukup untuk semua.

di kota Bologna, tempat saya menginap selama bulan Juli yang lalu, misalnya di berbagai sudut kota ada keran air. Saya datang ke kota ini pada musim dingin tahun 2014 yang lalu. Di pusat kota belum ada keran air. Saya heran ketika pada Juli lalu ada keran air. Keran itu rupanya disediakan hanya pada musim panas saat banyak orang butuh banyak air. Keran itu tentu saja tinggal dipasang. Airnya sudah ada sejak kota itu dibangun. Jangan heran jika saat musim panas, keran itu tinggal dihubungkan dengan sumber air yang sudah ada di bawah jalan atau halaman kota. Hampir semua kota-kota di Italia sudah menerapkan sistem ini. Di Parma dan Milan atau Roma juga sudah seperti ini.

Sekali lagi keran itu kecil etapi cukup untuk semua. Kok bisa? Ya di sini semua orang belajar untuk antri. Saya masuk dalam antrian itu pada Juli lalu. Tidak ada yang rebut. Malah setiap orang berebut mendahulukan orang lain. Saya kaget. Padahal di Indonesia rebut hadiah lebaran saja bisa jatuh korban. Saya salut dengan amsayarakat di sini.

Dengan ini tidak perlu lagi beli banyak air di toko. Cukup bawa botol dari rumah beserta airnya. Kalau habis tinggal diisi di keran yang ada di seluruh kota. Airnya bersih. Jangan takut meminumnya. Saya sudah berkali-kali meminumnya terutama di musim panas. Segar dan enak. Untuk memperolehnya juga mudah. Tidak perlu rebut.

 Betapa air memang mesti gratis dan untuk semua masyarakat. Di bagian Utara Italia, seperti kota Napoli dan beberapa kota di sekitarnya, pemerintah daerah sudah berhasil menggratiskan air untuk masyarakat. Beberapa perusahaan air minum Italia yang beroperasi di daerah itu diwajibkan untuk menyediakan air gratis bagi rakyat. Bukan saja untuk air minum tetapi juga untuk kebutuhan lain. Di Italia memang tidak dibedakan air minum dan air untuk kebutuhan lain. Semuanya berkualitas sama. Jangan heran jika kita bisa minum langsung air yang ada di kamar mandi.

Indonesia yang wilayah airnya lebih besar dari daratan mestinya bisa membuat seperti ini. Yakin juga bahwa Indonesia suatu saat akan menikmatinya. Pelan-pelan tetapi pasti. Asal mulai saat ini.


Bologna, 22/7/2015
Gordi



Tak ada waktu yang terbuang. Semuanya dimanfaatkan.

foto, shutterstock
Saya baru saja pulang dari toko komputer. Saya bertemu teknisi di sana. Sejenak saya memerhatikan aktivitasnya. Memperbaiki komputer yang rusak. Sesekali menerima telepon dan juga menerima pengunjung yang datang. Kadang-kadang dia berjalan ke sana kemari untuk memerhatikan proses yang terjadi di beberapa komputer yang sedang menyala.

Rupanya dia sekaligus menyalakan beberapa. Bukan hanya satu. Saya menduga dia berbuat demikian karena setiap komputer punya ‘gaya beroperasi' sendiri-sendiri. Ada yang operasinya cepat. Ada yang lambat sekali. Kalau hanya satu yang dinyalakan, bayangkan betapa dia membuang waktu untuk menunggu jalannya komputer yang beroperasi itu. Dengan dua tiga komputer sekaligus, dia bisa mengisi waktu yang ada dengan tidak menunggu.

Bukan keahliannya mengoperasikan lebih dari satu komputer yang saya acungi jempol. Bukan. Saya terkagum dengannya karena keinginannya untuk terus menerus belajar. Di sela-sela aktivitasnya, dia membuka internet. Membuka situs youtube dan melihat video cara memperbaiki komputer.

Saya kagum dengan sikapnya ini. Dia tahu dirinya mungkin kurang atau belum ahli dalam satu hal atau lebih. Dia tidak mau tinggal diam saja dalam keahliannya yang belum cukup itu. Dia belajar, belajar, dan belajar lagi dari orang lain. Dari video yang ada. Boleh jadi dari setiap cerita yang dia dengarkan dari pengunjungnya.

Sikapnya ini beda sekali dengan sikap saya yang kadang-kadang membuka komputer hanya untuk melihat status teman di facebook. Atau untuk main game di komputer. Untunglah untuk yang satu ini saya sama sekali tidak tertarik. Masih ada email yang harus dicek setiap hari. Masih ada 3 blog yang harus dikelola. Masih ada tugas yang harus diselesaikan. Masih ada permintaan file foto yang harus dikirim.

Terima kasih pak. Darimu saya belajar untuk terus menerus memperbarui pengalaman dan ilmu pengetahuan yang ada. Darimu saya belajar untuk perlu belajar dari orang lain. Darimu saya belajar untuk tidak cepat puas dengan pencapaian yang ada. Darimu saya belajar untuk menganggap diri selalu ada kekurangan yang harus dipenuhi.

Prm, 21/8/2014
Gordi


foto, shutterstock
Tanganmu menyentuh ujung bajuku. Suaramu bergetar memanggilku dari belakang. Tanganmu bergegas begitu melihat tangan saya. Pertanda memberi salam.

Itulah pemandangan yang saya rekam tadi pagi. Usianya lebih dari 80 tahun. Selalu duduk di kursi roda. Makan, ngobrol, menonton TV, selalu di atas kursi roda. Hanya saat tidur saja, tidak di atas kursi roda. Dia mesti dibantu untuk turun dari kursi roda. Perawat membantunya sesaat sebelum dia tidur.

Dia tak bisa bicara tetapi mau menyapa. Ya, itulah ironisnya hidup. Dia seakan-akan mengatakan, jangan biarkan diri Anda larut dalam ketakberdayaan. Jika larut dalam ketakberdayaan, hidup Anda makin tak bernilai. Memang sahabat saya ini tidak membiarkan dirinya terlarut dalam ketakberdayaan. Dia selalu tersenyum begitu ada yang bertatap dengannya. Saya selalu memerhatikan ini ketika mendekatinya. Seperti juga tadi pagi, ketika saya menjumpainya. Dengan tangannya dia mengganggu saya. Gangguan yang membangunkan saya dari kecuekan saya.

Dia tak mampu bicara tetapi mau menyapa. Saya yang bisa bicara ini malah terlambat memerhatikannya. Dari dalam dirinya muncul keingingan yang kuat untuk berbicara. Sayang fisiknya tak memungkinkan. Hanya sebatas mengeluarkan suara tanpa kata-kata yang jelas. Tapi, dalam keadaan demikian dia tetap tersenyum. Menyapa dengan senyuman. Sesekali tertawa ketika ada yang membuat lelucon. Dia mengerti apa yang sedang dikatakan.

Tingkahnya ini seakan-akan juga menegur mereka yang enggan bertegur sapa. Dengan keterbatasan fisik, dia masih bisa menegur sesama. Keterbatasan fisik memang bisa menjadi hambatan, namun, ini tidak berlaku baginya. Dia tetap bisa melampaui keterbatasannya ini. Berarti orang yang tidak mampu menyapa pun sebenarnya masih bisa menyapa. Asal ada kemauan dari dalam hatinya.

Ah, tulisan ini sampai di sini saja. Sekadar bertegur sapa untuk teman-teman saya. Salam saling tegur sapa ya buat para pembaca sekalian.

PRM, 20/2/2015
Gordi


FOTO, di sini
Kesalahan seorang pemimpin politik selalu jadi makanan empuk lawan politiknya. Itulah sebabnya kesalahan kecil pun akan jadi heboh. Jangankan kesalahan, yang tidak salah pun kadang jadi alasan untuk menyalahkan. Soal salah dan benar memang jadi perkara sengit dalam persaingan politik. 

Jokowi menyebut Blitar sebagai kota kelahiran Soekarno. Entah dia menyebut itu, dengan maksud tertentu, atau memang dia menyebut berdasarkan yang tertulis dalam teks. Yang jelas, sebutan itu salah sebab menurut beberapa sumber Surabayalah kota kelahirannya. Boleh saja Jokowi berdalih, dia hanya membaca saja teks itu. Apalagi jika tidak dikoreksi. Jadi, dia hanya membaca. Jokowi akan berdalih, wong dia hanya membaca kok. Membaca apa yang tertulis, itu tidak salah. Memang jika demikian, Jokowi sama sekali tidak salah.

Tetapi tetap saja ada yang menilai Jokowi salah, Jokowi keliru, bahkan Jokowi tidak tahu sejarah. Yang lain bilang Jokowi tidak paham sejarah, Jokowi tidak kenal baik Soekarno. Pokoknya banyak komentar ditujukan pada Jokowi. Kesalahan ini memang mau tak mau mengundang kritik pedas banyak orang. Kesalahan yang diucapkan Jokowi seperti senjata empuk bagi lawan politiknya. Bahkan, bukan saja untuk Jokowi, tuduhan untuk tim atau orang yang menyusun pidato juga ada. Ada yang mengancam pecat saja penyusun pidato itu.

Kedengarannya keras sekali. Karena keras, sampai-sampai tidak bisa lagi melihat masalahnya. Sebenarnya semudah itukah menyalahkan sang presiden? Semudah itukah memecat penyusun pidato sang presiden? Semudah itukah memecat seorang pekerja yang bekerja untuk pemimpin negara?

Dalam politik, hal sepele pun bisa jadi rumit. Karena rumit, hal yang mendasar pun sulit terlihat. Karena yang rumit dalam politik bisa jadi sepele dan yang sepele bisa jadi rumit. Sebenarnya ucapan Jokowi tidak serumit yang dipikirkan banyak orang. Gampang saja masalahnya. Kekeliruan itu, tidak sepedas kritikan penulis di media maya. Pengritik di dunia maya dengan enteng menyebut Jokowi tidak tahu sejarah, lalu mengecam penyusun pidato. Semudah itukah memecat penyusun pidato presiden? Semudah itukah mengkritik pemimpin negara?

Kalau Jokowi keliru, ya tinggal dimaafkan. Siapa pun bisa keliru. Dan kalau keliru tinggal perbaiki saja. Masalahnya selesai. Tidak perlu mengkritik sana-sini. Mencari kesalahan sana-sini. Bahkan berkomentar di media. Ini namanya membesar-besarkan masalah. Masalah kecil kok diperbesar. Masalah sepele kok diperumit. Pemimpin mana yang tidak keliru?

Kalau Jokowi keliru, apakah Anda tidak tergerak untuk mengatakan Jokowi keliru ketimbang banyak komentar, banyak kecam untuk Jokowi. Bukan membela Jokowi. Jokowi tentu saja keliru. Tapi, tidak perlu bereaksi yang berlebihan untuk kekeliruan Jokowi. Jadilah pengamat dan bukan penilai. Pengamat akan tetap diam selama dia melaksanakan tugasnya dalam mengamati. Sedangkan penilai akan dengan mudah memberi nilai SALAH atau BENAR. Pengamat dengan mudah memperbaiki letak kesalahan setelah tugas pengamatannya selesai. Beda dengan penilai yang memang ditugaskan untuk menunjukkan letak kesalahan saat menjalankan tugas.

Jika Anda pernah salah, Jokowi juga demikian, bisa salah. Jika Anda pernah keliru, Jokowi juga demikian, pernah keliru. Salah seperti juga keliru tidak bisa dihilangkan. Hanya bisa dikurangi. Jika Anda ingin kurangi salah, segeralah mencari kesalahannya dan segera memperbaikinya. Maka, perbaikilah kekeliruan Jokowi, dengan cara Anda sendiri. Jika Anda mengecam Jokowi dan penyusun pidatonya, Anda tidak sedang memperbaiki kekeliruan Jokowi, tetapi membuat kekeliruan itu menjadi tambah keliru. Maka, Anda keliru jika Anda mengkritik kekeliruan Jokowi. Wong kekeliruan itu lumrah.
Jika Anda berdalig, Jokowi pemimpin negara, tidak boleh salah atau keliru. Itu juga kiranya sebuah kekeliruan. Peran Anda sebagai rakyat atau pengkritik dan Jokowi sebagai pemimpin negara pada titik ini tidaklah beda. Anda keliru, Jokowi juga bisa keliru. Bahkan, saya juga yang menulis artikel ini bisa keliru. Tapi, saya rasa saya tidak keliru menulis artikel ini. Saya tahu Jokowi keliru, saya sadar saya juga bisa keliru. Tapi, saya tidak mengutuk bahkan mengecam Jokowi karena kekeliruannya. Lebih baik saya mengatakan, ah saya juga bisa keliru, tinggal diperbaiki saja. Gampang saja. Lala, kenapa saya harus merepotkan para pengkritik Jokowi? Bukan mereka berhak mengecam Jokowi dengan komentar pedas?

Tentu saja. Tapi, saya juga berhak untuk mengatakan, lebih baik memperbaiki yang salah dan keliru, daripada mengkiritk orang yang salah dan keliru.

Salam damai

PRM, 5/6/2015


Restoran adalah tempat orang berkumpul untuk makan. Tentu bisa juga makan di tempat lain. Restoran hanyalah salah satu pilihan. Dan, biasanya kalau bicara tentang restoran, yang tersirat adalah bicara tentang makan. Menunya apa saja. Harganya terjangkau atau tidak. Tempatnya asyik atau tidak. Menunya enak atau tidak. Minumannya apa. Daftar panjang pun bisa dibuat.

Beberapa hari lalu baru bicang-bincang dengan seorang sahabat yang bekerja di Jepang. Katanya, Jepang sudah maju. Di kota-kota, hampir seluruh Jepang, restoran lebih banyak dari pengunjung. Tentu maksudnya, di Jepang terdapat banyak restoran.

Ya, Jepang memang bangsa yang maju. Kalau saja sahabat saja ini mengatakan demikian berarti betapa banyaknya restoran di Jepang. Restoran ini sejatinya dibuat agar penduduk Jepang bisa makan di restoran. Semakin banyak orang berkunjung ke restoran, makin banyak pula kebutuhan akan restoran. Ini tanda Jepang sudah maju.

Untuk bisa maju memang butuh belajar, butuh penelitian, butuh kerja keras. Untuk bangun restoran butuh biaya, butuh tenaga, butuh keahlian. Kalau restoran sudah jadi, butuh keahlian juga untuk mengembangkannya. Mendatangkan pekerja dan membayar upah sepenuhnya pada mereka. Memberi pelayanan maksimal kepada pengunjung.

Dengan demikian, membangun restoran bukan saja berhenti pada bangunan fisik. Membangun restoran itu seperti menumbuhkan sebuah pohon. Jika pohon kekurangan air, dia akan mati dengan sendirinya.

Kiranya Jepang juga sudah membuktikan keahlian ini. Kalau restoran saja sudah banyak, berarti mereka memiliki kemampuan untuk membangun, mengembangkan, dan mempertahankan restoran tersebut. Restoran tersebut—yang diibaratkan seperti pohon itu—terus tumbuh hingga jumlahnya banyak. Banyak pohon, udara segar dan bersih. Restoran banyak, pengunjung pun banyak. Pengunjung banyak, kualitas ditingkatkan. Dengan demikian, ada persaingan untuk meningkatkan kualitas agar restoran itu tidak bangkrut seperti pohon yang kekurangan air.

Bicang-bicang tentang Jepang, jadi ingat negeriku tercinta, Indonesia. Indonesia jika dikerucutkan ke Jakarta juga punya banyak restoran. Tetapi, tidak sebanding dengan banyaknya orang miskin di Jakarta yang masih susah mencari makan. Semoga Jakarta kelak juga akan menjadi kota di Jepang, yang restorannya banyak, yang sampai pengunjungnya mengatakan, lebih banyak restorannya daripada tukang makan. Kalau Jakarta sudah seperti kota di Jepang, kiranya kota lain ikut mengekor. Kalau semua kota punya banyak restoran, kelak, Indonesia pun—dari Sabang sampai Merauke—akan dikenang pengunjungnya sebagai negara yang banyak restorannya.

Kapannya ya. Jawabannya nanti. Tapi, usahanya sejak sekarang. Bukan nanti. Salam inspiratif dari seberang.

PRM, 23/2/15
Gordi

Powered by Blogger.