ilustrasi di sini |
Meski dahsyat, cinta itu juga sebenarnya merugikan.
Pengagum paham ini juga tak salah karena berlandaskan fakta. Bagi mereka, cinta
itu membawa dusta. Cinta seperti ini kiranya tidak jauh berbeda dengan
cinta-nafsu. Nafsu yang bermula dari saling cinta. dan, cinta yang bertujuan
pada nafsu. Ini sungguh cinta yang merugikan.
Saya baru saja tiba di Jakarta. Dengan tiket yang
dibelikan seorang sahabat, saya terbang dari kota pendidikan, Yogyakarta,
menuju ibu kota. Perjalanan lancar, bebas hambatan, hingga tiba di bandara
Soe-Hat. Dari sana saya naik bus DAMRI menuju Rawa Mangun. Dari situ
naik bajaj menuju rumah kami.
Dahsyatnya cinta itu seperti perjalanan. Perjalanan
tanpa hambatan. Ini karena perjalanan itu disertai cinta. Cinta pilot pada
penumpangnya, cinta sopir bis/bajaj pada penumpangnya.
Dahsyatnya cinta itu juga dirasakan saat bertemu
teman-teman kampus dan adik-adik yang masih kuliah. Beberapa teman dengan ramah
menyapa saya, menanyakan keadaan, dan sebagainya. Demikian juga dengan adik
kelas. Tak diduga, saya diikutsertakan mengikuti acara di kampus. Ada pentas
budaya, pengumuman hasil lomba olahraga, esai, dan beberapa permainan lainnya.
Saya bangga menjadi alumni kampus ini. Kebanggaan saya
bertambah ketika beberapa dosen masih mengenali saya. Memang belum setahun saya
meninggalkan kampus tercinta ini.
Inilah dahsyatnya cinta. Cinta itu ternyata ditemukan
lewat orang-orang di sekitar. Mereka yang dulu pernah berjuang bersama kita.
Cinta itu tak melulu dikatkan dengan relasi cinta antara lawan jenis. Cinta itu
lebih besar dari sekadar semboyan, I love you.
CPR, 5/5/23
Gordi
Gordi
Post a Comment