Halloween party ideas 2015
Showing posts with label RESENSI FILM. Show all posts

FOTO, 21cineplex.com
Di masyarakat majemuk seperti Indonesia, perselisihan antara berbagai perbedaan menjadi isu hangat. Yang paling sering terdengar adalah perselisihan dalam perbedaan agama. Indonesia dengan kekayaan tradisi agamanya justru memiskinan keharmonisan hidup. Di sinilah Indonesia ditantang untuk mengelola dengan baik perbedaan ini. Perbedaan yang pada dasarnya membuat Indonesia menjadi kaya bukan saja dalam materi tetapi dalam budaya dan agama. 

Selain agama, perselisihan lain yang sering muncul adalah perbedaan budaya. Sudah banyak cerita pertengkaran antara dua budaya berbeda di Indonesia. Ambil contoh tentang perantau Madura di Kalimantan. Juga contoh lain yang sering terdengar. Betapa perbedaan ini tidak dikelola dengan baik oleh Indonesia yang kaya perbedaan ini. Padahal, jika dikelola dengan baik Indonesia menjadi rumah bersama. Rumah yang menaungi perbedaan.

Menuju Indonesia sebagai rumah bersama memang tidak mudah. Mesti melewati sejarah panjang dan menuai korban juga konflik tak berakhir. Apa pun alasannya inilah kondisi yang mesti dilewati Indonesia. Dan, Indonesia sebenarnya sudah dan sedang melewati kondisi-kondisi ini. Indonesia dalam sejarahnya mengalami kondisi sulit ini. Meski berkali-kali mengalaminya, Indonesia rupanya belum mau mengakhirinya. Indonesia masih bergeliat menyelsaikan konflik seperti ini. Kita berharap, Indonesia mau dan mampu melewati dan mengakhiri konflik perbedaan seperti ini. Indonesia mesti optimis dan jangan pesimis mencapainya.

Rasa optimis inilah yang juga menjadi gambaran dalam film Tabularasa (2014). Kami menonton film ini pada Minggu, 10 Mei yang lalu di kota Milan, Italia. Bersama rombongan dari Parma, kami berangkat siang hari. Di sana kami bertemu teman-teman Indonesia lainnya yang datang dari kota sekitar seperti Milan, Reggio Emilia, Ferrara, Rimini, dan sebagainya. Bagi kami, film ini menarik. Apalagi, menampilkan keanekaragaman Indonesia di hadapan orang asing, Italia. Film ini mau mengatakan pada mereka bahwa Indonesia itu kaya dengan tradisi budaya dan agama. Indonesia mau melestarikan ini. Pelestarian ini jauh melampaui konflik perbedaan yang ada. Di film itu memang dikisahkan perbedaan itu. Perbedaan yang membuat konflik. Namun, pada akhirnya mereka bisa bersatu membangun kehidupan bersama.

Film ini seolah-olah mau menyindir Indonesia. Betapa tidak, sampai saat ini Indonesia belum mampu mengatasi konflik agamanya. Indonesia yang besar malah kalah dengan kelompok yang menggunakan agama sebagai senjata untuk menguasai yang lain. Agama mana pun kiranya mendambakan perdamaian bukan saja bagi pemeluknya tetapi bagi orang lain juga. Namun, masih ada kelompok tertentu yang katanya demi agama rela menguasai bahkan merusak hubungan dengan yang lain. Ini tentu saja bukan demi agama. Kalau pun dia ngotot menjual ayat-ayat sucinya, itu hanya bohong belaka. Dia sebenarnya tidak tahu agamanya.

Dari agama, film ini juga mau menyindir Indonesia yang seolah-olah tak berkuasa melampaui perbedaan budayanya. Dalam sejarahnya, Indonesia diwarnai konflik budaya. Dan konflik ini memakan korban. Nyawa manusia melayang gara-gara perbedaan budaya. Akhir-akhir ini memang konflik budaya seperti ini makin pudar. Semoga, tidak ada lagi. Kalau pun ada semoga tidak banyak.

Indonesia—kalau dibangun dengan baik—seperti makanan khas Padang. Makanan di RM Padang diracik dengan berbagai bumbu. Bukan saja menu gulai ikan kakap seperti diceritakan dalam film Tabularasa. Ada banyak menu lainnya. Ini berarti diracik dengan banyak bumbu. Banyak bumbu banyak rasa. Indonesia mestinya seperti menu makan Padang ini. Bumbunya sudah ada yakni pluralitas agama dan budaya. Tinggal saja meraciknya dengan baik, Indonesia nantinya dicintai dan diminati banyak orang seperti menu masakan Padang yang dicintai rakyat Indonesia.

Indonesia yang diimpikan adalah Indonesia seperti keluarga Mak dalam Tabularasa. Keluarga yang dibangun dari pluralitas. Mak, orang Padang. Hans, orang Papua. Orang Padang biasanya beragama Muslim. Orang Papua biasanya beragama Kristiani. Perbedaan ini tidak dihilangkan. Perbedaan ini jadi modal untuk membangun keluarga yang harmonis. Dan memang—dalam film—dikisahkan keharmonisan keluarga ini. Tentu setelah melewati konflik antara mereka.

Apa yang dilakukan Mak adalah contoh nyata bagi warga Indonesia. Membantu dengan penuh cinta. Ingat relawan di setiap bencana alam di Indonesia. Tidak pernah membantu berdasarkan kelompok agama dan budaya. Meski, oleh kelompok usil tertentu, selalu menciptakan suasana keruh. Mereka menggiring opini publik untuk menolak bantuan dari agama lain. Padahal, dalam bencana, misinya adalah membantu, dan bukan mencari warga seagama. Mak, melampaui perbedaan ini.

Mak—kiranya tahu—yang dia bantu adalah bukan orang Muslim. Tetapi, dia tetap mau membantu. Bahkan, sekalipun pembantunya, Natsir dan Parmanto, menentang sikapnya. Bagi Mak, Hans membutuhkan pertolongan. Dan, Mak memberikan pertolongan. Memberi makan dan mengajaknya untuk bekerja di rumahnya.

Mak juga melampaui sekat budayanya. Dia orang Minang dan Hans orang Papua. Dua budaya berbeda namun mewakili Indonesia Barat dan Timur. Mak seolah-olah mengatakan pada penonton bahwa Mak yang orang Indonesia Barat ini mau membantu orang Indonesia Timur. Mak tidak membantu hanya orang Indonesia Barat dan orang Minang saja. Ingatkah ini wahai para pembenci kelompok relawan gempa? Membantu jangan dengan persyaratan. Membantu mesti disertai sikap totalitas.

Saya puas dan bangga menonton film ini. Demikian juga teman-teman Indonesia yang lainnya. Film ini juga mau mewartakan pada dunia khususnya kota Milan bahwa Indonesia bisa hidup damai di tengah perbedaan yang ada. Kota Milan juga diwarnai perbedaan ini. Penduduknya datang dari berbagai negara, budaya, dan agama yang berbeda. Jika Milan tidak hati-hati, konflik antara warganya sulit tercegah. Dan, dalam hal ini Milan mestinya belajar dari Indonesia. Indonesia yang mereka lihat dalam film ini. Dan, tentu saja jika Milan kaya dengan makanan khas Italianya, Indonesia juga punya masakan enak dengan menu-menunya.

Terima kasih Tabularasa.

PRM, 18/5/15
Gordi



Pernah mendengar kalimat ini? Atau pernah menonton film yang berjudul seperti ini?

Benar ini adalah nama film. Tepatnya judul film. Kalimat ini artinya Hidup itu Indah atau dalam bahasa Inggris Life is Beautiful. Saya kira ada di Antara pembaca yang sudah menonton film ini atau minimal pernah emndengar kalimat ini. Saya hanya ingin membagikan sedikit kesan saya tentang film ini.

Saya menonton film yang berdurasi 122 menit ini dua kali. Di Indonesia (2007) dan di Italia (2013). Film ini memang berasal dari Italia dan aslinya terdiri atas 3 bahasa, Italia, Inggris, dan Jerman. Kemudian diterjemahkan lagi ke banyak bahasa. Saya menonton dalam bahasa Inggris di Indonesia. Maklum biasanya ada film yang bahasanya tidak diterjemahkan ketika masuk Indonesia.

Film yang dibuat tahun 1997 ini amat terkenal. Selain karena 3 kali mendapat penghargaan sejak 1998 juga karena aktornya yang terkenal, Roberto Benigni. Siapa yang tidak kenal dengan actor Italia ini?

Nama lengkapnya Roberto Remigio Benigni. Lahir di Fiorentini, Italia. Aktor yang banyak mendapat penghargaan ini kemudian menikah dengan Nicoletta Braschi. Roberto dan Nicoletta berperan dalam film La Vità è Bella. Mereka berhasil mendapat penghargaan dalam film ini. Bagus sekali karena mereka berasal dari satu rumah tangga, kemudian bermain dalam film yang sama, dan berhasil mendapat penghargaan.

Tulisan ini tidak ingin memusatkan pada tokoh film tetapi pada jalannya cerita. Secara singkat, film ini menceritakan tentang sebuah keluarga. Guido, nama sang bapak, adalah keturunan Yahudi. Guido guido mencintai Dora (mama) yang adalah pengajar di sebuah sekolah. Guido bekerja di mana saja. Kadang-kadang jadi pesuruh, kadang pelayan hotel, dan sebagainya. Tapi, satu sikap yang mencolok dari Guido adalah orangnya ceria. Bisa cepat beradaptasi di mana-mana.

Cintanya akan Dora rupanya akan berlanjut. Meski Dora pada suatu ketika mau dinikahkan dengan seorang pangeran Jerman. Saat pesta pernikahan itulah Guido yang berprofesi sebagai pelayan hotel membawa kabur si Dora. Cinta mereka pun membuahkan hasil. Lahir anak mereka, Joshua.

semua gambar dari google
Namun, cinta mereka tidak seromantis seperti pada permulaan. Di mana mereka bisa ke mana-mana bertiga. Cinta mereka putus oleh perang. Perang yang memisahkan Guido dan Joshua dari Dora. Namun, satu hal yang menarik, Guido tidak pernah membiarkan Joshua mengalami kesedihan yang mendalam.

Dalam penjara, Guido selalu emnghibur Joshua. Juga dalam suasana perang. Guido tetap menampakkan wajah ceria meski merasa capek kala kembali tempat kerja sebagai tahanan dalam penjara. Suatu ketika mereka berhasil keluar dari penjara dengan ebrbagai cara. Dan akhirnya Guido-Joshua bertemu kembali dengans ang mama, Dora.
“Mama kita memang”, kata Joshua saat mereka bersua kembali.

Film ini layak ditonton oleh siapa saja. Ada nilai kemanusiaan juga penghiburan di dalamnya. Cinta, kesetiaan, kerja keras, lelucon, dan sebagainya. Jika ada waktu silakan tonton. Selamat menikmati untuk mereka yang belum menontonya.

Parma-Italia, 21/1/2014

Gordi

Terkesan dengan Kiprah Ibu Teresa di Kalkuta (2)




Pada bagian ini dikisahkan perjuangan Ibu Teresa pada awal karyanya. Ia keluar dari biara susteran yang lama. Lalu dia memilih satu kain sebagai pakaian barunya. Dia pakai itu. Dan itu akan menjadi pakaian para suster Claris yang dibentuknya. Dia mendirikan kongregasi suster-suster Claris. 

Pada awalnya dia ditolak. Bahkan ketika dia masuk daerah kumuh, dan mengajar anak kecil di situ, ada orang yang menuduhnya menyebarkan ajaran Kristen. Kegiatannya dianggap sebagai kegiatan politik.

Dengan tegas dan pantang menyerah dia menolak tuduhan itu. Banyak warga membantunya. Dia juga menggagalkan penggusuran daerah kumuh di kota itu. Dia berani menghadap dan memohon pada wali kota agar tidak menggusur daerah itu. Dia berhasil.

Dia juga meolak perpindahan yang digagas wali kota. Dia mengajak wali kota untuk masuk dan melihat karyanya. Wali kota kaget. Ada seorang pasien yang menderita luka tetapi bernai bicara. Pasien itu mengatakan kepada wali kota, ingat kata Mahatma Gandhi, bahwa kau harus memikirkan orang-orang miskin dan tak berdaya yang pernah kau lihat!

Sang wali kota terkagum dan keluar ruangan. Dia naik di mobil. Dia dengan gegap gempita mengatakan kepada massa yang mendukungnya. Saya berjanji untuk memindahkan orang-orang ini. Lalu massa bersorak sorai. Asal! Asal kalian kembali ke rumah, membawa istri dan anak,dan menggantikan pekerjaan para suster dan perawat di sini. Semua diam da bubar. Perpindahan pun tidak jadi.

Saya belajar ketegaran dan ketegasan dari Teresa. Kalau benar mengapa harus mundur. Berjalan dengan berani memperjuangkan kehidupan orang melarat. Inilah CINTA yang diwujudkan Ibu Teresa.

Dia mengubah kehidupan orang Kalkuta sejak 1946 di mana banyak orang melarat. Teresa dan orang-orang yang membantunya pergi ke jalan dan mengambil orang-orang yang tidak diperhatikan. Mereka dibawa ke rumah dan dirawat di sana.

Betapa besar CINTA Ibu Teresa. Dia tidak memandang karyanya sebagai karya individual. Hal ini ia ungkapklan ketika menerima penghargaan di Amerika tahun 1997. Dia mempersembahkan hadiah/penghargaan itu untuk orang melarat yang ia bantu.

Terima kasih Ibu Teresa
Engkau menginspirasi banyak orang
Untuk berbuat baik
Untuk memerhatikan orang melarat
Teladanmu patut dikenang
Kami juga kagum dengan kerendahan hatimu
Luar biasa
(Habis)***



Judul: Mother Teresa In The Name of God’s Poor
Produser:
Mengisahkan Calcuta, India 1946


PA, 21/3/13
Gordi



Terkesan dengan Kiprah Ibu Teresa di Kalkuta (1)

Baru saja menonton film kisah hidup Ibu Teresa dari Kalkuta. Saya pernah membaca kisah hidup orang suci ini. Pernah juga menonton film tentangnya. Tetapi saya tidak ingat judul film itu.

Baru saja saya menemukan satu kaset/film lagi tentang Teresa. Saya menonton salah satunya. Belum selesai. Tetapi bagian pertama ini cukup berkesan.

Salah satu adegan yang terkesan adalah ketika seorang bapak mengtakan, Aku haus...aku haus...aku haus sambil membuka telapak tangan sebagai tanda bermohon. Dia meminta itu pada Teresa yang sedang melintas di kawasan kumuh itu.

Teresa memberi uang logam. Sayangnya seorang anak kecil langsung meungut uang itu. Bapak itu hanya bisa melihat tindakan anak kecil itu. Tampaknya ia tak berdaya merebut uang itu.

Teriakan aku haus itu adalah teriakan permohonan. Dalam permohonan itu ada harapan. Berharap menjadi tanda orang yang mau berubah. Bapak itu mau berubah dari kehausan ke kepuasan dahaga. Kehausan sebagai lambang penderitaan. Dan kepuasan dahaga sebagai lambang kekenyangan atau kecukupan.

Di negeri ini banyak orang melarat. Bukan miskin. Kalau miskin masih bisa berusaha. Tetapi kalau melarat, amat susah berusaha selain mengharapkan bantuan orang lain. Orang melarat mempunyai harapan yang kuat akan datangnya bantuan.

Sayangnya banyak orang berpunya yang cuek dengan harapan orang melarat. Orang berpunya akdang-kadang tak mau peduli. Saya kadang-kadang bingung membantu orang melarat. Mau beri uang, aku tak punya. Mau dekati, ada rasa enggan karena merasa diri tak memberi apa-apa. Saya pernah mencoba mendekat. Memebri apa yang bisa saya beri. Setelah diamati, ternyata, mereka juga butuh didengarkan. Tidak melulu mengharapkan uang.

Dari cerita ada harapan baru. Anak-anak kecil mulai datang, berkumpul, mendengar cerita. Dalam cerita diselipkan nilai kemanusiaan, rasa iba, perjuangan, kerja keras, dan sebagainya.

Ini juga yang dibuat Ibu Teresa dari Kalkuta. Saya terkesan dengan bagian pertama dari film ini. Besok baru melanjutkan film berikutnya. Terima kasih Ibu Teresa untuk inspirasimu. (bersambung)***

PA, 21/3/13
Gordi

BELAJARLAH UNTUK MAKIN BANYAK MEMBERI

FOTO

Film Laskar Pelangi. Film yang menarik banyak penonton di dalam dan luar negeri. Malam ini saya menonton film ini untuk kedua kalinya. Gak ada maksud apa-apa selain ingin menonton saja. Kebetulan ada kasetnya.

Ternyata ada inspirasi yag menarik di dalam film ini. Salah satu kalimat yang menjadi inspirasi di situ adalah belajarlah untuk makin banyak memberi dan bukan makin banyak menerima.

Memberi di sini maksudnya bukan memberi uang. Boleh jadi memberi non-materi seperti bantuan dan perhatian. Kalimat ini ditujukan untuk anak-anak sekolah yang mempunyai masa depan.

Pesan ini kiranya perlu didengungkan kembali untuk semua rakyat negeri ini. sudahkah kita mempunyai semangat memberi? Apa saja yang sudah kita berikan untuk negeri tercinta ini? apa yang sudah kita lakukan untuk negeri tercinta Indonesia ini?

Jangan-jangan kita hanya menagih janji dari pemerintah. Jangan-jangan kita hanya mengeruk dan mengambil hasil tambang negeri ini.jangan-jangan kita hanya menunggu raskin dari pemerintah. Jangan-jangan kita hanya menunggu cairan dana bantuan dari pemerintah.

Kalau demikian, kapan kita memberi? Bagaimana mau memberi kalau kita hanya menunggu? Kapan memberi kalau kita hanya berusaha?

Mulai skearang cobalah berusaha. Ingat pesan dalam film ini…belajarlah atau berlatihlah untuk makin banyak memberi dan bukan makin banyak menerima. Dengan usaha yang kecil, kita akan berkembang. Bisnis bertambah dan kalau bisa berilah sebagiannya untuk mereka yang memerlukan. Kita memberi dari hasil usaha. Usaha menjadi jati diri kita.

Penangkapan tersangka koruptor di negeri kita menjadi rambu bahwa negeri kita sedang dilanda demam menerima. Menerima apa saja termasuk sogokan dari teman. Menerima berarti hanya pasif saja. Beda dengan memberi yang di dalamnya ada keaktifan.

Memberi berarti ada usaha. Dari usaha kita memberi. Keaktifan lebih dulu muncul. Beda dengan menerima yang pasif saja menunggu. Memberi perhatian juga merupakan kegiatan yang aktif.

Pesan dari film ini mesti didengarkan oleh tersangka koruptor dan juga semua rakyat negeri ini. jika semua rakyat aktif berusaha yakinlah negeri ini jaya karena rakyatnya. Pemerintah boleh saja kurang greget tetapi rakyatnya mesti pekerja keras. Ke depan, negara kita akan kaya.

Tidak sia-sia saya menonton film ini tadi. Dikira tak ada manfaatnya lagi padahal masih ada. Dikira saya bosan menonton kedua kalinya padahal tidak. Dikira hanya iseng-iseng belakapadahal tidak.

Terima kasih laskar pelangi. Semoga kami bisa menjadi laskar negara ini.

----------------------


PA, 7/10/2012

Gordi Afri

 Siapa pun pasti mengakui bahwa mengubah (sikap) orang bukanlah hal mudah. Dibutuhkan perjuangan besar. Tak jarang berbagai jurus dicoba, berbagai tantangan dihadapi.

Mengubah orang yang cenderung malas misalnya. Selain ada usaha dari luar, orang tersebut mesti mau berubah. Kalau dari dalam orang tidak mau berubah maka usaha dari luar pun boleh jadi akan sia-sia. Singkatnya mengubah orang mesti dilakukan baik dari luar (bantuan orang lain) maupun dari dalam diri sendiri.

Selain itu, mesti ada keyakinan kuat dari pengubah bahwa perubahan itu merupakan sesuatu yang pasti. Mengubah orang bukanlah usaha tanpa tujuan yang jelas. Mengubah orang malas menjadi rajin merupakan usaha dengan tujuan yang jelas. Perubahan itu akan terjadi asal ada usaha terus menerus. Perubahan itu ibarat batu yang terus menerus ditetesi sepercik air. Batu akan berlubang pada suatu saat karena percikan air itu. Demikian juga dengan diri manusia.

Film Letters to God, dalam pemahaman saya mau menjelaskan tentang perubahan ini. Seorang anak kecil, Tyler, berhasil mengubah sikap seorang pria dewasa, Brady Mc Daniels. Brady yang diperankan oleh SS Jeffrey Johnson dan bekerja sebagai pegawai pos semula memiliki masalah dengan kehidupannya. Ia hidup terpisah dari istri dan anaknya (seorang lelaki). Dalam beberapa adegan film, terlihat bagaimana Brady tidak menghormati hidupnya. Ia kadang-kadang mabuk, menghayal, dan tidak sadarkan diri. Tak jarang kebiasaan ini membuatnya malas dan kurang bersemangat dalam bekerja.

Amat berbeda dengan Tyler, seorang bocah yang berjuang melawan penyakit kankernya. Ia tetap bersemangat meski menderita. Seringkali, Tyler yang diperankan oleh Tanner Maquire, merenung sendiri dalam kesakitannya. Seperti orang sakit lainnya, Tyler hanya bisa memandang langit-langit kamarnya. Kadang-kadang ia menyendiri di kamar perawatan di rumah sakit. Dari permenungannya, ia justru membahagiakan orang lain. Ia menghibur nenek  dan mamanya (Maddy Doherty), juga teman sekolahnya (Samantha) yang kerap kali mengunjunginya.

Bukan hanya itu, Tyler mampu mengubah banyak orang termasuk kakanya sendiri, Ben yang diperankan oleh Michael Bolten. Tyler yang berusia 8 tahun ini memiliki keyakinan yang kuat dan keberanian yang tangguh. Ia yakin Tuhan akan menguatkannya. Tuhan baginya bukanlah orang yang jauh darinya. Tuhan dekat dengan manusia. Jangan heran jika relasinya dengan Tuhan seperti relasi dengan sesama manusia.

Ia tak jemu-jemunya menulis surat kepada Tuhan. Melalui surat-surat  inilah Tyler mengubah banyak orang. Brady yang membawa surat Tyler seringkali kewalahan dengan alamat surat yang ditulis. Ditulis kepada Tuhan padahal Tuhan tidak punya alamat rumah. Brady baru sadar ketika pendeta di sebuah gereja menyarankannya membaca surat itu. Surat Tyler yang semula dikirim ke gereja kini menjadi surat yang bisa mengubah kehidupan Brady. Brady kini berubah. Ia menyesali tindakannya dan mau menempuh jalan baru. Salah satunya adalah berhenti mabuk.

Tyler juga mengajak kakaknya, Ben, yang sering kali marah dengan keadaan Tyler. Ben kerapkali memarahi  ibunya. Ben tampaknya kehilangan sosok seorang ayah yang bisa membimbingnya. Cinta kasih yang semestinya ia dapatkan justru hilang begitu saja karena sang ayah sudah meninggal. Adegan menarik ketika Tyler mengajak Ben ke pendopo rumah bagian atas. Mereka memandang langit yang indah di malam hari. Saat itulah sang adik mengajak sang kakak menulis surat kepada Tuhan. Kakaknya terharu lalu memeluk erat adiknya.

Dalam kelemahan Tyler berusaha bangkit dan menghibur banyak orang. Usahanya mengubah banyak orang amat sederhana. Hanya dengan menulis surat kepada Tuhan. Itulah salah satu bentuk relasi dengan Tuhan. Banyak orang membaca surat Tyler kagum dan kaget setelah tahu bahwa Tyler hanyalah seorang bocah yang menderita kanker. Keterbatasan fisik tak membuatnya ragu untuk berbuat baik bagi sesama.

Doa dan keinginan untuk berubah berjalan bersama. Akankah doa kita mampu mengubah kehidupan orang di sekitar kita? Kalau doa seorang sakit saja bisa, mengapa doa kita tidak. Hanya dibutuhkan kemauan yang kuat dalam berdoa. Mengubah kehidupan orang tidak harus dengan kekuatan fisik. Kekuatan doa juga bisa. Di situlah letak kerendahhatian seorang Tyler. Usaha untuk mengubah orang pun menjadi usaha yang pasti. Mari belajar dari Tyler.



Genre: Drama
Pemain: Robyn Lively, SS Jeffrey Johnson, Maree Cheatham, Maguire Tanner, Christopher Michael Bolton, Madison Bailee, Ralph Waite
Sutradara: David Nixon
Distributor: Vivendi Entertainment
Eksekutif Produser: Tom Swanson
Produser: David Nixon, Cameron "Kim" Dawson
Penulis: Doughtie Patrick, Art D'Alessandro, Sandra Murah, Cullen Douglas
Durasi: 110 Menit


Cempaka Putih, 17/11/2011
Gordi Afri
Powered by Blogger.