foto ilustrasi oleh Fajrin Rahardjo |
Dalam kisah itu, diceritakan bahwa rumah
Soedirman yang kini menjadi museum sepi pengunjung. Seorang penjaganya
mengatakan, yang rutin datang ke tempat ini adalah para prawira TNI dan
sekelompok mahasiswa dari Universitas Jenderal Soedirman, Purbalinga. Karena
itu, perawatan terhadap museum ini pun minim.
Saya menduga di balik alasan ini, ada
pengurangan dana perawatan. Kalau dana itu bergantung pada pemasukan museum
maka alasan ini tepat. Namun, jika pemda ataupempusat mengalokasikan
dana khusus maka alsan ini tidak tepat. Perawatan museum juga tidak tergantung
pada banyak-tidaknya pengunjung. Museum mesti terawat dengan baik.
Mengunjungi rumah pahlawan seperti ini
boleh dibilang sebagai bentuk penghormatan terhadap pahlawan. Ini hanya salah
satu bentuk. Ada bentuk lain seperti mengunjungi makamnya, mengenangnya dengan
menceritakan kepada generasi penerus, atau juga membuat tulisan tentang
pahlawan itu.
Selain kisah ini, ada juga gonjang-ganjing
lain seputar hari pahlawan. Ada yang pesimis tentang keberadaan pahlawan di
masa kini. Ada yang takut menjadi pahlawan. Ada pula yang kurang berminat
membicarakan hal seputar pahlawan di zaman sekarang. Ada yang berkomentar
pahlawan hanya ada di zaman dulu sebagai pembela bangsa. Sekarang sudah tidak
ada lagi. Apalagi sekarang sangat langka sosok seorang pahlawan.
Gonjang-ganjing ini muncul dengan berbagai latar belakangnya.
Pahlawan adalah orang yang berjasa bagi
bangsa. Kalau definisi ini dipegang, maka semua orang bias menjadi pahlawan.
Semua orang bias berjasa bagi bangsa. Lepas dari besar-kecilnya jasa itu. Ada
macam-macam jasa untuk bangsa. Menjadi atlet diSea Games, menjadi duta
bangsa di luar negeri untuk mempromosikan wisata Indonesia, menjadi wakil
Indonesia dalam debat internasional antara mahasiswa se dunia, menjadi wakil
Indonesia dalam perlombaan internasional, menjadi TKI di luar negeri, menjadi
dokter, guru, pembersih jalanan, pengusaha yang memajukan rakyat, dan
sebagainya. Kalau demikian sudah banyak yang menjadi pahlawan. Dengan demikian
menjadi pahlawan itu tidak ditentukan oleh zaman. Dulu, sekarang, dan nanti,
kita bisa menjadi pahlwan.
Soal diakui menjadi pahlawan atau tidak
itu soal lain. Pengakuan itu hanya bentuk apresiasi. Apreasi memang perlu
tapi tanpa apreasi pun pekerjaaan tetap berjalan. Lagi pula pengakuan itu hanya
sebuah bentuk pengakuan yang diberikan oleh pemerintah. Masih banyak orang yang
memberi pengakuan atas tiap pekerjaan.
Apalagi kalau gelar itu diperoleh dengan
mengeluarkan biaya tertentu atau megajukan persyratan yang rumit. Kita berkaca
pada guru-guru kita di Indonesia yang dikenal dengan sebutan PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. Kita semua
adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, kalau ada yang mau menghormati dan
mengenang jasa kita dengan member gelar pahlawan kita ucapkan terima kasih.
Selamat hari pahlawan.
Cempaka Putih, 11/11/2011
Gordi Afri
*Dimuat
di blog kompasiana pada 11/11/11
Post a Comment