foto ilustrasi oleh uplinkindonesia |
Boleh jadi, senyum itu pertanda mereka
gembira. Kegembiraan bagi mereka muncul ketika ada yang berkunjungi ke situ.
Lebih dari situ, mereka gembira karena kami membawa sekotak nasi untuk sang
nenek. Ini kali pertama bagi saya mengantarkan makanan ke situ. Namun, mereka
tahu, kami datang dari rumah yang menyumbang sedikit rezeki untuk sang nenek.
Mereka tentu mengalami kesulitan ekonomi.
Perbincangan siang itu terjadi di bawah kolong tol, tepatnya di bilangan
Jakarta Utara. Mereka tak memiliki rumah. Mereka hanya berlindung di bawah
kolong tol. Inilah tempat yang nyaman bagi mereka. Gubuk-gubuk berdiri
berderetan. Ada yang berdinding tripleks, ada pula yang sama sekali tak
berdinding. Bagi mereka, merupakan sebuah keberuntungan mendapat hunian di
bawah tol. Tak perlu repot mendirikan rumah. Tak perlu sulit mencari lahan.
Tampaknya, kehidupan di situ memang
nyaman. Mereka bisa berlindung ketika hujan. Inilah salah satu kenyamanan
menurut mereka. Kenyamanan yang tentu berbeda dengan bayangan banyak orang kota
Jakarta. Meski nyaman, sesekali mereka juga bisa terancam banjir. Permukaan
tanah di situ tidak lebih tinggi dari tanah di sekitar. Kalau hujan, boleh jadi
air mengalir ke situ.
Pemandangan yang tak kalah kurang nyaman
adalah tumpukan sampah di samping gubuk mereka. Kolong tol ini rupanya menjadi
tempat serba guna. Tempat ini menjadi hunian manusia dan hunian sampah. Di
samping gubuk nenek tadi, ada gundukan sampah. Kalau diangkut sampah itu bisa
memenuhi 2-3 mobil. Bahkan, sebelum sampai ke gubuk itu, kami harus melewati
jalanan bergelombang. Jalan itu terbentuk di atas tumpahan sampah.
Pemandangan ini berlawanan dengan
pemandangan di atas tol. Di atas tol ada manusia yang lalu-lalang dengan
mobilnya. Mereka ini menggunakan jalan bebas-hambatan ini untuk memperlancar
aktivitas. Mereka membayar sejumlah uang agar mereka bisa menggunakan jaln ini.
Singkatnya, jalan ini hanya dilalui oleh orang yang mempunyai sejumlah uang.
Sementara di bawahnya, ada manusia yang
tinggal di gubuk sederhana di antara gundukan sampah. Mereka ini tidak
mempunyai sejumlah uang untuk mendirikan rumah. Lantas, gubuklah yang mereka
dirikan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain bertahan di tempat itu.
Mereka rela menikmati pemandangan dan suasana yang ada dengan segala konsekuensinya.
Saya teringat kata-kata seorang dosen.
“Kalau mau melihat Jakarta secara umum, naiklah jalan tol dalam kota. Anda akan
mendapat gambaran kota Jakarta dengan pemandangannya. Namun, kalau mau melihat
Jakarta dengan situasi sosialnya, naiklah angkutan umum dan kereta api. Anda
akan tahu, seperti apa kehidupan warga Jakarta.” Dan, saya menganjurkan, kalau
pembaca mau melihat salah satu model penderitaan warga Jakarta, kunjungilah
gubuk-gubuk di bawah tol ibu kota. Anda akan melihat kehidupan yang berbeda dengan
kehidupan yang dialami warga perumahan mewah di Jakarta.
Cempaka Putih, 27 Oktober 2011
Gordi Afri
*Dimuat
di blog kompasiana pada 28/10/11
ARTIKEL TERKAIT DI SINI
Post a Comment