Dari kecil, saya
sering menulis surat untuk bapak dan ibu, untuk kakak dan adik, untuk sahabat
dan kenalan. Saya memang gemar menulis surat. Surat-surat yang saya tulis
rupanya mendapat respons dari bapak dan ibu, adik dan kakak, serta sahabatku.
Surat itu rupanya bukan sekadar kata-kata dan kertas serta tinta tetapi benda
berharga yang tentunya dibalas dengan surat juga. Saya menerima surat balasan
dari bapak-ibu, kakak, dan adik saya.
Bukan
saya saja yang menulis surat. Surat memang bisa ditulis oleh siapa saja dan
bisa dikirim untuk siapa saja. Minimal untuk orang yang kita kenal. Kepala
sekolah biasanya menulis surat atau menyampaikan langsung pesannya kepada
siswa. Pastor paroki atau bapak uskup bahkan Paus Fransiskus juga sering
menyampaikan pesan entah langsung atau tulisan kepada umatnya. Bapak presiden juga demikian. Mentri, gubernur, bupati,
camat, dan kepala desa serta bapak dusun juga demikian.
Surat yang paling
berkesan juga adalah surat dari orang tua untuk anak-anak. Saya mendengar sharing dari sepasang suami-istri
semalam, Jumat, 17 April 2015. Mereka membagikan perjalanan hidup mereka. Dari
pacaran sampai berkeluarga dan mempunyai 5 anak sekarang ini. Mereka jatuh cinta
sejak SMA. Menikah di usia 24 tahun pada 21 tahun yang lalu. Cinta mereka
memang muda dan pernikahan mereka juga di usia muda.
Surat mereka sungguh
menarik. Mereka menyimak berita di TV dan koran. Ada berita tentang masa depan
anak-anak. Dari berita itulah mereka mendapat inspirasi untuk menulis surat
kepada 5 anak mereka. Mereka katakan dengan bahagia bahwa masa depan kalian anak-anak ada di tangan masing-masing. Jangan takut
menghadapi berbagai tantangan.
Jangan gentar menerima celaan dan tantangan yang
menghadang.
Jangan takut berhadapan dengan orang yang mempunyai
kepercayaan dan tidak.
Jangan gentar bergaul dengan teman seagama dan tidak seagama.
Dengan teman dan orang asing.
Surat ini menarik.
Pesannya sungguh berharga bagi masa depan anak-anak. Lebih dari sekadar
menyampaikan pesan berharga, surat ini adalah bukti cinta orang tua pada
anak-anak mereka. Dengan demikian, surat ini adalah surat cinta bapak dan ibu
untuk anak-anak mereka. Surat ini berisi cinta yang dalam dari bapak dan ibu.
Surat cinta ini beda dengan surat cinta dua kekasih kala berpacaran. Surat
cinta jenis ini memang berisi ungkapan cinta. Hanya saja kadar cintanya beda.
Ibarat kopi kental dan kopi asal hitam. Surat cinta bapak ibu seperti kopi
kental. Hitam kelihatannya, pahit rasanya. Dalam kepahitan itulah letak
kedalaman cinta yang mereka berikan. Beda dengan surat cinta dua kekasih yang
memang memberi cinta. Hanya saja cinta yang kabur, seperti kopi asal hitam di
dalam gelas. Cinta yang meloncat-loncat. Cinta monyet.
Teringat
surat yang juga pernah saya tulis untuk orang tua saya. Surat ini beda dengan
banyak surat lain yang saya tulis untuk mereka. Surat ini pun saya beri nama SURAT CINTA untuk bapak dan ibu. Memang, saat
itu, dalam sebuah kesempatan retret, kami menulis surat cinta untuk orang tua. Inilah salah satu momen indah dalam hidup. Momen indah
seperti saat-saat awal jatuh cinta. Rasanya ingin memiliki padahal hanya cinta
sesaat. Seperti cinta itu, surat cinta yang saya tulis berisi ungkapan terima
kasih atas cinta bapak dan ibu. Rasanya
seperti saya bisa membalas cinta mereka. Yakin sekali saya bisa. Padahal, cinta
mereka jauh lebih besar dari tenaga saya. Cinta mereka tak saya jangkau. Cinta
mereka begitu besar. Rasa-rasanya saya hanya mampu membalasnya dalam mimpi.
Dalam surat pun tidak. Betapa besar cinta itu. Betapa saya hanya berangan-angan
saja menggapai cinta itu. Cinta itu memang besar dan hanya dalam angan-anganlah
saya sanggup menggapainya.
Begitu besar cinta itu
sampai-sampai meski saya mencintai orang tua saya, cinta itu pun belum dan
tidak akan sebanding dengan cinta orang tua terhadap saya. Ah, betapa
bahagianya keluarga ini. Bapak dan Ibu tidak pernah merasa cinta mereka sebatas
bertemu, pacaran, nikah, berkeluarga, melahirkan. Cinta mereka berlanjut. Cinta
yang nyata dalam mendidik, membesarkan, menyekolahkan, bahkan sampai membuat
surat cinta untuk anak-anak mereka.
Beruntung
saya pernah membuat surat cinta untuk bapak dan ibu. Betapa saya merasa
beruntung. Meski demikian, tentu cinta bapak dan ibu tetap tak sebanding dengan
cinta yang saya berikan pada mereka. Mereka sudah berbuat banyak pada saya.
Seperti bapak dan ibu yang bercerita malam ini, cinta bapak dan ibu saya juga
demikian. Terima kasih bapak dan ibu. Terima kasih kakak dan adik-adik saya.
Terima
kasih untuk surat kalian.
Parma, 18/4/2015
Gordi
menarik postingannya mas Gordi.. kalau saya lebih suka melalui puisi..kalau surat mah malu... takut mama saya ketawa...hehehe.btw, saya senang dengan kalimat yang terdapat pada surat orang tua kepada 5 anaknya diatas... terima kasih mas Gordi.
ReplyDeleteNeng Hera, terima kasih sudah mampir
DeleteSaya juga suka dengan puisi, tapi karena orang tua saya terutama mama lebih suka baca surat ketimbang puisi,
Ya, surat itu benar-benar mereka tulis dan bagikan kepada anak-anak mereka juga mereka bacakan di hadapan kami ketika kami minta mereka untuk berbagi
Salam ke tanah Sunda dan terima kasih sudah mampir