Ada
satu kebiasaan dalam Gereja Katolik khususnya pada hari Kamis Putih. Setelah
misa, ada doa bersama di depan Sakramen Mahakudus yang ditahtakan di luar
tabernakel. Inilah yang dinamakan tuguran. Apa makna tuguran ini?
Saya
bertanya karena sudah lama berada dalam kebingungan. Sebagai makhluk berasio
tentu saya bertanya tentang praktik hidup yang saya jalankan. Ini bukan
mengada-ada. Ini merupakan bentuk pencarian. Kalau toh tidak ada jawaban yang
memuaskan atau tidak ada jawaban sama sekali, tidak apa-apa. Itu menjadi tugas
besar bagi saya untuk menemukannya.
Malam
ini, saya juga ikut dalam rombongan besar menuju gereja paroki. Jumlah kami
yang berjalan bersama sekitar 30-an orang. Jarum jam menunjukkan pukul 10.45.
Kami membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di gereja. Ketika sampai di gereja
masih ada kelompok doa yang mengadakan tuguran. Menurut jadwalnya, kelompok
kami merupakan kelompok terakhir untuk doa-tuguran.
Pukul
11, kami mulai berdoa. Ada petunjuk berupa selembar kertas dengan 2 halaman. Di
dalamnya ada urutan dan keterangan doa. Petunjuk ini dibuat di Keuskupan Agung
Jakarta. Jadi, boleh jadi ketika kami mengikuti tuguran di gereja Katolik mana
saja di Jakarta ini, petunjuk inilah yang digunakan dan selalu sama. Ada
nyanyian, doa, dan sembah sujud. Bagian terbesar adalah doa hening.
Menurut
petunjuk itu, doa tuguran memang merupakan doa hening. Nyanyian dan doa yang
ada dalam petunjuk hanyalah selingan. Kami mengikuti petunjuk yang ada dan
selesai pukul 11.30. Petugas gereja datang dan mengumumkan bahwa, masih ada
waktu 30 menit untuk melakukan doa hening. Kami belum diperbolehkan pulang
karena akan menunggu berkat penutup sekaligus pentahtaan kembali sakramen
mahakudus ke sakristi (tempat persiapan imam dan petugas liturgi lainnya
sebelum masuk ke gereja).
Saat
tuguran, sakramen mahakudus ditahtakan di sudut kiri altar. Di Gereja Paskalis
Cempaka Putih, tempat pentahtaan itu berada di bawah kaki patung Bunda Maria.
Beginilah
kami melakukan tuguran pada hari Kamis Putih tahun 2012 ini. Saya jadi tahu
bahwa bagian terpenting dari tuguran itu adalah saat hening. Masih menurut
petunjuk yang ada, tuguran merupakan bentuk partisipasi kita dalam doa bersama
Yesus di Taman Getsemani. Di taman itu Yesus berdoa sebelum nyawanya disiksa
oleh serdadu Yahudi. Pantas kiranya di situ ada suasana hening.
Menjelang
pukul 12, seorang pastor datang dan memberkati kami dengan sakramen mahakudus
ini. Setelahnya, sakramen itu dibawa ke sakristi lalu kami pulang. Masih dalam
rombongan besar, kami menyusuri jalan pulang. Malam ini suasana jalan agak
sepi. Memang waktunya hampir tiba untuk pergantian hari. Kami sudah melewati
beberapa menit di hari Jumat. Hari sengsara dalam tradisi Kristiani. Meski hari
sengsara, kami tetap menyebutnya hari Jumat Agung. Tentang hal ini lebih baik
dilanjut besok saja.***
CPR,
6/4/2012
Gordi
Afri
Baca juga: Tradisi Basuh Kaki pada Hari Kamis Putih
Post a Comment