foto oleh Sandipras |
Namun, ada juga sekolah Muslim yang
didominasi oleh murid non-Muslim. Inilah yang terjadi di sekolah Muhammadiyah
di Ende, Flores, NTT. Jangan heran juga karena mayoritas penduduk di sana
adalah Katolik dan Kristen. Direktur Eksekutif, Maarif
Institute, Fajar Riza Ul Haq dalam diskusi beberapa waktu lalu mengatakan,
di sekolah Muhammadiyah hak siswi/a untuk menerima pelajaran agamanya dipenuhi.
Ini terutama di sekolah Muhamadyiah yang memiliki cukup banyak siswi/a yang
seagama. Contohnya di sekolah Muhammadiyah di Ende, Papua, dan Kalimantan Barat
yang 2/3 muridnya beragama Katolik dan Kristen.
Menjadi persoalan ketika jumlah siswi/a
sedikit. Misalnya di sekolah negeri yang jumlahnya siswi/a Katolik dan Kristen
amat sedikit. Kalau mau memenuhi hak siswa sebaiknya sekolah menyediakan guru
agama. Namun, kadang-kadang terganjal birokrasi dan administrasi. Alangkah
baiknya kalau pelajaran agama itu diserahkan pada siswi/a sendiri. Biarlah
mereka yang mencari guru agama. Soal-soal ujian diserahkan ke bagian tata usaha
sekolah sehingga bisa diproses dan siswi/a bisa mengikuti ujian yang
diselenggarakan oleh sekolah.
Terima kasih untuk sekolah Muhammadiyah.
Sekolah mana lagi yang menerapkan hal ini berikutnya. Ini contoh yang bijak
dalam mendukung toleransi antar-agama dan kepercayaan. Bukan tidak mungkin di
ssekolah ini terjadi dialog antar-siswa/i, antara orang tua dan guru serta
pihak sekolah.
CPR, 4/1/2011
Gordi Afri
*Dimuat di blog kompasiana pada 4/1/12
Post a Comment