bendera bintang kejora, foto Jhon M Yogi |
Saya tidak tahu banyak tentang Bintang
Kejora dan segala permasalahannya. Mungkin media massa banyak mengulasnya namun
saya kurang mencermatinya. Yang saya tangkap hayalah satu yakni pengibaran
bendera itu membuat pejabat Indonesia geram. Tak jarang terjadi aksi berdarah
antara aparat dan masyarakat sipil yang mengibarkan bendera ini. Data pastinya
bisa dicari di internet.
Sebenarnya apa yang salah dengan
pengibaran Bintang Kejora ini? Ada isu-isu bahwa pengibaran itu terkait dengan separatisme.
Maksudnya, masyarakat yang mengibarkan bendera itu mau memerdekakan diri. Ini
berarti mereka mau berpisah dengan NKRI. Namun, benarkah demikian? Apakah
rakyat Papua mau memisahkan diri dari NKRI? Isu semacam ini bisa menjadi heboh
di tengah kondisi masyarakat Papua yang jauh dari sejahtera.
Lagi-lagi kondisi ini digambarakn media.
Saya belum pernah ke sana. Hanya bisa baca di koran dan media elektronik
tentang masyarakat Papua yang kondisi sosial-ekonominya tidak memuaskan. Harga
bahan pokok tinggi, sarana transportasi belum memadai. Ini juga terkait kondisi
topografi Papua yang kebanyakan rawa-rawa sehingga sulit dijangkau angkutan
darat. Perusahaan Amerika, Freeport yang mengelola tambang di Papua sama sekali
belum bisa menyejahterakan rakyat Papua.
Kembali ke masalah Bintang Kejora. Bintang
Kejora adalah identitas budaya. Pada zaman Presiden Gusdur (1999 - 2001),
bendera Bintang Kejora boleh dikibarkan. Asal, tingginya tidak melebihi kibaran
bendera negara, Merah Putih. Tepatnya bendera ini dinaikkan hingga 10
sentimeter di bawah tinggi kibaran Merah Putih. Demikian benang merah
bincang-bincang bersama mantan Duta Besar Indonesia untuk Kolumbia, Michael
Menufandudalam acara Kaum Muda Gusdurian di The Wahid
Instute, Jumat, 6/1/2012. Menurut Mikael, kibaran bendera Bintang Kejora
sama sekali tidak ada kaitan dengan isu-siu separatisme, pemisahan dari NKRI.
Boleh jadi istilah itu diciptakan oleh ‘Jakarta’. Maksudnya, istilah itu
diciptakan oleh aparat.
Masyarakat Papua tidak menjadikan kibaran
Bintang Kejora sebagai langkah awal untuk berpisah. Bendera itu adalah
identitas budaya. Jika demikian, kibaran bendera itu tidak perlu diprotes.
Kalau dihentikan malah melanggar hak masyarakat untuk menekspresikan identitas
budayanya.
Saya kurang tahu, bagaimana peraturan
pengibaran bendera dalam sebuah negara. Apakah kibaran itu hanya boleh untuk
bendera negara yang berlaku secara nasional? Di mana-mana, saya lihat ada juga
bendera partai politik. Di jalannan di ibu kota, bendera partai berkibar
sepanjang jalan. Apakah bendera-bendera partai itu lebih layak dikibarkan
ketimbang bendera Bintang Kejora? Toh, keduanya ada persamaan yakni mau
mengekspresikan identitas masing-masing. Satunya identitas budaya, lainnya
identitas politik.
Persoalan kibaran bendera Bintang Kejora
tidak terlalu menarik ketimbang membicarakan kondisi sosial-ekonomi rakyat
Papua. Lebih baik memperbaiki situasi ini daripada sibuk dengan masalah kibaran
bendera. Negara boleh menuntut penurunan Bintang Kejora namun apakah yang
dibuat negara ketika rakyat Paua dijajah oleh bangsa asing melalui kehadiran
perusahaan tambang di sana? Apakah negara hanya mampu mengirimkan sejumlah
aparat keamanan? Di manakah keberpihakan negara atas kondisi rakyatnya?
Pertanyaan ini tidak untuk dijawab serentak namun perlu menjadi bahan
pertimbangan bersama. Saudari/a kita di Papua menunggu partisipasi dan kerja
sama seluruh rakyat negeri ini untuk mengubah situasi sosial-ekonomi mereka. Mari
bersatu kitorang basudara….
CPR, 10/1/2012
Gordi Afri
*Dimuat di blog kompasiana pada 10/1/12
Post a Comment