Halloween party ideas 2015
Showing posts with label POLITIK. Show all posts

gambar/kompas.com Sabrina Asril

Pemimpin yang baik adalah dia yang tahu kebutuhan rakyatnya. Dia dipilih karena rakyat yakin, dia bisa memerhatikan mereka. Rakyat senang jika dia bisa menyanggupi harapan ini.

Ini hanya salah satu kriteria pemimpin yang baik. Banyak kriteria lainnya. Kriteria ini kiranya penting karena menyangkut kehidupan bersama terutama kehidupan rakyat sebagai pemilih. Pemilih cerdas akan menunggu sapaan dari pemimpin yang dia pilih. Sedangkan pemilih yang mendasarkan pilihannya akan uang tidak peduli dengan sapaan pemimpin. Baginya uang tetap uang. Maka, jika pemimpin memberinya uang lagi seperti saat kampanye, dia akan bangun dari tidur malasnya.

Jokowi dan Ahok dalam kunjungan mereka ke bilangan Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara kemarin memberikan bantuan yang betul-betul dibutuhkan oleh masyarakat. Jokowi juga Ahok kiranya tahu kebutuhan anak-anak sekolah saat ini. Mereka membagikan buku tulis untuk anak-anak sekolah. Hadiah ini kiranya menjadi tanda bahwa Jokowi dan Ahok memerhatikan masa depan anak-anak kota Jakarta. Salah satu cara meraih masa depan yang sukses adalah dengan pendidikan. Dan, buku tulis itu kiranya menjadi bentuk dukungan Presiden dan Gubernur DKI akan masa depan anak-anak ini.

Pemimpin seperti kiranya patut diacungi jempol. Bantuan yang mereka berikan memang bukan saja untuk anak-anak. Orang tua juga mendapat jatah yang berbeda. Menarik di sini melihat cara kedua tokoh ini memberi bantuan. Semuanya dapat. Orang tua dan anak-anak. Anak-anak adalah masa depan. Kedua tokoh kiranya tahu, masa depan itu mesti disiapkan. Maka, anak-anak itu mesti disiapkan. Masa depan memang masih jauh maka perlu juga memerhatikan masa sekarang. Dan kedua tokoh ini cermat melihat hal itu. Bantuan untuk orang tua adalah untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang. Sedangkan bantuan untuk anak-anak adalah untuk memenuhi kebutuhan masa depan.

Cilincing adalah salah satu kawasan terbelakang di Jakarta. Penulis pernah menyaksikan sendiri bagaimana situasi warga di sana. Anak-anak sekolah di sini tentu beda dengan anak-anak lain di bilangan Kelapa Gading, Bintaro Jaya, Senen, dan kawasan lainnya yang lebih maju. Karena keterbelakangannya ini, Cilincing banyak dikunjungi orang yang peduli. Tak cukup kiranya berkunjung sekali. Jika hanya sekali, Anda belum dikatakan orang peduli. Situasi di sana—4-5 tahun lalu—cocok untuk menguji tingkat kepedulian seseorang. Kiranya Jokowi dan Ahok datang ke sana bukan saja mengukur kepedulian mereka tetapi yang paling utama adalah menyapa warga mereka. Sapaan kepedulian tentunya.

Salam untuk saudari/a ku di Semper, Cilincing, DKI Jakarta.

PRM, 4/9/2015




Siapakah politikus tulen?
Istilah asing di telinga masyarakat
Mereka tahu politikus
Tetapi politikus tulen kurang populer

Siapakah politikus?
Ya mereka yang mengurus partai
Yang sesekali juga datang ke kampung
Jadi mereka bukan orang yang asing di kampung-kampung

Lho kok bisa?
Ya mereka sering jalan-jalan ke kampung-kampung
Mencari pengikut
Memberi semangat tuk warga

Semacam dorongan tuk bekerja?
Ya begitu kira-kira
Mereka kan mengumbar janji juga
Iming-iming menyelesaikan persoalan warga

Butuh air bersih?
Saluran irigasi?
Pupuk tuk buah-buahan?
Sayur-sayuran?

Nanti kami usahakan
Sebelum pemilu akan datang dua truk
Membawa semua itu
Tolong sekretaris membuat daftar

Demikian janji mereka
Memang nyatanya kadang-kadang nihil
Ya namanya janji
Mereka juga mengumbar ke mana-mana

Siapakah politikus tulen itu?
Mereka yang total mengurus partai
Bukan merangkap jabatan lain
Harus pilih partai atau jabatan lain

Berarti banyak politikus yang tidak tulen?
Ya tentu
Ada yang mengurus partai sekaligus jabatan lain
Ini bahaya, politikus tulen ke mana kalian........

PA, 16/2/13

Gordi




Mana lebih aman, jadi rakyat atau wakil rakyat? Andai boleh memilih, banyak yang akan menjadi wakil rakyat. Tetapi tentu tidak semua rakyat bisa jadi wakil rakyat. Hanya orang tertentu saja. Yang sesuai kriteria partai.

Jadi wakil rakyat memang jadi dambaan politikus. Bisa duduk di ruang yang nyaman. Gaji terjamin. Hidup terjamin. Fasilitas kerja terjamin. Sering rapat. Sering jalan-jalan. Kadang-kadang pusing membuat draf undang-undang. Tapi ada enaknya ketika mereka duduk akan dibayar. Uang duduk istilahnya. Uang lelah juga uang keringat. Dan istilah lainnya. Intinya ada uang.

Kalau jadi rakyat?
Enaknya bukan main. Tak pelru pikir politik, karut marut partai, rapat bulanan/tahunan/fraksi, dan sebagainya. Kelompok yang paling nyaman hidupnya di sebuah negara adalah rakyat kecil.

Tapi????
Ada tapimya juga. Kalau harga brang naik, listrik naik, uang sekolah naik, uang kuliah naik, rakyat kecil yang paling sibuk. Sekali saja pemerintah dan penguasa menaikkan harga barang, yang paling kena getahnya adalah rakyat kecil. Jadi, rakyat kecil itu aman-aman tapi sibuk juga.

Jadi???
Pilih mana, rakyat atau wakil rakyat? Keduanya punya risiko. Ciri khas rakyat kecil adalah jarang jadi pelaku korupsi. Kecuali jadi korban hukum. Sedangkan ciri khas wakil rakyat adalah rentan terhadap kasus korupsi. Jarang jadi korban hukum. Jadi silakan pilih mana yang sesuai selera kalian. Tapi kalau hidup pas-pasan jangan jadi wakil rakyat. Partai enggan melirik Anda. Kalau punya duit banyak daftar saja jadi calon wakil rakyat.

PA, 22/2/13

Gordi



Hari ini seperti hari Anas nasional. Anas ramai dibicarakan. Di media massa nama Anas disebut-sebut. Padahal kita tahu nama itu hanya disebut dan bukan disebut-sebut.

Tetapi kalau nama Anas disebut-sebut berarti ada apanya si Anas. Sebab memang namanya tidak disebut-sebut. Disebut saja ya. Dia tokoh penting. Orang penting di partai demokrat. Wajar jika disebut.

Saya tadi pagi juga kaget. Sahabat saya yang menyapu halaman menyebut nama Anas. Dia sudah menerima koran pagi. Lalu, saya menyapanya pagi ini. Dia langsung bersahut dan menyebut nama Anas. Sahabat saya ini bukan awam media. Dia selalu membuka-buka koran setiap hari. Dia yang menerima koran pagi. Dia juga berlangganan koran pagi. Jadi dia tahu perkembangan kasus tenar di negeri ini.

Sekali lagi nama Anas disebut-sebut. Dia pernah berjanji jika mengorupsi uang akan digantung di Monas. Monas, monumen nasional di Jakarta, dulu menjadi pencakar tertinggi di Jakarta. Sekarang banyak saingannya. Andai Anas benar terbukti korupsi maka ia akan digantung di sana. Ini bukan paksaan tetapi sesuai ujarannya.

Nah, benarkah Anas mengambil sejumlah uang untuk proyek Hambalang itu? Dari KPK sudah ada sinyal ke sana. Jika sinyal ini sampai pada putusannya nanti, ujaran Anas akan terbukti. Dia digantung di Monas.

Apa kata dunia nantinya. Mana mungkin seorang tokoh partai menggantung diri? Atas ujaran sendiri dan bukan hukuman dari orang lain. Tapi benarkah Anas mau gantung? Ah itu hanya omong kosong. Boleh jadi itu hanya permainan kata-katanya saja. Dia sebenarnya takut digantung. Manusia normal mana yang mau gantung diri? Atau apakah Anas sakit jiwa sehingga harus gantung diri? Ah tidak. Dia masih sehat. Berarti dia hanya berujar saja.

Kalau nanti Anas terbukti mengorupsi uang itu, dan tidak jadi gantung, maka Anas berbohong pada rakyat. Dari media rakyat tahu, Anas pernah berujar demikian. Tetapi kalau nanti tidak gantung berarti dia berbohong. Maka, jangankan mengorupsi uang, Anas itu membohongi rakyatnya.

Rakyat tentunya belajar, ujaran akan terbukti benar dan salahnya. Tidak semua ujaran itu benar. Ada yang sekadar demi mengujar saja. Ada ujaran yang berisi. Jadi, rakyatlah menilai. Kritislah kepada tokoh politik kita.

PA, 22/2/13
Gordi




Orang Papua terkenal dengan kepiawaiannya dalam sepak bola. Sebut saja nama yang ada di timnas, Tibo, Oktavianus, Patrich, Boas, dan sebagainya. Mereka hebat mengoceh bola, mengharumkan nama Indonesia.

Karena kehebatan itu, nama Papua selalu muncul di Media. Televisi, koran, radio, internet, dan sebagainya. Apalagi perusahaan asal Amerika Freeport ada di tanah Papua. Nama Papua sampai di Amerika.

Di balik munculnya nama Papua karena hebat, nama Papua juga muncul karena konflik. Bentrokan selalu terdengar dari seantero Papua. Ada polisi, TNI, warga sipil, buruh, tenaga kerja, yang jadi korban.

Pertanyaannya, ada apa dengan Papua? Ada kelompok yang meminta presiden dan pemerintah untuk datang ke Papua. Melihat langsung kehidupan rakyat Papua. Tetapi kadang-kadang pemerintah berkomentar saja dari Jakarta. Jarak Papua-Jakarta jauh. Butuh berapa jam agar sampai di sana.

Tak heran jika ada bentrokan, Jakarta hanya berjanji kirim aparat keamanan dan tidak ada janji akan dikunjungi. Agak aneh sebenarnya logika pemerintah. Jika mengacu pada hukum lama, kekerasan dibalas dengan kekerasan, gigi ganti gigi, solusi pemerintah ini cocok.

Namun, sekarang, hukum lama itu sudah ketinggalan zaman. Tidak ada lagi hukum seperti itu. Maka, bukankah solusi pemerintah selama ini, mengirim TNI ke Tanah Papua ketinggalan zaman? Ada juga buktinya. Bentrokan tetap berjalan. Memang demikian, bentrokan kok dipecahkan dengan mengirim aparat keamanan.

Aparat kemanan kadang-kadang tidak sesuai namanya. Namanya kemanan alias penjaga keamanan. Tetapi nyatanya, tidak aman. Malah mengganggu kemanan warga sipil. Jadi, untuk apa solusi pengiriman TNI ke Tanah Papua?

Yang luput dari perhatian media adalah akar bentrokan di Tanah Papua. Media massa hanya memberitakan jumlah korban tewas dan dari pihak mana korban itu. Belum ada ulasan terperinci mengenai akar konflik.

Mengapa orang Papua suka bentrok? Pertanyaan ini belum dijawab dengan baik. Jika ada yang tidak puas, di pihak mana ketidakpuasan itu? Ataukah ada konflik asli antara suku di Tanah Papua?

Kalau akar-akar konflik ini dicari, itulah yang perlu diselesaikan. Kalau tidak, ya kembali lagi, seolah-olah masalahnya adalah ketidaknyamanan. Sehingga, yang dikirim untuk memecahkan masalah adalah aparat keamanan, TNI.

Ini opini sore dari orang yang prihatin dengan Papua. Papua sebenarnya kaya wisata alam, kaya bakat olahraga, kaya tanaman laut yang indah. Namun, semua ini ternoda oleh bentrokan berkepanjangan.

PA, 27/2/13

Gordi

ilustrasi google.co.id

Jangan katakan nasib. Nasib itu tidak ada. Tetapi ada orang yang selalu mendewakan nasib. Nasibmu mati duluan, nasibmu menderita sepanjang usia, nasibmu menjadi orang cacat.

Nasib itu tidak ada. Yang dikatakan orang itu adalah pelabelan sosial. Dan itu menyakitkan. Mereka berargumen nasib itu sulit diubah. Dan memang jika cacat kita sulit berubah. Tetapi bukan berarti itu nasib.

Lebih parah lagi orang menyebutnya takdir. Takdir yang dimaksud adalah keadaan yang diberikan Pencipta. Takdir menjadi pemabuk. Takdir menjadi orang melarat. Sekali lagi itu tidak ada.

Jangan pula menyindir nasib menjadi tahanan. Ditahan lalu ditembak. Mau bilang apa, nasi sudah menjadi bubur. Lantas apakah tahanan itu menjadi korban takdir atau nasib?

Bukan. Bukan itu lho. Mereka adalah korban balas dendam. Jika penyerang itu berasal dari kelompok korban pada kasus sebelumnya. Tetapi jika tidak, mereka itu adalah korban dari sistem yang tidak adil.

Andai mereka ditahanan di tahanan polisi, keadaannya boleh jadi tidak seperti ini. Tetapi lagi-lagi mau bilang apa, mereka ditahan di LP Cebongan. Mereka pun kini tidak bernyawa. Hanya tangis duka dan nada sedih yang ada. Nada haru menggema di sekitar keluarga, sahabat, dan kerabat korban.

Mungkin ada kelompok yang puas. Puas karena telah menghabisi nyawa 4 orang ini. Sampai kapan mereka ini puas? Entahlah, mungkin masih haus darah lagi. Boleh jadi mereka mencari korban tambahan. Jika itu yang mereka harapkan, sungguh mereka bak singa yang lapar. Tidak puas dengan kejadian memilukan beberapa malam lalu, masih mau mencari korban lagi.

Tetapi, kita berharap, cukuplah. Cukup dengan kejadian yang menimpa 4 orang ini. Mereka adalah korban. Semoga pelaku penyerangan diusut tuntas. Biarkan publik tahu bahwa sistem hukum kita seperti ini. Jika tidak, kami, yang menjadi masyarakat dan rakyat negeri ini bingung, sebenarnya ada apa dengan hukum kita? Jika ini tidak selesai, sungguh kami yang nota bene rakyat kecil ini akan ketakutan.

Dan, wahai pemerintah, tahukah kalian bahwa kami merasa takut? Kalau kami takut, masihkah kalian menangguhkan peristiwa ini tanpa ada keadilan yang ditampakkan kepada publik? Kalau kami takut, kami tidak bebas lagi tinggal dan hidup di negeri tercinta ini. Bukankah ini negeri kita bersama?

Besar harapan kami agar kasus ini segera diusut. Semua pihak bahu membahu menyelesaikannya. Jangan biarkan kami bertanya berlama-lama, mencari titik akhirnya.

PA, 25/3/13
Gordi


ilustrasi, kapanlagi
Topik penjara di Sleman atau LP Cebongan ramai dibicarakan di kompasiana. Isu itu memang membuat mata banyak orang terbuka. Terbuka untuk melihat bahwa penjara memang bukan tempat aman.

Saya melihat ketidaknyamanan ini seperti bisnis narkoba, tempat pemerasan, tempat yang tidak layak hidup kalau di dalamnya ada adu pukul untuk anggota baru, dan yang baru saja kita dengar, nyawa melayang di penjara.

Saya bayangkan andai penjara yang dihuni para artis dan koruptor seperti Jupe, Anggie, dan beberapa koruptor lainnya, diserang massa seperti di Cebongan, betapa publik lebih marah lagi.

Apa pun motifnya, tidak dibenarkan tindakan penyerangan seperti itu. Ini bentuk kekuasaan yang melampaui wewenang penjaga penjara dan tahanan. Penjara sebenarnya menjadi tempat membina para tahananan dan bukan tempat mengakhiri hidup. Bukan pula tempat untuk membalas dendam.

Semoga peristiwa ini tidak terulang lagi. Untuk itu, usut tuntas pelaku penyeranngan. Dari oknum atau kelompok mana saja hendaknya diselesaikan secara hukum. Kalau tidak mata rantai ini akan berlanjut. Esok-lusa tiba-tiba ada penyerangan lagi.

PA, 24/3/13

Gordi

ilustrasi, brainly.co.id

Namamu mulia
Wakil rakyat
Penyambung aspirasi
Mewujudkan kesejahteraan rakyat

Pekerjaanmu mulia
Duduk di kursi empuk
Mengikuti rapat
Mengunjungi rakyat

Kamu juga terbuai keempukan kursi
Engkau tertidur di situ
Tak lagi mendengar ketua sidang
Tak lagi mendengar aspirasi rakyat

Kamu juga berjalan ke mana-mana
Bukan hanya ke rumah rakyat
Kamu berjalan ke luar negeri
Untuk belajar kebijaksanaan di sana

Namun perjalanan ini banyak disindir
Menghabiskan uang negara
Uang dari rakyat
Yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat

Jadi wakil rakyat sekarang tidak mudah
Harus ada biaya miliaran rupiah
Uang yang jumlahnya besar
Cocok untuk membangun masyarakat

Semoga makin mahal biayanya
Makin tinggi giat kerjanya
Makin rajin mendengar dan meneruskan aspirasi rakyat
Makin dekat dengan wakil rakyat

Semoga dengan angka miliaran rupiah
Makin mau tinggal bersama rakyat
Merasakan penderitaan rakyat
Mengalami betapa pahitnya jadi rakyat kecil

Salam dari rakyatmu
Yang menunggu peranmu
Bukan pidatomu
Bukan janjimu

Tapi pekerjaanmu
Yang tampak
Yang menggugah warga
Untuk bekerja demi kemajuan bersama

PA, 23/4/13

Gordi

Sekelompok warga kampung kaget bukan main ketika saya menyebut angka 1 miliar rupiah. Mereka belum pernah memiliki uang sejumlah itu. Jutaan saja, bagi mereka, sudah senang luar biasa. Uang bagi mereka menjadi hasil usaha keras. Jari tangan melepuh, kulit tubuh terbakar matahari, kulit keriput dibasahi air hujan. Setelah itu baru mereka mendaptkan uang mulai dari pecahan puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Kalau dikumpulkan akan berhenti di satuan jutaan rupiah.

Miliar bagi mereka terlalu besar. Tak bisa membayangkan warga kampung mendapat sejumlah itu. Berita di KOMPAS hari ini mengejutkan saya sebagai warga kampung. Mungkin juga bagi warga kampung lainnya jika sempat membaca koran KOMPAS. Ada kerugian sejumlah ratusan miliar per hari akibat kelangkaan solar selama ini. Woao...biaya fantastis.

Angka itu bukan untuk dilihat begitu saja tetapi mencari apa dampak selanjutnya.  Dampak yang utama tentu saja, perekonomian terganggu. Ini sudah nyata, harga sembao di pasar mulai naik, biaya angkot naik, entah biaya apa lagi yang naik. Pasti ada kenaikan. Pedagang berdalih, harga solar naik, otomatis biaya distribusi barang naik. Ini baru bentuk kerugian yang terlihat. Entah apa lagi kerugian lain yang tidak atau belum terlihat.

Kok bisa begitu ya??? Gara-gara solar langka. Kelangkaan ini ternyata mengganggu aktivitas perekonomian. Lalu, mengapa negara membiarkan keadaan ini berlangsung lama? Tidak mudah mengatasinya. Perlu kajian kritis dan mendalam jika ingin memutuskan mana yang terbaik. Paling tidak, ditetapkannya harga solar, yang sampai saat ini tak tentu. Gara-gara tak tentu, setiap pedagang menentukan harganya sendiri-sendiri. Lebih dari situ, persebaran solar juga tidak merata. Ada yang dikurangi, ada yang disembunyikan, dan lain sebagainya. Ini semua gara-gara lambannya pemerintah menentukan harga solar.

Melihat angka fantastis ini masih berapa lama lagi pemerintah membiarkan situasi ini? Indonesia punya banyak ekonom kelas elit, mengapa tidak minta kebijakan mereka untuk membuat kajian mendalam sehingga situasi cepat pulih? Negara ini sedang sakit karena penyakit kelangkaan solar ini. Dan, akibatnya sebagian besar masyarakat terjangkit.

Mereka yang didarat saja sudah sekarat, apalagi nelayan di laut. Tidakkah pemerintah ingin melindungi warganya? Jangan terlena dengan ekonomi rakyat banyak. Tinggalkan masalah politik yang penuh saingan. Atasi ekonomi yang menyangkut hayat hidup orang banyak.

PA, 29/4/13

Gordi

Negara tidak boleh kalah. Demikian judul berita di KOMPAS hari ini. Semua rakyat juga setuju, negara tidak boleh kalah. Dalam arti, negara harus menang atas semua perkara yang merugikan masyarakat dan negara.

Masalahnya, negara kadang-kadang tidak kuat. Negara tampaknya bisa kalah. Negara Indonesia sudah terbukti bisa kalah dari berbagai persoalan. Dari sudut budaya, politik, ekonomi, keamanan, dan sebagainya.

Dari sudut budaya, kita kalah. Budaya yang berkembang di Indonesia saat ini adalah budaya asing. Bukan budaya asli bangsa ini. Sebut satu budaya asli, kerja sama. Masih adakah rakyat perkotaan yang mau diajak kerja sama? Kerja di lingkungan RT misalnya. Agak jarang. Yang ada hanya kirim pembantu.

Di kalangan muda, budaya tari pop dan musik asing masuk dengan gampang. Sedikit sekali kaum muda yang menyukai budaya asli Indonesia, misalnya wayang dan tari tradisional lainnya. Sebaliknya, tari pop dari luar negeri dengan mudah dipelajari.

Dari sudut politik, bangsa kita tampaknya kalah. Kebijakan politik kita kadang-kadang lemah, bahkan, merugikan masyarakat. Sebut saja kontrak kerja sama dengan perusahaan asing. Di Papua, perusahaan tambang meraja lela mengeruk kekayaan masyarakat. Warga jadi miskin. Tapi, negara tetap memperbarui kontrak kerjanya. Bukankah ini kekalahan kita?

Kita lihat bidang ekonomi. Negeri ini kaya lahan subur, bisa ditanamai berbagai jenis buah, sayur, dan tanaman lainnya. Petani bisa memainkan peran penting dan bisa menjadi orang sukses yang disegani. Tentu dengan dukungan pemerintah dan swasta lokal. Sayangnya, negara tidak hadir. Negara lebih cenderung mendatangkan hasil buah-sayur dari luar negeri ketimbang memperbaiki produksi dalam negeri.

Negara tidak mau bersusah-susah bersama petani, memeperbaiki kinerja pertanian sehingga menghasilkan keuntungan yang bermanfaat bagi negara. Di sinilah negara kalah.

Dari bidang keamanan lebih parah lagi. Negeri ini kaya lautan luas yang harus dijaga. Sayangnya negara kalah terhadap aksi nelayan asing, kapal asing, pencuri asing. Aarat keamanan selalu telat menjaga garis pantai kita. Rakyar kecil yang jadi ujung tombak jaga pantai otomatis kalah jika tidak ada dukungan keamanan dari negara. Jadi, bukankah negara kita kalah?

Ini belum termasuk bidang lainnya, seperti hukum, HAM, dan masih banyak lagi. Lalu, pantaskah slogan NEGARA TIDAK BOLEH KALAH? Sebagai seruan imperatif, slogan itu perlu ditegakkan. Slogan itu membakar semangat nasinalisme.
Hanya saja, perlu diakui terlebih dahulu, bahwa, NEGARA SUDAH KALAH. Pengakuan bahwa negara kalah mesti diikuti sebuah semangat baru, NEGARA HARUS MENANG. Dengan ini, negara melihat fakta dan belajar dari fakta. Negara mau maju untuk menang. NEGARA TIDAK BOLEH KALAH menjadi titik awal untuk berjuang. Itulah yang diingini rakyat.

Ini pandangan pribadi yang mungkin idealis. Tetapi, di balik ini, ada harapan besar bahwa, memang negara tidak boleh kalah. Harapan disertai usaha dari berbagai pihak. Harapan yang memastikan akan ada hasilnya. Berharap berarti bekerja untuk berubah. Bukan menunggu datangnya mukjizat. Salam menang untuk pembaca.

PA, 30/4/13
Gordi



Manusia mudah berubah dan mengubah pilihan. Memilih sesuatu menjadi rumit. Kerumitan muncul ketika ada pilihan lain. Dari A ke B ke C dan seterusnya. Pilihan itu mudah jatuh ke mana saja. Mana yang disukai saat ini.

Pilihan dangkal. Karena dangkal pilihan itu tidak punya kedalaman. Demikianlah dalam pilkada. Masyarakat mudah digoda dengan uang. Hari ini partai A memberi uang, keluarga B berjanji akan memilih calon A. Besok datang partai B membagi pakaian, keluarga B juga berubah pilihan ke partai B. Begitu terus hingga tak ada lagi kejelasan. Mana yang pilih. Akhirnya bantuan yang datang menjelang hari pilkada yang akan dipilih.

Hidup manusia seperti memilih partai. Dalam pemilihan itu tampak perubahan itu begitu cepat. Manusia juga demikian. Ke mol pun dengan mudah memilih ini itu sesuai kesukaan. Masalahnya manusia banyak sukanya. Namanya suka pasti berubah. Suka dipengaruhi oleh suasana luaran. Jika yang ini sedang tren maka saya pilih ini. Jika yang itu yang tren maka pilih yang itu. Padahal pilihan itu dinamis, berubah-ubah.

Sebagai rakyat selayaknya kita memantapkan pilihan. Sebelum memilih kenali kandidat yang dijagokan. Selidiki seluk-beluk kehidupan politiknya. Seperti kita memilih baju. Kita selidiki warnanya, ukurannya, jenis kainnya, bentuknya, dan sebagainya. Setelah itu baru kita pilih.

Iseng-iseng siang hari.

PA, 30/5/13
Gordi

Mencari calo kini sedang tren. Calo bisa ditemukan di mana-mana. Calo berperan penting saat semua urusan serasa rumit, lama, dan mengecewakan. Calo menjadi jalan akhir yang bisa ditempuh. Calo pun menjadi dukun segala urusan administrasi. Dengan calo, segala urusan menjadi mudah. Menjadi calo berarti siap memudahkan segala urusan. Urusan rmit sekali pun, di hadapan sang calo, segalanya akan jadi mudah. Baik kalau pekerja administrasi mempelajari cara kerja calo yang cepat dan mudah. Tetapi calo tidak selalu identik dengan kerja cepat dan mudah. Calo juga dikenal sebagai pribadi licik, tukang suap, dan penipu kelas kakap.

Calo-calo di sekitar kita memang berkeliaran bahkan berjamur. Jamur biasanya bertahan beberapa waktu saja. Jika lemah, dia akan mati. Dia tidak tahan menghadapi suhu dan cuaca alam. Maka, menikmati jamur mesti tepat pada waktunya. Calo, tak beda dengan jamur. Calo yang bertahan dengan situasi kerja ilegaal saja yang bertahan. Jika tidak, dia akan bangkrut hingga akhirnya kecaloannya ditanggalkan. Calo menghadapi lawan calonya yang banyak. Satu lembaga bisa beratus calo. Yang kuat akan jadi calo dalam waktu lama. Yang lemah akan berpindah profesi.

Calo, betapa pun cepat dan mudah cara kerjanya, menyisakan kesan yang menghebohkan. Yang heboh adalah cara kerja licik dan tipu daya muslihatnya. Tidak ada calo yang tidak lici. Kelicikan mesti menjadi sifat yang melekat dalam percaloan. Siapa jadi calo dia mesti lihai dalam bertindak licik. Dengan kelicikannya dia tak segan menyuap pemimpin lembaga. Dia membelikan makanan enak, perhiasan mahal, dan lainnya. Kesukaan sang bos, pemimpin lembaga, menjadi incarannya. Dengan itu, sang calo mendapat jatah. Di hadapan bos dia memohon. DI hadapan calon korbannya dia mematok harga tinggi dengan penawaran cara kerja yang cepat dan mudah.

Untuk mengurus paspor misalnya, sang calo bekerja licik. Dia mengurus semua administrasi korbannya. Korban maksudnya korban penipuannya. Mereka yang memakai jasanya. Dia mengisi formulir sampai pada pembayaran. Korbannya datang di kantor untuk foto dan cap jari saja. Siapa yang tidak mau dengan cara kerja licik seperti ini? Sebab, kalau ikut cara kerja normal, sesuai tata kerja kantor, setiap warga yang mengurus paspor melewati beberapa langkah. Setiap langkah ada jedanya. Menunggunya lama di tiap loket. Dengan calo, semua loket atau langkah itu disalip. Dia melenggang dnegan cepat.

Cara kerja calo seperti ini memang banyak diminati. Bayarannya mahal. Untungnya banyak. Modalnya hanya licik saja. Siapa bisa berlicik bisa jadi calo. Meski licik, calo menjadi incaran banyak orang. Kelicikannya menarik banyak orang untuk datang padanya. Kelicikan ini bak gula yang diselimuti semut. Calo di saat-saat rumitnya administrasi dibutuhkan. Calo dikenal sebagai penembus birokrasi yang berbelit-belit. Calo, bak dukun, bisa menembus sekat tebal rumitnya urusan administrasi. Di mana ada kerumitan di situ ada calo.

Calo, seolah-olah diciptakan setelah kerumitan dan keterbelitan muncul. Sementara kerumitan atau keterbelitan juga mungkin sengaja diciptakan untuk menciptakan calo. Kerumitan memang menjadi ciri birokrasi negeri ini. Tak banyak pemimpin lembaga yang mau berbenah mengurai kerumitan birokrasinya. Banyak yang masih memelihara kerumitan urusan administrasi. Sejalan dengan itu, calo juga dipelihara . Calo juga butuh makan. DAn, mereka dapat jatah dari kelicikan-caloannya. Tanpa itu mereka tidak bisa hidup.

Calo tentu harus dihidupi. Maksudnya calo sebagai manusia pasti butuh makan. Jika tidak tamatlah riwayat mereka. Tetapi, calo sebagai profesi sebaiknya tak boleh dihidupi. Calo memang bekerja cepat dan mudah tetapi calo ini juga yang bikin kinerja administrasi lebih rumit. Dengan melangkahi beberapa loket saja, calo sebenarnya mengambil jatah antrian bagi orang yang mengurus administrasi. Melangkahi berarti menyalip jalur resmi. Dan penumpang jalur resmi diabaikan. Yang calo didahulukan ddemi mengeja cita-cita kinerja cepat meski penuh tipu daya. Yang jalur resmi direm sehingga kesannya urusan ini butuh waktu lama. Padahal urusan administrasi bisa selesai dalam beberapa jam. Jumlah pelanggan urusan tidak jadi alasan untuk memperlambat atau memperrumit urusan.

Calo yang dikenal sebagai pekerja cepat dan licik ini ternyata memperlambat kinerja birokrasi. Calo menyembunyikan perlambatan jalur resmi dalam setiap urusan birokrasi. Calo, meski cara kerjamu cepat, sebaiknya kamu jangan dipelihara. Kamu punya sifat licik yang dengan sengaja mengerem kecepatan birokrasi pengguna jalur resmi.

Salam anti-calo
Jakarta, 13/6/13
Gordi

Pemerintah kadang-kadang perlu memaksa rakyatnya mengikuti keinginannya. Pemerintah memang mesti melihat segalanya. Jika kebijakannya menguntungkan sebagian besar masyarakat, kebijakan itu mesti diteruskan, meski sebagian kecil rakyatnya rugi. Lebih baik rugi yang sebagian daripada seluruh masyarakat. Tetapi, cara seperti ini berlaku jika kebijakan itu tidak menyinggung soal HAM warga. Sebab, HAM tidak boleh diganggu gugat. Kiranya semua setuju HAM adalah derajat manusia yang tidak boleh diganggu gugat begitu saja. Meski hanya sebagian masyarakat yang dirugikan, jika itu melanggar HAM, maka kebijakannya tidak boleh diteruskan.

Jika BBM naik, rakyat mau apa? Pertanyaan ini mau menggagahi rakyat. Rakyat bisa apa jika pemerintah menaikkan harga BBM. Pernyataan seperti ini mau menyatakan bahwa pemerintahlah yang berkuasa. Pemerintah punya hak untuk menjalankan kebijakannya tanpa peduli suara rakyat. Meski rakyat menolak, jika pemerintah sudah pukul palu, maka kebijakannya jalan terus.

Pertanyaan kritis boleh diajukan, apakah jika BBM naik, kebijakan itu menguntungkan sebagian besar warga? Bagaimana jika warga kecil di desa yang rugi sedangkan warga kota yang kaya merasa beruntung? Rakyat juga boleh bertanya bahkan boleh menuntut pemerintah. Bukankah pemerintah dari rakyat dan untuk rakyat?

Tetapi, ya, rakyat kadang-kadang merasa tidak ada apa-apanya. Rakyat demo pun sama saja. Pemerintah tidak merespons dengan baik. Tetapi, ada juga rakyat yang tetap mau demo meski tuntutannya belum tentu didengarkan pemerintah. Lihatlah mahasiswa yang berdemo. Mereka ini berdemo menolak kenaikan harga BBM. Mereka juga bagian dari rakyat. Dan, mereka tahu akibatnya jika harga BBM naik. Mereka juga akan kena getahnya. Mereka juga kiranya tahu, tuntutan mereka mungkin tidak dikabulkan. Tetapi, mereka sudah berjuang menolak. Bagi mereka, kiranya, demo menjadi satu-satunya jalan untuk menolak kenaikan ini. Menghadiri sidang perundingan kenaikan BBM di gedung DPR tentu tidak mungkin. Mengacungkan jari dan memberi interupsi pada pemerintah pun tidak mungkin. Maka, demo adalah sarana untuk menolak kenaikan harga.

Kembali pada pertanyaan, jika harga BBM naik, rakyat mau apa? Rakyat hanya bisa demo. Dan memang hanya itu yang bisa dibuat oleh rakyat. Demo ini pun belum tentu bisa sepenuhnya menyampaikan keinginan rakyat. tetapi, rakyat kan miskin sarana, demolah sarana mereka. Dari kemiskinan rakyat berdemo, menolak kenaikan harga BBM. Pemerintah hanya melihat dan mendengar saja tuntutan rakyat. Mereka tampaknya tetap melanjutkan kebijakan menaikkan harga BBM. Bagi pemerintah, keputusan ini sudah diperhitungkan untung-ruginya. Kebijakan menaikkan harga adalah kebijakan yang paling baik di antara pilihan yang ada. Semoga ini benar. Dan, jika kebijakan ini dilumuri kepentingan politik dalam rangka pemilu 2014, betapa rakyat dibohongi. Rakyat tentu tidak ingin dibohong. Rakyat juga ingin tahu kebijakan yang sebenarnya. Ah jika BBM naik rakyat juga mau apa. Rakyat hanya berjuang agar bisa membeli BBM dengan harga baru yang sudah naik.

Jakarta, 17/6/13
Gordi 

Bahasa kadang dilecehkan di negeri ini. Maksudnya jelas, bahasa tidak digunakan sebagaimana mestinya. Lihatlah Bahasa Indonesia yang kini tidak diperhatikan oleh penggunanya. Ada yang mengabaikan ejaannya. Ada yang menyingkirkannya dari kehidupan harian masyarakat indonesia.

Bahasa Indonesia yang dulu menyatukan bangsa ini kini terancam di negeri sendiri. Namun, Bahasa Indonesia tetap berpeluang untuk diperhatikan. Inilah yang digiatkan oleh orang asing yang mempelajari bahasa Indonesia. Bahasa nasional lainnya digemari penggunanya. Bahkan, dirawat agar tetap hidup dalam keseharian masyarakat. Bahasa Indonesia malah sebaliknya. Diabaikan penggunanya. Penggunanya malah mempelajari bahasa asing. Bahasa yang bukan bahasa ibunya. Padahal Bahasa Indonesia akan tetap ada jika penggunanya merawat dengan baik. Pakailah Bahasa Indonesia dengan baik. Sayang jika nasib Bahasa Indonesia sama dengan bahasa daerah di beberapa wilayah negeri ini yang tidak terawat dan akhirnya jadi bahasa mati. Bahasa Indonesia layaknya tetap hidup dan dirawat dengan baik oleh penggunanya.

Bahasa yang dirawat dengan baik bisa digunakan sebagai alat pemersatu masyarakat. Sebagaimana Bahasa Indonesia menyatukan rakyat indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Itulah yang dipraktikkan Gubernur DKI Jakarta Jokowi dalam perayaan HUT kota Jakarta ke 486. Dia memberi sambutan dalam Bahasa Betawi. Bahasa keseharian rakyat Jakarta. Jakarta memang dihuni pendatang namun Jakarta masih punya bahasa lokal yakni Bahasa Betawi.

Jokowi kiranya mengajak pengguna bahasa Betawi untuk melestarikan bahasa ini. Ajakan Jokowi ini bisa diperluas konteksnya untuk rakyat negeri ini. Gunakan bahasa nasional bangsa ini dengan baik. Itulah cara merawat bahasa nasional. Tanpa itu, bahasa itu akan punah. Dan, jika punah, kebudayaan bangsa juga akan punah. Bahasa, betapa pun sering didefinisikan sebagai alat komunikasi, punya peran penting dalam mewarisi budaya. Dari bahasa, orang bisa mengenal budaya. Budaya dikenal dari cara seseorang berbahasa. Dalam bahasa, kebudayaan seseorang atau sekelompk orang terbentuk. Maka, bahasa menjadi alat melestarikan budaya.

Bahasa, jika dilestarikan dengan baik, akan berguna bagi anak cucu. Sejarah sebuah bangsa akan tertuang dengan baik dalam penurunan bahasa. Bahasa yang dirawat dengan baik akan memudahkan anak cucu mempelajari sejarah bangsanya. Maka, bahasa juga menjadi alat untuk mewariskan sejarah. Benar, yang dikatakan Soekarno, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa sejarahnya. Mengenal sejarah berarti juga mengenal bahasa. Bahasa memang memiliki peran penting.

Pemimpin kiranya perlu meniru Jokowi. Mendekatkan diri dengan masyarakat melalui bahasa. Jokowi bukan orang Betawi tetapi dia adalah pemimpin Betawi. Sebagai pemimpin dia mau mendekatkan diri dengan masyarakat. Dan, dia tahu betul, bagaimana mendekatkan orang Betawi dengan dirinya. Salah satunya adalah melalui bahasa Betawi. Bahasa ini, betapapun bukan bahasa Jokowi, bisa membuat Jokowi dekat dengan orang Betawi. Di sini tampak bagaimana Jokowi berusaha mempelajari sejarah, budaya, dan bahasa orang yang dipimpinya. Dia pemimpin yang duduk di atas tetapi dia ternyata mau turun, mengenal budaya, bahasa, dan sejarah masyarakat yang dipimpinnya.

PA, 23/6/13
Gordi


Intip-mengintip adalah salah satu permainan anak kecil. Permainan ini sederhana. Asal berhasil mengintip, dialah pememangnya. Saking sederhananya, permainan ini pun tak membutuhkan apa-apa. Hanya memanfaatkan lahan atau ruangan yang bisa digunakan sebagai tempat persembunyian.

Permainan yang sederhana ini mengandung nilai perjuangan. Setiap pemain berjuang untuk bersembunyi. Dia akan mencari tempat yang tidak terlihat oleh temannya. Temannya bertugas untuk mencari tempat rahasia itu. Pekerjaan mencari juga butuh perjuangan. Maka, baik pencari maupun penyembunyi, anak yang bersembunyi, sama-sama berjuang. Mereka berjuang agar menang.

Menang jika berhasil menemukan yang tersembunyi. dan, di sinilah sulitnya pekerjaan mencari hingga menemukan. Menang juga berarti berhasil bersembunyi sampai pencarinya menyerah. Dia akan berteriak menyerah jika tidak bisa menemukan temannya. Dan di sinilah penyembunyi menang.

Permainan ini kiranya menggambarkan sisi perjuangan anak kecil. Anak kecil gemar berjuang. Mungkin karena usia muda jiwa perjuangannya tinggi. Makin menantang makin berjuang. Anak kecil memang ingin tahu, ingin berjuang, ingin menang. Keingintahuan ini yang membuatnya berjuang melampaui halangan yang dihadapinya. Bahkan, perjuangannya melampaui kekuatan fisiknya.

Meski permainan intip-mengintip ini mengandung nilai perjuangan, permainan ini juga sebenarnya bisa memupuk kebiasaan buruk. Orang suka bersembunyi. Bahkan suka menyembunyikan sesuatu. Bersembunyi dan berusaha agar yang lain tidak tahu. Objek yang disembunyikannya disimpan sedemikian rupa hingga hanya dia yang tahu.

Bersembunyi sebenarnya mengandung kebiasaan buruk yakni memanipulasi, menipu. Bersembunyi, jika berhasil dalam waktu lama, akan melahirkan tipuan. Menipu adalah dalih agar yang tersembunyi tetap tersembunyi.

Koruptor kiranya sering menggunakan mode ini. Atau juga orang kaya yang membuat laporan palsu tentang jumlah kekayaannya. Dia sebenarnya sedang menyembunyikan sebagian dari kekayaannya. Kalau disingkapkan pajak kekayaannya membengkak. Maka, cara menghindairnya adalah menyembunyikan sebagian kekayaannya. Nah, untuk mengelabui petugas yang menghitung kekayaannya, dia membuat laporan palsu. Cara ini kiranya tidak asing di telinga orang yang hidup dengan orang kaya. Dia kaya tetapi ternyata dia menipu, membuat laporan palsu, agar kekayaannya tetap aman.

Sepandai-pandainya menyembunyikan sesuatu, suatu saat akan terungkap. Koruptor yang menyimpan kekayaan, atau pengusaha yang memanipulasi jumlah pajaknya, suatu saat akan terungkap. Sebab, yang tersembunyi akan terkuak pada suatu saat.

Permainan intip-mengintip kiranya menjadi bahan pelajaran bahwa tidak selamanya yang tersembunyi akan tersembunyi. sepandai-pandainya menyembunyikan seuatu, sesuatu itu akan terungkap. Menyembunyikan sesuatu itu seperti menyembunyikan kentut. Meski tidak tahu siapa yang kentut, kentutnya tetap bau dan dihirup banyak orang. Maka, ada asap pasti ada api. Tinggal emncari sumber bara apinya, pasti akan tahu sumbernya.

PA, 24/6/13
Gordi
Powered by Blogger.