Manusia
sering menuntut. Jika tidak terpenuhi tuntutannya semakin besar. Kasus tuntut
menuntut sering dijumpai dalam hidup harian. Di pengadilan, dalam masyarakat,
di sekolah, di rumah, di kantor, dan institusi lainnya. Menuntut dalam hal ini
adalah wajar. Ya, kalau ada perjanjian maka akan ada tuntutan untuk pemenuhan
janji itu.
Manusia
bisa dikuasai oleh aksi menuntut. Seolah-olah menuntut lebih besar daripada
manusia. Padahal manusialah yang menuntut. Manusialah yang menentukan sebuah
kasus bisa dituntut. Jadi, sebenarnya keberadaan manusia lebih besar
darisekadar menuntut. Menuntut hanyalah salah satu dari aksi manusia.
Menuntut
lebih besar dari keberadaan manusia bisa dilihat dalam kasus pengadilan.
Menuntut seorang janda miskin membayar denda sejumlah uang karena mencuri satu
jenis buah-buahan. Janda yang miskin itu sama sekali tidak punya uang sebanyak
yang dituntut. Tetapi, si penuntut tetap menuntut itu. Jika tidak, hukuman pun
mesti dikenakan. Janda itu masuk sel karena tidak sanggup membayar.
Manusia
bukan saja bisa dikuasai oleh aksi menuntut, manusia juga suka menuntut. Kasus
A harus dituntut. Kasus B harus dituntut. Kasus C harus dituntut. Apa-apa
menuntut. Seolah-olah tidak ada jalan keluar selain menuntut. Manusia
mendewakan aksi menuntut. Menuntut menjadi seolah-olah dewa yang mesti dan
harus dilakukan. Dan dari pendewaan, manusia juga diperbudak oleh aksi
menuntut. Manusia lain yang jadi korban aksi menuntut menjadi budak dari si
penuntut. Manusia memperbudak sesamanya sebagai manusia.
Inilah
yang mendera masyarakat akhir-akhir ini. Dari mahasiswa, pekerja, dan kelompok
masyarakat lainnya. Semua menuntut. Dan, tuntutan itu diarahkan pada objek
tertentu. Yang lain kepada pemerintah, yang lain kepada atasan, yang lain
kepada institusi tertentu. Dari sekian tuntutan ada yang maksudnya jelas, dan
wajar, tetapi ada juga yang sekadar menuntut, tidak jelas tujuan tuntutannya
apa. Yang seperti ini ibarat kerumunan. Dalam kerumunan, semua tampak seragam.
Padahal di dalamnya tidak jelas, mengapa mereka berkerumun. Boleh jadi
ikut-ikutan karena ada udangnya. Diiming-iming sejumlah duit, pasti kerumunan
terbentuk.
Dari
uraian ini bisa disimpulkan bahwa aksi menuntut itu kurang bagus. Benarkah
demikian? Tentu tidak selalu. Menuntut—meski sesekali bisa menguasai
manusia—tentu di satu sisi perlu. Kalau tidak ada tuntutan, keteraturan hidup
bersama tidak terjadi. Semua pengguna jalan raya mesti dituntut untuk mengikuti
aturan dan mengikuti arahan petugas lalu lintas. Di sini petugas wajib menuntut
pengguna jalan. Dan, pengguna jalan wajib menuntut ketegasan petugas. Jadi,
aksi menuntut tidak selamanya mengarah pada hal yang kurang baik.
Menuntut
itu perlu tetapi tidak harus sampai berlebihan. Tuntutan wajar dan menjadi relevan
jika objek yang dituntut mampu memenuhi tuntutan. Jika tidak, tidak perlu
menuntut terlalu berlebihan. Anak kecil tidak mungkin dituntut untuk mengangkat
beban 30 kg. Ini tidak sesuai kemampuannya.
Rakyat
Indonesia sudah candu menuntut. Objek tuntutannya juga jelas, pemerintah.
Ketika penyelanggaan UN tahun ini tidak lancar, masyarakat menuntut menteri
pendidikan untuk bertanggung jawab. Ketika harga BBM tidak menentu dan
penyalurannya tidak lancar, rakyat menuntut kejelasan pada pemerintah. Masih banyak
tuntutan lainnya.
Lepas
dari berbagai tuntutan yang rakyat ajukan, satu pertanyaan patut dilontarkan,
sanggupkah atau mampukah pemerintah memenuhi tuntutan rakyat itu? Idealnya
harus. Ini tugas pemerintah. Rakyat berhak mendapat perhatian pemerintah. Ada
yang pesimis dengan kesanggupan pemerintah. Ada pula yang optimistis.
Penilaian
seperti ini wajar. Dan yang lebih wajar lagi adalah rakyat sendiri harus
menentukan apakah sebuah kasus perlu dituntut seperti ini atau tidak. Dengan
ini, rakyat juga tahu, memilah-milah kasus. Dan rakyat juga tahu, ke mana kasus
ini dituntut. Rakyat bukan saja menuntut tetapi harus tahu kepada siapa
tuntutan ini ditujukan.
Salam
selamat siang. Ini iseng-iseng di padi awal pekan ini.
PA,
27/5/13
Gordi