Kita
sering membuat janji. Kita juga sering mengingkar janji. Antara janji dan
menepati janji ada perbedaan tipis. Karena tipisnya janji dan tidak tepat janji
menjadi hal yang sulit dibedakan.
Saya
membuat janji. Dan berjanji untuk menepatinya. Tetapi tiba-tiba ada halangan.
Dan janji itu pun tidak ditepati.
Rekasi
yang muncul biasanya marah. Seorang cewek marah karena cowoknya tidak jadi
malam mingguan. Seorang cowok marah karena ceweknya tidak mengangkat teleponnya.
Reaksi
yang muncul bukan saja marah. Setelah marah muncul prasangka. Ada apa dengan
cewek dan cowokku ini? Mungkinkah dia dengan yang lain? Mungkinkah dia mau
mendua hati? Prasangka yang muncul bermacam-macam.
Tak
pernah tebersit dalam pikiran bahwa kalau janji tidak ditepati berarti ada
sebabnya. Penyebabnya ini yang mestinya dicari sebelum memberi reaksi. Tetapi
justru mencari penyebab inilah yang jarang dilakukan. Boro-boro mencari
penyebab, nada emosional sudah muncul.
Kalau
dipikir-pikir energi psikologis yang disalurkan dalam bentuk marah itu
sebenarnya bisa dialirkan sebelumnya dalam aktivitas mencari alasan. Tentu ini
butuh perjuangan. Sebab, emosional mudah tersulut. Rangsangannya bisa
macam-macam. Sementara mencari adalah sebuah proses yang menuntut kesabaran.
Antara
emosional dan kesabaran memang terbentang jurang yang dalam. Saking dalamnya,
kedua sifat manusia ini sulit disatukan. Sulit digabungkan. Keduanya tetap
menjadi hal yang bertolak belakang. Antara keduanya tetap ada jurang.
Meski
jurangnya dalam, manusia toh bisa mengatasi jurang ini. Ibarat anak SD bermain
outbound, berjalan di atas tali yang dibentangkan di atas jurang. Manusia bisa
meredam prasangka dan mengalihkannya untuk mencari penyebab.
Kalau
anak kecil bisa menjaga keseimbangan saat berjalan di atas tali, maka manusia
sebenarnya bisa meredam emosional. Ini butuh kesediaan seluruh indera manusia.
Paling tidak, otak dan perasaan harus dikendalikan. Dua indra ini berperan
penting.
Jika
tidak, prasangka akan meledak menjadi bom kehidupan bersama. Keluarga retak,
salah satu di antara sekian penyebabnya, justru karena prasangka. Pasangan
suami-istri gagal mengolah emosional menjadi tindak-sabar. Padahal ini
semsetinya bisa dilakukan.
Tetapi,
kalau mau lebih bagus lagi, janji-janji itu mesti ditepati, mesti dipenuhi.
Jangan berjanji jika tak mampu menepatinya. Berjanjilah untuk menepati janji.
Dan, jangan memberi harapan yang besar terhadap sebuah janji, jika itu belum
dipastikan bisa dipenuhi.
PA,
26/5/13
Gordi
Post a Comment