Puasa Katolik: Ampun Seribu Ampun
Hanya debulah aku
Di alas kaki-Mu Tuhan
Hauskan titik embun
Sabda penuh ampun
Ampun seribu ampun
Hapuskan dosaku
Segunung sesal ini
Kuhunjuk pada-Mu
Syair ini adalah
penggalan lagu berjudul “Hanya debulah aku”. Lagu ini
bernada lambat penuh sesal dan
bergaya Sunda. Inilah salah satu lagu yang paling tenar—di Gereja Katolik
Indonesia—selama masa puasa. Masa puasa ini akan berlangsung selama 40 hari
sampai pada Pesta Paskah nanti. Tahun ini, masa Puasa atau juga disebut
Prapaskah ini dimulai pada tanggal 1 Maret kemarin.
Lagu di atas menggambarkan sejarah awal manusia.
Manusia berasal dari debu. Tampak seperti tidak ada apa-apanya. Nilainya hanya
sebatas nilai debu. Memang, manusia tidak bernilai apa-apa terutama di bandingkan
dengan Tuhan. Nilainya hanya sebatas debu. Di mata manusia, debu hanyalah
sebuah wujud ringan yang mudah terbang ke sana ke mari oleh angin. Debu yang
tak bernilai ini rupanya menjadi sesuatu yang bernilai di mata Tuhan. Ya,
manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.
Tuhan kiranya tidak salah memilih debu menjadi sarana
untuk membentuk manusia. Debu bersifat ringan sehingga mudah terbang. Manusia
kadang lupa akan sifat asalinya ini. Manusia kadang menjadi berat sekali. Berat
untuk membantu sesama, untuk mengambil inisiatif, untuk mengakui kesalahan
sendiri, untuk berdiam sejenak sebelum berkomentar, dan berat-berat lainnya.
Manusia yang berat—dengan demikian—adalah manusia yang lupa akan dirinya.
Manusia hanyalah sebuah butiran debu sehingga
mestinya ringan. Kalau menjadi berat, boleh jadi manusia itu menampung debu
lain yang tak berguna. Debu yang kotor biasanya lengket dan akan menjadi tebal.
Ketebalan ini membuat debu menjadi makin berat.
FOTO: globalplus.thearda.com |
Dalam Gereja Katolik, masa puasa sering diidentikkan
dengan masa untuk berubah. Dalam bahasa rohaninya disebut masa untuk bertobat.
Perubahan inilah yang diperjuangkan oleh umat Katolik selama 40 hari. Berubah
terutama dari yang buruk menjadi yang baik. Maka, perubahan yang utama adalah
yang berasal dari diri sendiri. Masa puasa dengan demikian bukan masa untuk
menunjuk pada orang lain tetapi terutama dan pertama-tama menunjuk pada diri
sendiri.
Inilah perubahan yang asli dan murni. Karena asli dan
murni, umat Katolik pun tidak boleh melarang orang lain untuk tidak menjual
makanan yang enak dan menggoda selama masa puasa. Puasanya akan makin baik jika
Anda melihat makanan itu dan tidak tergoda untuk memakanannya dengan penuh
nafsu. Tetapi, jika Anda melarang orang lain untuk berjualan, ini bukan puasa
lagi. Ini namanya membatasi kebebasan orang lain. Dan, ini tentu saja bertolak
belakang dengan nilai masa puasa yakni berjalan menuju pembebasan.
Di Italia—negara bermayoritas Katolik—tidak ada
larangan menjual makanan selama masa puasa. Mereka tahu, kalau ada larangan,
roda perekonomian berhenti berputar. Gereja Katolik sendiri memang tidak
melarang hal ini. Malahan, Gereja memberi kebebasan pada umatnya untuk
menikmati semuanya ini dalam semangat berpuasa. Maksudnya, Anda tetap berpuasa
dalam situasi seperti ini. Sebab, bukan mereka yang berpuasa tetapi Anda,
sehingga Anda mesti menyesuaikan diri dengan mereka, dan bukan sebaliknya.
Menarik sekali.
Perubahan erat kaitannya dengan pengharapan. Hanya
mereka yang punya harapan-lah yang biasa berubah. Atau sebaliknya, orang yang
mau berubah adalah orang yang memiliki pengharapan. Maka, seberat apa pun
kesalahan itu, selalu ada kemungkinan untuk dimaafkan. Inilah pengharapan. Lagu
di atas tadi—khususnya bait ke-2—menggambarkan pengharapan ini. Manusia memohon
ampun atas kesalahannya dan pada akhirnya dia akan kembali pada jalan yang
Tuhan tunjukkan.
Pengharapan ini menjadi salah satu tema penting dalam
puasa umat Katolik. Paus
Fransiskus dalam audiensi Rabu-an kemarin menyinggung soal ini. Paus bilang
bahwa masa puasa adalah sebuah jalan pengharapan. Jalan ini kadang berat. Bayangkan
selama 40 hari, umat Katolik mesti berpuasa. Puasa ini konkretnya dalam 3
bentuk yakni berpantang, berdoa, dan memberi sedekah. Berpantang
di sini tidak terkait dengan larangan minum dan makan ini atau itu. Pantang
yang dianjurkan oleh Gereja Katolik adalah pantang makan daging terutama sekali
pada Rabu Abu (awal masa puasa) dan Jumat Agung (jelang akhir).
Hal yang sama berlaku untuk berdoa dan bersedekah.
Berdoa mestinya ditingkatkan selama masa puasa. Jika selama ini mungkin hanya berdoa
untuk diri sendiri, di masa puasa diusahakan berdoa juga untuk orang lain,
untuk negara, dunia, gereja, warga yang terkena bencana, yang kelaparan, yang
susah mendapat layanan pendidikan, yang terkena gizi buruk, yang hidup dalam
peperangan, dan sebagainya. Berdoa model ini tidak berpusat pada diri sendiri
tetapi pada orang lain. Oleh karena itu, doa ini mesti lahir dari lubuk hati
yang paling dalam.
Bersedekah juga menjadi satu dari tiga hal yang
dianjurkan selama masa puasa. Bersedekah di sini lebih berarti memerhatikan
keadaan orang lain. Jika dalam berdoa, perhatian ini terutama dijiwai dengan
doa, dalam bersedekah perhatian ini menjadi nyata. Maka, memberi—sebesar atau
sekecil apa pun—menjadi amat penting. Bersedekah—dengan demikian—bukan terutama
pada jumlah bantuan tetapi pada kerelaan hati untuk memberi.
Rasa-rasanya puasa seperti ini sulit sekali. Umat
Katolik pun tentunya merasakan sulitnya. Maka, jika Anda tidak ingin merasakan
keadaan yang sulit, jangan memilih menjadi orang Katolik. Kesulitan ini
rasa-rasanya seperti berjalan dalam gelap. Paus Fransiskus pun menggambarkan
kesulitan ini seperti berjalan dalam kegelapan. Tetapi—menurut Paus—di ujung
jalan ini ada terang. Itulah sebabnya, Paus menamai masa puasa sebagai masa
pengharapan.
Pengaharapan ini—lanjut Paus Fransiskus—nyata dalam
perjalanan dari gelap menuju terang. Dalam sejarahnya, masa puasa 40 hari ini
mau menggambarkan perjalanan umat Israel menuju Tanah Terjanji. Umat
Israel—sebagaimana diceritakan dalam Perjanjian Lama—bahkan berjalan lebih dari
40 hari. Perjalanan mereka disimbolkan dengan angka 40 tahun. Ini berarti makin
lama lagi. Ini memang hanya angka simbolis saja. Maka, Gereja Katolik memilih
untuk menyimbolkannya juga dengan 40 hari dalam setiap tahunnya.
Perjalanan ini selain melelahkan tentu melewati
lorong-lorong gelap. Dalam gelap, biasanya akan kelihatan jati diri manusia.
Menurut Paus Fransiskus, jati diri manusia adalah rapuh dan penuh dosa.
Dosa-dosa dan kerapuhan ini disimbolkan dalam perjalanan selama 40 tahun ini.
Dosa—tegas Paus—pada umumnya mengikat manusia. Maka, begitu jatuh dalam dosa,
sulit sekali untuk bangkit.
Manusia—betapa pun dia jatuh—mestinya bisa bangun
lagi. Proses bangun kembali ini adalah masa untuk mencari kebebasan. Jika dosa
bersifat memikat, perjalanan dalam gelap ini bersifat membebaskan. Puasa dengan
demikian adalah perjalanan menuju pembebasan. Jika umat Israel ingin bebas dari
perbudakan, umat Katolik berjalan dan ingin bebas dari budak dosa.
Perjalanan menuju pembebasan ini butuh waktu panjang.
Tidak bisa bebas dalam waktu singkat. Itulah sebabnya, Paus Fransiskus
mengatakan masa puasa hendaknya dibuat setiap hari. Perjalanan menuju
pembebasan mesti dibarui setiap hari. Hanya dengan ini, perjalanan panjang ini
tidak akan terasa berat.
Selamat berpuasa untuk umat Katolik. Inilah ramadhan
bagi mereka. Semoga menjadi masa yang betul-betul memperbarui diri sendiri.
Ingat, jalannya berat, gelap, tetapi mestinya tetap ingat akan pengharapan.
Sebab, di ujung sana ada terang. Seperti Yesus yang mengalami sengsara, pada
akhirnya nanti akan bangkit pada Minggu Paskah. Sengsara Yesus diingatkan terus
dan bahkan dihidupi lagi setiap hari Jumat selama masa Prapaskah dengan ibadat
Jalan Salib. Salib bagi orang Yahudi adalah simbol kegagalan dan kejahatan,
namun bagi orang Katolik, Salib adalah simbol kemenangan. Menang dari dosa.
Sebab, Salib bukan akhir tetapi jalan menuju kebangkitan alias hidup kembali.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar,
dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
PRM, 2/3/2017
Gordi
*Dari postingan saya di sini
Post a Comment