Menerima
penghargaan merupakan hal yang membanggakan. Penghargaan dari siapa dan untuk
jasa apa saja. Penghargaan menjadi nilai tambah. Nilai imbalan dari sebuah
perjuangan. Jangan heran jika penghargaan menjadi sebuah kebanggaan. Tetapi di
balik kebanggaan, penghargaan juga menjadi godaan.
Godaan untuk
merasa bangga. Hal yang sebenarnya tidak perlu dibanggakan malah dibalik
menjadi sebuah kebanggaan. Penghargaan memang bukan datang begitu saja.
Penghargaan hadir melalui proses. Semua tahu proses merupakan kesempatan yang
lama dan panjang. Jadi, kalau akhirnya penghargaan memutarbalikkan yang tidak
bangga menjadi bangga, penghargaan itu tidak melalui proses yang akurat.
Saya sering
menerima penghargaan. Tetapi bukan seperti penghargaan besar seperti yang
diterima SBY dari Appeal of Conscience Foundation (ACF) di AS. Bagi saya,
penghargaan sederhana juga menjadi sebuah kebanggaan. Ketika saya menerima
sertifikat karena lancar mengordinasi sebuah kegiatan kampus dari rektor
kampus, saya merasa bangga. Saya merasa pekerjaan saya dihargai. Teman-teman bahkan
para dosen melihat, meneliti, menyelidiki pekerjaan kecil saya dan memberi
penghargaan.
Saya juga pernah
mendapat penghargaan sederhana ketika menjadi pencetak gol pertama dalam
pertandingan sepak bola di kampus. Penghargaan ini menjadi sebuah kebanggan.
Kebanggaan yang muncul dari sebuah kebetulan. Kebetulan tim saya bertanding
pada partai pertama dan kebetulan saya mencetak gol pertama. Meski sebuah
kebetulan, saya merasa bangga. Justru di sini saya merasa bahwa penghargaan itu
memang layak saya terima sesuai kategori panitia. Dan, banyak teman mengucapkan
selamat pada saya. sama sekali tidak ada yang protes. Semua paham cara kerja
panitia dan melihat fakta, penghargaan itu cocok diberikan pada saya.
Penghargaan
kiranya menjadi modal perjuangan. Dengan penghargaan, penerima penghargaan akan
berjuang keras mencapai impiannya. Penghargaan dengan demikian menjadi titik
awal. Awal dari sebuah proses perjuangan. Ini tentu saja sah-saha saja. Tetapi
penghargaan tidak selamanya dipahami demikian. Penghargaan justru bisa
dijadikan puncak dari sebuah perjuangan. Saya bekerja lalu mendapat
penghargaan. Di sini penghargaan menjadi hadiah dari sebuah pekerjaan.
Penghargaan
layaknya memang menjadi penambah semangat daya juang. Penghargaan diterima agar
penerima melanjutkan perjuangannya. Penghargaan dengan demikian menjadi semacam
rambu di tengah jalan. Rambu menjadi penunjuk dan penanda jalan bagi pengguna
jalan agar perjalanannya lancar. Rambu tetap tinggal di tempat sedangkan
pengguna jalan terus mencapai tujuan akhirnya.
Kalau demikian
masih bisakah berbangga dengan sebuah penghargaan? Bagi saya tentu saja ya.
Saya bangga dengan penghargaan yang saya peroleh. Sebab, saya memperolehnya
setelah saya bekerja. Penghargaan itu menjadi tanda bahwa orang lain melihat
pekerjaan saya. lebih bangga lagi karena saya bekerja bukan untuk menerima
penghargaan. Tidak ada impian untuk bekerja supaya dapat penghargaan.
Penghargaan dapat dari pihak luar. Saya pun tidak memintanya. Saya hanya
diberitahu akan dapat hadiah.
Penghargaan yang
diterima SBY menjadi obyek yang diperdebatkan di negeri ini. Masyarakat
mempunyai pandangan yang berbeda. Tentu perbedaan menjadi hal yang harus
diterima dalam sebuah masyarakat majemuk. Hanya saja jika perbedaan itu muncul
karena penghargaan yang diterima pemimpin, baru menjadi persoalan.
Masyarakat
terbelah karena penghargaan ini. Ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju.
Ada yang mengatakan, mestinya rakyat bangga, pemimpinnya dapat penghargaan. Apa
toh susahnya merasa bangga? Ada pula yang mengatakan SBY tidak layak menerima
penghargaan itu. Masyarakat justru merasa tidak aman dan tidak tenang karena
mereka menjadi korban tindakan kelompok tertentu. Rakyat merasa tidak
dilindungi oleh pemimpinnya. Wajarkan, rakyat menolak penghargaan?
Bagi saya pro dan
kontra juga wajar. Masyarakat kita majemuk. Saya merasa penghargaan itu memang
dilihat dari sudut pandang yang berbeda sehingga muncul pemahaman yang berbeda.
Saya tidak mengatakan kelompok A benar, kelompok B salah atau keliru. Saya berpikir
bahwa penghargaan itu pada dasarnya diberikan pada mereka yang memang layak
menerimanya. Dengan status layak ini penghargaan ini tidak mendapat protes dari
mana-mana dan dari pihak siapa-siapa. Berarti SBY tidak layak menerima
penghargaan itu?
Saya tidak
berwenang untuk mengatakan layak dan tidak-nya menerima penghargaan itu.
Sebagai rakyat kecil, saya hanya berpandangan demikian. Jadi, jika penghargaan
itu membuat rakyat tidak bangga tetapi malah beradu argumen, maka penghargaan
itu sudah mengingkar dari pemberian penghargaan pada umumnya. Penghargaan
umumnya menjadi sumber kebanggaan bagi penerima dan juga bagi orang-orang di
sekitar penerima.
Jika pemimpin
mendapat penghargaan maka bawahannya merasa bangga. Tetapi jika pemimpin
mendapat penghargaan dan bawahannya tidak bangga, ada yang tidak terungkap
dalam pemberian penghargaan itu. Ada perasaan yang berbeda antara pemimpin dan
bawahan. Padahal pemimpin dan bawahan seharusnya satu perasaan saja. Kalau
tidak, pemimpin dan bawahan pun boleh jadi tidak seiya sekata dalam menjalankan
tugasnya. Pemimpin berkata A bawahan berkata B.
Iseng-iseng siang
ini.
PA, 3/6/13
Gordi
Post a Comment