Dialog Antarpemeluk Agama Menjauhi Prasangka*
foto illustrasi dari internet |
Di kampus kami, ada satu mata kuliah yang
membahas tentang toleransi agama. Tepatnya, membahas masalah yang berkaitan
dengan relasi antar-agama. Lepas dari agama yang diakui pemerintah atau tidak.
Pokoknya, relasi antar-agama. Dalam salah satu sesi kuliah, kami ditugaskan
untuk mewawancarai penganut agama lain. Dari situ, kami diharapkan mampu
memahami agama lain dari penganutnya. Bukan dari buku yang kami pelajari atau
dari cerita, persepsi, dan tanggapan orang tentang sebuah agama.
Saya tertarik dengan sesi ini. Ketika
hendak mewawancarai, hati ini berdebar. Ada pertanyaan bergejolak, benar nggak
ya, kalau saya memintanya mengajarkan agamanya kepada saya. Jangan-jangan
salah. Saya buang jauh-jauh, pikiran itu dan melangkah menghadap orang yang
akan saya wawancarai. Memang ada penolakan dari orang yang akan saya
wawancarai. Dia menolak karena dia bukan ahli agama(nya). Latar belakangnya
bukan pendidikan agama. Namun, dia mau diwawancarai ketika saya mengatakan,
kami mau memahami agama bapak dari penjelasan bapak. Dan, bukan dari buku yang
bias kami baca. Bapak itu lalu bersedia diwawancarai.
Penjelasan bapak tentang agamanya sungguh
mengesankan. Dia menjelaskan sesuai dengan praktik hidup keagamaannya selama
ini. Dia pun mengakui kalau itu kadang-kadang belum lengkap sebab dia tidak
menguasai semuanya. “Mohon maaf ya dik, penjelasan saya ini boleh dibilang
hanya sebagian saja dari ajaran agama saya,” katanya. Saya kira ini pengakuan
jujur seorang bapak terhadap orang lain. Kata-katanya menggambarkan sikap
kerendahatiannya. Selain itu, saya menjadi tahu bahwa, pandangan orang tentang
agama tertentu kadang-kadang tidak sesuai kenyataan. Kalau orang ngotot pada
pandagan itu, bisa jadi itu akan menjadi prasangka.
Sebagian dari kita masih ingat kasus
pembakaran buku pada zaman orde baru. Seorang wartawan mewawancarai seorang
bapak yang ikut dalam aksi mendukung pembakaran buku. Dia ternganga ketika
wartawan menanyakan alasan membakar buku itu. Ternyata dia belum membaca buku
itu. Tetapi aneh bin ajaib, dia mendukung acara pembakaran buku. Boleh jadi dia
hanya ikut-ikutan saja dan mungkin hanya bermodalkan prasangka kalau buku itu
tidak baik isinya sehingga perlu dibakar.
Pandangan sebagian orang tentang agama
kadang-kadang hanya berupa prasangka. Dan bermodalkan prasangka, orang menuduh
penganut agama lain begini-begitu. Padahal dia tidak tahu situasi
sebenarnya. Alangkah baik kalau prasangka itu disimpan saja dan tidak perlu
dikeluarkan sebelum mengetahui situasi sebenarnya. Bisa jadi prasangka itu
muncul setelah melihat kulit luar saja dari sebuah komunitas agama. Maka,
alangkah baik dan menyenangkan, jika para penganut agama, berkumpul, berdialog,
membicarakan hal-hal penting yang terjadi dengan agamanya.
Memahami agama lain tidak cukup dengan
membaca buku tentang agama tersebut. Yang lebih berarti adalah belajar langsung
dari penganutnya. Dengan itu, pandangan yang tersimpan dalam pikiran kita
merupakan hasil interaksi dengan penganut agama tersebut dan bukan dari persepsi
orang tentang agama tersebut. Inilah dialog kehidupan beragama. Dialog yang
hidup ini menjauhkan prasangka buruk tentang agama tertentu. Mari berdialog,
kita ini hidup di bawah selimut Bhineka Tunggal Ika. Majulah
bangsaku Indonesia.
Cempaka Putih, 16 Oktober 2011
Gordi Afri
*Dimuat
di blog kompasiana pada 17/10/11
ARTIKEL SEBELUMNYA BACA DI SINI