Halloween party ideas 2015
Showing posts with label KOMPASIANA 1. Show all posts

foto illustrasi dari internet
Akhir-akhir ini agama sering menjadi alasan—bagi orang tertentu—untuk membenarkan tindakannya. Kalau tindakan itu baik dan tidak merugikan yang lain, tidak masalah. Namun, jika tindakan itu justru mengkhianati yang lain bahkan sampai menghilangkan nyawa, itu menjadi masalah. Lantas, timbul kesan dan persepsi orang tentang sebuah agama dari tindakan seorang yang membenarkan tindakan brutalnya. 

Di kampus kami, ada satu mata kuliah yang membahas tentang toleransi agama. Tepatnya, membahas masalah yang berkaitan dengan relasi antar-agama. Lepas dari agama yang diakui pemerintah atau tidak. Pokoknya, relasi antar-agama. Dalam salah satu sesi kuliah, kami ditugaskan untuk mewawancarai penganut agama lain. Dari situ, kami diharapkan mampu memahami agama lain dari penganutnya. Bukan dari buku yang kami pelajari atau dari cerita, persepsi, dan tanggapan orang tentang sebuah agama. 

Saya tertarik dengan sesi ini. Ketika hendak mewawancarai, hati ini berdebar. Ada pertanyaan bergejolak, benar nggak ya, kalau saya memintanya mengajarkan agamanya kepada saya. Jangan-jangan salah. Saya buang jauh-jauh, pikiran itu dan melangkah menghadap orang yang akan saya wawancarai. Memang ada penolakan dari orang yang akan saya wawancarai. Dia menolak karena dia bukan ahli agama(nya). Latar belakangnya bukan pendidikan agama. Namun, dia mau diwawancarai ketika saya mengatakan, kami mau memahami agama bapak dari penjelasan bapak. Dan, bukan dari buku yang bias kami baca. Bapak itu lalu bersedia diwawancarai.

Penjelasan bapak tentang agamanya sungguh mengesankan. Dia menjelaskan sesuai dengan praktik hidup keagamaannya selama ini. Dia pun mengakui kalau itu kadang-kadang belum lengkap sebab dia tidak menguasai semuanya. “Mohon maaf ya dik, penjelasan saya ini boleh dibilang hanya sebagian saja dari ajaran agama saya,” katanya. Saya kira ini pengakuan jujur seorang bapak terhadap orang lain. Kata-katanya menggambarkan sikap kerendahatiannya. Selain itu, saya menjadi tahu bahwa, pandangan orang tentang agama tertentu kadang-kadang tidak sesuai kenyataan. Kalau orang ngotot pada pandagan itu, bisa jadi itu akan menjadi prasangka.

Sebagian dari kita masih ingat kasus pembakaran buku pada zaman orde baru. Seorang wartawan mewawancarai seorang bapak yang ikut dalam aksi mendukung pembakaran buku. Dia ternganga ketika wartawan menanyakan alasan membakar buku itu. Ternyata dia belum membaca buku itu. Tetapi aneh bin ajaib, dia mendukung acara pembakaran buku. Boleh jadi dia hanya ikut-ikutan saja dan mungkin hanya bermodalkan prasangka kalau buku itu tidak baik isinya sehingga perlu dibakar.

Pandangan sebagian orang tentang agama kadang-kadang hanya berupa prasangka. Dan bermodalkan prasangka, orang menuduh penganut agama lain begini-begitu. Padahal dia tidak tahu situasi sebenarnya. Alangkah baik kalau prasangka itu disimpan saja dan tidak perlu dikeluarkan sebelum mengetahui situasi sebenarnya. Bisa jadi prasangka itu muncul setelah melihat kulit luar saja dari sebuah komunitas agama. Maka, alangkah baik dan menyenangkan, jika para penganut agama, berkumpul, berdialog, membicarakan hal-hal penting yang terjadi dengan agamanya.

Memahami agama lain tidak cukup dengan membaca buku tentang agama tersebut. Yang lebih berarti adalah belajar langsung dari penganutnya. Dengan itu, pandangan yang tersimpan dalam pikiran kita merupakan hasil interaksi dengan penganut agama tersebut dan bukan dari persepsi orang tentang agama tersebut. Inilah dialog kehidupan beragama. Dialog yang hidup ini menjauhkan prasangka buruk tentang agama tertentu. Mari berdialog, kita ini hidup di bawah selimut Bhineka Tunggal Ika. Majulah bangsaku Indonesia.

Cempaka Putih, 16 Oktober 2011
Gordi Afri


ARTIKEL SEBELUMNYA BACA DI SINI 

ARTIKEL LAIN TENTANG DIALOG ANTARAGAMA BACA DI SINI DI SINI DAN DI SINI

foto ilustrasi oleh uplinkindonesia
Seorang nenek berbaring di tempat tidurnya. Siang itu ia sedang tertidur. Tempat tidurnya berupa sebuah spon bekas yang cukup tebal. Spon itu diletakkan di atas tenda setinggi lutut orang dewasa. Di samping tempat tidur, ada anaknya, sedang berbincang dengan suaminya. Mereka tersenyum menyambut kedatangan saya dan seorang teman. 

Boleh jadi, senyum itu pertanda mereka gembira. Kegembiraan bagi mereka muncul ketika ada yang berkunjungi ke situ. Lebih dari situ, mereka gembira karena kami membawa sekotak nasi untuk sang nenek. Ini kali pertama bagi saya mengantarkan makanan ke situ. Namun, mereka tahu, kami datang dari rumah yang menyumbang sedikit rezeki untuk sang nenek.

Mereka tentu mengalami kesulitan ekonomi. Perbincangan siang itu terjadi di bawah kolong tol, tepatnya di bilangan Jakarta Utara. Mereka tak memiliki rumah. Mereka hanya berlindung di bawah kolong tol. Inilah tempat yang nyaman bagi mereka. Gubuk-gubuk berdiri berderetan. Ada yang berdinding tripleks, ada pula yang sama sekali tak berdinding. Bagi mereka, merupakan sebuah keberuntungan mendapat hunian di bawah tol. Tak perlu repot mendirikan rumah. Tak perlu sulit mencari lahan.

Tampaknya, kehidupan di situ memang nyaman. Mereka bisa berlindung ketika hujan. Inilah salah satu kenyamanan menurut mereka. Kenyamanan yang tentu berbeda dengan bayangan banyak orang kota Jakarta. Meski nyaman, sesekali mereka juga bisa terancam banjir. Permukaan tanah di situ tidak lebih tinggi dari tanah di sekitar. Kalau hujan, boleh jadi air mengalir ke situ.

Pemandangan yang tak kalah kurang nyaman adalah tumpukan sampah di samping gubuk mereka. Kolong tol ini rupanya menjadi tempat serba guna. Tempat ini menjadi hunian manusia dan hunian sampah. Di samping gubuk nenek tadi, ada gundukan sampah. Kalau diangkut sampah itu bisa memenuhi 2-3 mobil. Bahkan, sebelum sampai ke gubuk itu, kami harus melewati jalanan bergelombang. Jalan itu terbentuk di atas tumpahan sampah.

Pemandangan ini berlawanan dengan pemandangan di atas tol. Di atas tol ada manusia yang lalu-lalang dengan mobilnya. Mereka ini menggunakan jalan bebas-hambatan ini untuk memperlancar aktivitas. Mereka membayar sejumlah uang agar mereka bisa menggunakan jaln ini. Singkatnya, jalan ini hanya dilalui oleh orang yang mempunyai sejumlah uang.

Sementara di bawahnya, ada manusia yang tinggal di gubuk sederhana di antara gundukan sampah. Mereka ini tidak mempunyai sejumlah uang untuk mendirikan rumah. Lantas, gubuklah yang mereka dirikan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain bertahan di tempat itu. Mereka rela menikmati pemandangan dan suasana yang ada dengan segala konsekuensinya.

Saya teringat kata-kata seorang dosen. “Kalau mau melihat Jakarta secara umum, naiklah jalan tol dalam kota. Anda akan mendapat gambaran kota Jakarta dengan pemandangannya. Namun, kalau mau melihat Jakarta dengan situasi sosialnya, naiklah angkutan umum dan kereta api. Anda akan tahu, seperti apa kehidupan warga Jakarta.” Dan, saya menganjurkan, kalau pembaca mau melihat salah satu model penderitaan warga Jakarta, kunjungilah gubuk-gubuk di bawah tol ibu kota. Anda akan melihat kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang dialami warga perumahan mewah di Jakarta.

Cempaka Putih, 27 Oktober 2011
Gordi Afri


ARTIKEL TERKAIT DI SINI

foto ilustrasi oleh Fajrin Rahardjo
Bangsa Indonesia menempatkan 10 November sebagai hari pahlawan. Setiap tahun ada perayaan pada tanggal tersebut. Ada yang berupa perayaan sederhana, ada juga yang meriah. Di balik perayaan itu muncul banyak pembicaraan. Di harian KOMPAS 10/11/2011 dikisahkan tentang rumah tempat lahir Soedirman (ejaan asli). Soedirman adalah pahlawan kemerdekaan. Ia lahir di Purbalingga pada 24/1/1916 dan meninggal diMagelang pada 29/1/1950

Dalam kisah itu, diceritakan bahwa rumah Soedirman yang kini menjadi museum sepi pengunjung. Seorang penjaganya mengatakan, yang rutin datang ke tempat ini adalah para prawira TNI dan sekelompok mahasiswa dari Universitas Jenderal Soedirman, Purbalinga. Karena itu, perawatan terhadap museum ini pun minim.

Saya menduga di balik alasan ini, ada pengurangan dana perawatan. Kalau dana itu bergantung pada pemasukan museum maka alasan ini tepat. Namun, jika pemda ataupempusat mengalokasikan dana khusus maka alsan ini tidak tepat. Perawatan museum juga tidak tergantung pada banyak-tidaknya pengunjung. Museum mesti terawat dengan baik.

Mengunjungi rumah pahlawan seperti ini boleh dibilang sebagai bentuk penghormatan terhadap pahlawan. Ini hanya salah satu bentuk. Ada bentuk lain seperti mengunjungi makamnya, mengenangnya dengan menceritakan kepada generasi penerus, atau juga membuat tulisan tentang pahlawan itu.

Selain kisah ini, ada juga gonjang-ganjing lain seputar hari pahlawan. Ada yang pesimis tentang keberadaan pahlawan di masa kini. Ada yang takut menjadi pahlawan. Ada pula yang kurang berminat membicarakan hal seputar pahlawan di zaman sekarang. Ada yang berkomentar pahlawan hanya ada di zaman dulu sebagai pembela bangsa. Sekarang sudah tidak ada lagi. Apalagi sekarang sangat langka sosok seorang pahlawan. Gonjang-ganjing ini muncul dengan berbagai latar belakangnya.

Pahlawan adalah orang yang berjasa bagi bangsa. Kalau definisi ini dipegang, maka semua orang bias menjadi pahlawan. Semua orang bias berjasa bagi bangsa. Lepas dari besar-kecilnya jasa itu. Ada macam-macam jasa untuk bangsa. Menjadi atlet diSea Games, menjadi duta bangsa di luar negeri untuk mempromosikan wisata Indonesia, menjadi wakil Indonesia dalam debat internasional antara mahasiswa se dunia, menjadi wakil Indonesia dalam perlombaan internasional, menjadi TKI di luar negeri, menjadi dokter, guru, pembersih jalanan, pengusaha yang memajukan rakyat, dan sebagainya. Kalau demikian sudah banyak yang menjadi pahlawan. Dengan demikian menjadi pahlawan itu tidak ditentukan oleh zaman. Dulu, sekarang, dan nanti, kita bisa menjadi pahlwan.

Soal diakui menjadi pahlawan atau tidak itu soal lain. Pengakuan itu hanya bentuk apresiasi. Apreasi memang perlu tapi tanpa apreasi pun pekerjaaan tetap berjalan. Lagi pula pengakuan itu hanya sebuah bentuk pengakuan yang diberikan oleh pemerintah. Masih banyak orang yang memberi pengakuan atas tiap pekerjaan.

Apalagi kalau gelar itu diperoleh dengan mengeluarkan biaya tertentu atau megajukan persyratan yang rumit. Kita berkaca pada guru-guru kita di Indonesia yang dikenal dengan sebutan PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. Kita semua adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, kalau ada yang mau menghormati dan mengenang jasa kita dengan member gelar pahlawan kita ucapkan terima kasih. Selamat hari pahlawan.

Cempaka Putih, 11/11/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh feiranauzder
Selasa, 24 Oktober 2011. Jalan Dewi Sartika, Bogor, hampir digenangi air hujan. Hujan sore itu cukup deras. Saya bersama beberapa teman kebetulan tidak sengaja lewat di jalan ini.
Pemandangan memilukan. Jalan ini dijadikan pasar. Tempat jual beli. Jualan yang dominan adalah kebutuhan rumah tangga. Sayur-sayuran dan buah-buahan segar. Sore itu, sekitar pukul 4. Sayur dan buah-buahan itu terlihat segar. Boleh jadi karena kena air hujan sehingga tidak layu dan kering. Sebagian masih tergeletak di atas aspal. Sebagian lagi, ada di atas tenda.

Para pemiliknya terlihat huru-hara. Antara menyelamatkan diri dari air hujan atau menyelamatkan jualannya dari arus air. Kalau mau lebih berharga, boleh jadi mereka menyelamatkan diri dulu. Kena air hujan berarti siap sakit. Sakit berarti membutuhkan obat. Ini pengeluaran yang cukup besar.

Sebaliknya, menyelamatkan jualan berarti siap diguyur hujan dan basah. Kalau jualan dibawa air, apalagi yang diharapkan? Jualan itu menjadi sumber pemasukan mereka. Mereka menjual untuk mencari nafkah. Pertanyaannya adalah mengapa mereka mencari nafkah di tempat ini? Ini kan jalan dan bukan pasar. Siapa yang memperhatikan mereka?

Indonesia identik dengan kesemrawutan. Jakarta sebagai ibu kota negara saja sudah semrawut lalu lintas dan pemukimannya. Kesemrawutan ini rupanya menjalar ke luar kota. Pemandangan di jalanan di Bogor ini menjadi cerminan kesemrawutan itu. Kalau ada bangunan pasar yang layak, para penjual ini bisa menikmati teduhan yang layak saat hujan seperti ini. dan, lalu lintas menjadi lancar. Mereka tak perlu lagi menjual di jalan.

Boleh jadi ada bangunan pasar. Sebab, hampir di tiap kota di Indonesia mempunyai pasar daerah. Bisa jadi kejadian sore ini mencerminkan membeludaknya penjual di pasar resmi. Kalau demikian, animo masyarakat menjadi penjual tinggi. Bisa jadi profesi itu saja yang berhasil mereka raih. Namun, tak mudah membuat rekaan seperti ini. Bisa jadi masalahnya kompleks. Kadang-kadang keinginan untuk cepat laku membuat penjual mencari jalan pintas. Apakah menjual di jalan merupakan jalan pintas?

Bisa jadi di jalan ada banyak pembeli sehingga cepat laku. Namun, cara yang menguntungkan penjual ini merugikan pengguna jalan.

@@@@@

Kondisi serupa juga terjadi malam hari. Jalan Surya Kencana, pukul 10 malam. Sebagian jalan digunakan oleh penjual sayur-sayuran. Jualan ini tidak untuk dijual malam ini. Meskipun ada juga yang melakukan transaksi jual-beli kecil-kecilan. Sebagian jualan itu masih terbungkus rapi dalam karung. Hanya sebagian kecil yang sudah dibuka dan digelar di atas aspal. Pemiliknya berselimutkan kain tebal duduk di samping jualannya. Malam ini, Bogor memang amat dingin.

Boleh jadi, jualan ini baru dijual esok pagi. Sayuran segar biasanya didapatkan ketika pagi-pagi ke pasar. Lebih segar lagi, kalau sayur itu baru saja diambil dari semaiannya pagi itu juga. Namun, di Bogor rupanya agak sulit. Sebab, lahan sayur ada di kawasan puncak. Bisa jadi, sayur-sayur yang diletakkan di jalan ini baru saja didatangkan dari kawasan puncak. Di manakah mereka menjual sayur-sayur itu?

Boleh jadi, sayur itu dijual di jalan ini juga. Penjualnya tak mau repot memindahkan lagi jualannya yang cukup banyak. Kalau saja ada tempat yang aman, mengapa para penjual ini menurunkan jualannya di jalan seperti ini? Mereka memang kelihatan nekat. Menjual di jalan. Namun, terlalu dini untuk menilai kenekatan ini semata-mata salah mereka. Bisa jadi, di sini saja mereka dapat menjual dagannganya dengan laris. Posisinya strategis untuk pembeli. Pengguna jalan bisa langsung membeli dari mobil. Jalan itu memang tidak ditutup semuanya. Sebagian masih bisa digunakan untuk mobil searah. Sebagiannya untuk pasar. Namun, tetap saja kondisi ini merugikan pengguna jalan. Beginilah nasib jalan dan kondisi pasar di kota hujan.

Cempaka Putih, 11/11/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh Charles Jeffrey Danoff
Baru-baru ini ada survei tentang jumlah publikasi ilmiah tiap negara di jurnal internasional. Publikasi itu merupakan hasil penelitian para ahli. Ternyata dari Indonesia amat sedikit. Kalau pun jumlah peneliti Indonesia banyak, itu masih dirasa kurang kalau dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia. Selain itu bisa juga terjadi bahwa belum banyak peneliti Indonesia yang memublikaskan hasil penelitiannya di jurnal berskala internasional. Ini berarti bahwa Indonesia masih kekurangan penulis dan peneliti.

Harapan ke depannya peneliti Indonesia mesti bertambah sehingga publikasi bertambah. Peneliti dituntut untuk memublikasikan hasil penelitiannya di jurnal internasional.

Saya sebagai mahasiswa amat sedih membaca tulisan itu. Menjadi penulis memang tidak gampang. Padahal pelajaran menulis diajarkan sejak sekolah dasar. Pelajaran itu dikembangkan selama belasan tahun bagi mereka yang menamatkan pendidikan sekolah menengah. Idealnya tamat dari sekolah menengah siswa Indonesia harus bisa menulis. Waktu yang cukup sebenarnya untuk berlatih menulis.

Menulis untuk jurnal internasional membutuhkan perhatian yang cukup besar. Kalau orang sering menulis tugas itu bisa tercapai. Jadi, kuncinya adalah pernah dan sering menulis. Menulis dari hal yang kecil. Lama-lama akan terasah. Banyak penulis berkaliber mengakui kalau tulisan yang bagus muncul dari latihan yang berkelanjutan. Menurut mereka, tidak perlu khawatir dengan hasil tulisan pertama di media massa. Lebih baik dinilai tulisannya jelek daripada tidak pernah menulis sama sekali.

Saya bersyukur bisa bergabung di blog keroyokan kompasiana ini. Kalau dihitung, jumlah penulis di blog ini bertambah. Dengan demikian jumlah tulisan juga bertambah tiap hari. Kompasiana menjadi media untuk berlatih menulis bagi masyarakat Indonesia. Kita patut berterima kasih kepada Kompas Gramedia yang menyediakan fasilitas ini. Bayangkan kalau blog ini bisa dijangkau oleh setengah penduduk Indonesia. Kalau jumlah penduduk sekitar 200 juta maka pengguna blog ini 100 juta. Itu berarti bahwa jumlah penulis di Indonesai 100 juta. Dari 100 juta ini katakanlah 50%-nya bisa menulis di jurnal internasional. Maka, jumlah publikasi Indonesia bertambah. Jadi, sebenarnya Indonesia tidak kekurangan penulis.

Cempaka Putih, 26/11/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh konyeel
Dengan bergabung di blog kompasiana, rutinitas saya bertambah. Biasanya kalau membuka internet hanya facebook-an, mengecek email, mencari sumber tambahan untuk bahan kuliah, dan sebagainya. Untuk tugas ini, saya hanya perlu waktu 1-2 kali dalam seminggu. Sebelum membuka internet, saya mencatat keperluan yang akan dicari di internet. Atau juga bahan-bahan yang akan dikirim lewat email ke teman-teman dan dosen. Namun, kalau ada tugas mendadak bisa lebih dari 2 kali. Biasanya, saya mengecek email di kampus, kebetulan ada internet gratis.

Sekarang, tugas itu bertambah. Saya membuat tulisan dan memasukannya ke blog kompasiana. Lumayan untuk mengembangkan hobi dan juga menimba pengalaman baru. Selain itu, kesibukan yang bermanfaat bagi masa depan saya bertambah. Kegiatan yang sekadar membuang waktu berkurang.

Saya teringat akan kata-kata seorang dosen. Dia tinggal di Depok dan harus naik kereta ke Jakarta setiap hari Jumat pagi. Katanya, dia sering membaca dalam kereta. Namun, bukan membaca koran. Biasanya membaca koran di kereta mengasyikkan bagi mereka yang haus informasi dan berita. Koran dalam kereta bagi dia adalah tulisan mahasiwa. Dia mengecek tugas mahasiswa di kereta.

Tidak salah kalau tulisan teman-teman di blog kompasiana menjadi bahan bacaan saya. Ada banyak pilihan. Misalnya, Berita, Politik, Humaniora, Ekonomi, Hiburan, Olahraga, Lifestyle, Wisata, Kesehatan, Tekno, Media, Green, Lipsus, fiksiana, dan Freez.Biasanya sekali membuka kompasana, saya membaca 4-5 tulisan. Di tiap kolom yang diberikan, ada tulisan yang menarik. Tulisan itu menjadi pilihan saya. Selain menarik, tulisan itu bisa menjadi sumber tulisan, sumber tambahan makalah kuliah, dan sebagainya.

Tentu tidak semua tulisan bisa dijadikan sumber tambahan untuk makalah. Tetapi, saya yakin banyak di antara kompasioner yang menulis dengan runut, jujur, lengkap dengan sumber akurat jika itu tulisan ilmiah,  dan bermotif berbagi pengalaman dan pengetahuan. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang menyumbangkan tulisannya di blog ini. Saya mendapat banyak pelajaran berharga dari blog ini. Selamat untuk para kompasioner.

Cempaka Putih, 26/11/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh Buruh Migran Indonesia
Sungguh sadis nasib buruh di negeri ini. Kapan buruh bisa menikmati kehidupan yang layak? Di Papua dan Batam buruh berhadapan dengan aparat keamanan. Mereka memperjuangkan upah yang sesuai dengan kerja mereka. Apa daya mereka mesti berhadapan dengan aparat kepolisian. Nyawa melayang. Buruh tak beda dengan majikan, sama-sama ingin menikmati hidup yang layak. Itulah sebabnya mereka berjuang mendatangi Istana Merdeka, kantor PT Freeport Indonesia, dan Markas Besar Kepolisian Negara hari ini, seperti dikutip kompas.com. 
                                                                           
Kalau pengusaha mengimpikan hidup sejahtera, buruh pun ingin seperti itu. Buruh tidak menuntut banyak asal saja upah mereka cukup untuk menghidupi keluarga. Merekalah penopang hidup istri/suami dan anak. Sungguh sadis nasib buruh. Mereka tidak hanya berjuang dalam pekerjaan harian. Mereka juga berjuang agar mendapat upah yang layak meski berhadapan dengan aparat kemanan. Buruh juga manusia. Saatnya memberikan upah yang layak bagi mereka.

CPR, 29/11/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh Saki Ono
Bahasa Indonesia diperkirakan akan menjadi bahasa internasional di masa mendatang. Jika ini benar masyarakat Indonesia akan beruntung. Banyak masyarakat dari penjuru dunia akan berbondong-bondong mempelajari bahasa ini.

Kolom Bahasa di TEMPO edisi 14-20 November memperlihatkan alasannya. Alasannya antara lain jumlah penggunanya. Penduduk Indonesia saat ini mencapai 200 juta lebih. Jumlah ini besar. Jika pengandaian semua penduduk Indonesai menggunakan bahasa Indonesia maka perkiraan di atas akan tercapai. Tinggal ditambah dengan penduduk negara tetangga misalnya Malaysia dan Bruneidarusalam, jumlah penggunanya akan bertambah.

Beberapa hal perlu diberi catatan. Pertama, tidak semua masyarakat Indonesia menggunakan bahasa Indonesia. Jangankan menggunakannya sebagai bahasa tulis yang baku, sebagai bahasa percakapan saja belum semuanya. Ini mesti diakui sebab banyak masyarakat yang masih dipengaruhi bahasa lokal. Pengaruh bahasa lokal begitu kuat sehingga bahasa nasional tidak dikuasai.

Kedua, kalau mau menjadikan bahasa Indonesia go international, semua masyarakat termasuk para pejabat negara mesti menggunakannya. Masyarakat dibiasakan berbahasa Indonesai tanpa menghilangkan bahasa lokal. Sebab, bahasa lokal sebagai bahasa ibu mempunyai pengaruh yang kuat dalam membentuk budaya masyarakat Indonesai. Ini juga yang dipertanyakan mahasiswa program Bahasa Indonesia di Jerman, sebagaimana dijelaskan dalam kolom bahasa. Dia melihat masih ada pejabat kita yang cenderung menggunakan bahasa Inggris dalam berpidato. Sia-sia lah para penerjemah mencari padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Masyarakat perkotaan yang cenderung menggunaan bahasa Inggris diajak untuk memakai bahasa Indonesai. Dengan kata lain ada kampanye secara besar-besaran untuk menggunakan bahasa Indonesia.

Ketiga, tata Bahasa Indonesai mesti dibereskan. Tata bahasa yang membingungkan kadang menyulitkan pengguna asing mempelajari bahasa Indoenesai. Mesti ada pembatasan yang jelas antara ragam baku-tidak baku, percakapan-tulisan, dan sebagainya. Dalam hal ini tata bahasa mesti jelas. Kalau tidak, orang akan menganggap bahasa Indonesia tidak berwibawa. Oleh karena itu, bahasa Indonesia tidak dianggap bisa dijadikan bahasa internasional.

@@@@@
Saya kira bagian ketiga ini yang perlu dicermati dengan baik. Bahasa Indonesai terus berkembang dari hari ke hari. Seiring itu pula kosa kata bahasa Indonesai berkembang. Ada yang baru dan langsung tenar di masyarakat. Ada pula kosa kata yang jarang dipakai sehingga asing bagi masyarakat.

Dalam hal ini peran media tulisan amat penting. Orang yang sering menulis dengan baik dan benar akan terangsang otaknya untuk mencari kata yang tepat dalam menulis. Beda dengan pembawa acara di televisi yang cenderung menggunakan kata sesuaitrend masyarakat. Cara seperti ini boleh diangap mencari gampang, tidak mau bersabar sejenak untuk mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Media mempunyai andil besar dalam memasyarakatkan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Saya mengajak para kompasioner untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar dalam menulis. Tidak ada yang sempurna di antara kita. Kita sama-sama saling belajar, mencari bahasa yang tepat sehingga kita menularkan cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar dalam masyarakat. Bahasa adalah warisan budaya yang bernilai tinggi. Maka, menggunakan bahasa yang baik dan benar sama dengan menghargai warisan leluhur kita. Mari mencobanya.

Cempaka putih, 26/11/2011
Gordi Afri

fotoilustrasi oleh Yayasan Islam Kelantan
Nasib guru di Indonesia kurang diperhatikan. Masih ada guru yang merasa kurang sejahtera terutama di daerah pedalaman. Tak jarang guru enggan menerima tawaran mengajar di daerah pedalaman. Ada pula ruang yang tampak memisahkan guru yakni kategori PNS dan non-PNS. PNS menerima gaji dari Negara sedangkan non-PNS dari tunjangan sekolah dan sumbangan para orang tua murid. Gaji guru memang berasal dari sumber yang berbeda namun guru bekerja untuk anak didik yang sama yakni siswi/a sekolah. 

Semestinya pemerintah memperhatikan kesejahteraan guru baik PNS maupun non-PNS. Slogan ini disampaikan Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistyo pada puncak peringatan Hari Guru Nasional 2011 dan HUT ke-66 PGRI, Rabu (30/11/2011), di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat seperti dikutip kompas.com. Rabu, 30/11/2011. Namun Sulistyo meminta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberi perhatian khusus kepada guru-guru non-PNS, guru tidak tetap, dan guru honorer.

Ini berarti bahwa nasib guru terutama non-PNS di Indonesia belum sejahtera. Kita semua tahu bahwa guru adalah pendidik pertama dalam pendidikan formal. Gurulah yang memperkenalkan abjad dan berhitung kepada anak-anak SD. Dan kita semua melalui masa itu. Tak ada seorang pun yang luput dari perhatian guru. Peran guru mampu mendongkrak citra bangsa. Tak salah para guru membuat slogan GURU ADALAH PEJUANG BAGI KEJAYAAN BANGSA. Apa jadinya bangsa ini kalau para pejuang bangsa saja ditelantarkan. Majulah terus wahai para guru. Didikanmu membekas di hati para murid.

CPR, 30/11/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh Gerard Stolk
AIDS/HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan salah satu penyakit menular yang membahayakan. Kalau remaja di Indonesia terkena penyakit ini, bagaimana masa depannegeri ini selanjutnya? Indeks Prestasi Manusia (IPM) Indonesia semakin buruk, amat rendah, tambah lagi dengan bahaya AIDS/HIV. Bagaimana mengubah IPM ini? 

Wahai generasi muda Indonesia, masa depan negeri ini ada di tangan kalian. Kalau kalian tak bisa menghindari penyakit ini, bias jadi Indonesia tidak berubah dalam banyak hal. Padahal negeri ini mengharapkan peran serta kalian. Negeri ini sudah menderita dengan berbagai karutmarut social, ekonomi, keamanan, dan sebagainya. Kalianlah yang mengubah semua ini.

Awas HIV/AIDS……. Biarkan hidup kalian terhindar darinya. Virus itu sungguh membuat masa depan negeri ini suram. Kalian punya peluang untuk menolak dan menerima penyakit ini. Namun, masyarakat Indonesia mengharapkan kalian menolaknya dengan senang hati. Boleh bergaul dengan sesama kaum muda asal jangan sebebas-bebasnya sampai kebablasan terjangkit virus AIDS.

Yang tua dan yang terjangkit bagaimana? Jangan berharap banyak kepada mereka. Mereka hanya mengharapkan perubahan, penyembuhan. Dan, kalian yang masih bersih, yang tidak terjangkit yang bias menyembuhkannya. Yang tua, jangan diharapkan. Syukur kalau sembuh, kalau tidak, masa depan mereka sudah hancur. Kaum muda/i…….bersatulah menjauhi virus ini.

CPR, 1/12/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh  Ibnu Sofyan Al-Kumango
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengenal orang-orang yang dipimpinnya”.

Slogan ini dikenal luas oleh seluruh rakyat. Kiranya, tak ada yang mengelak jika slogan ini mempunyai pesan yang khas. Pemimpin mestI mengenal rakyatnya. Mengenal berarti mencintai rakyatnya. Cinta itu nyata dalam memperbaiki hidup rakyat. Bukan janji-janji.
Rakyat negeri ini tak pernah absen dari janji-janji yang digetolkan calon pemimpin. Namun, kenyataan masih jauh dari janji. Tak pelak jika beribu janji ini menjadi mimpi di negeri ini. Ya mimpi itulah yang sebenarnya digemborkan calon pemimpin kita. Jangan harap mimpi itu menjadi nyata. Mimpi itu akan menjadi refren lima tahunan. Mimpi yang menggema kuat ketika pesta demokrasi. 

Tibo lebih terkenal daripada para presiden
Pada Sabtu,3/12/2011 kemarin, saya bertemu dengan anak-anak yang kami dampingi. Saya bersama beberapa teman mendampingi mereka dalam hal belajar. Sedikit yang kami bantu, namun dari yang sedikit ini akan menjadi berarti. Kebetulan hari ini kami mempelajari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Seorang teman pendamping membacakan soal yang ada dalam buku pelajaran. Soalnya tentu tidak asing bagi seorang anak SD kelas V. Namun, alangkah terkejutnya saya ketika mendengar jawabannya. Soalnya demikian, siapa nama Presiden Indonesia sekarang. Soal ini masih berhubungan dengan soal sebelumnya, tentang nama-nama presiden Republik Indonesia sejak Soekarno.

Anak itu menggaruk-garuk kepalanya pertanda tidak bisa menjawab. Lalu, dia menoleh ke temannya dan berbisik, “Kok Titus Bonai ya yang muncul di pikiran saya.” Saya tertawa kemudian memandanginya. Ada rasa kecewa. Anak SD masih belum tahu nama presiden kita. Nama para pemain sepak bola malah dihafal. Saya bertanya padanya, apakah kamu kenal nama pemain lainnya? Dengan lantang dia menyebut Patrick Wanggai, Okto Maniani. Ketiganya adalah pemain sepak bola asal Papua, daerah yang diobrak-abrik para petambang. Memang tidak bisa dipungkiri kalau nama mereka begitu tenar. Sekarang masih bergema suasana pesta Seagames. Jangan heran kalau nama-nama itu yang masih kuat dalam benak anak-anak.

Tibo dkk memang dikenal karena kepiawaiannya dalam sepak bola. Sepak bola bagi rakyat kecil adalah sebuah tontonan yang indah dan menghibur. Negeri ini adalah negeri gila bola. Di mana-mana selalu ada pendukung klub tertentu. Tak jarang aksi mereka membahayakan, bahkan sama sekali tidak manusiawi, hingga menelan korban. Meninggalnya dua penonton di senayan adalah potret begitu tidak manusiawinya para pendukung sepak bola di negeri ini. Bukankah semua yang indah itu berujung pada menjunjung tinggi martabat manusia? Sekali lagi sepak bola adalah tontonan yang menghibur. Di tengah kepenatan rakyat akan situasi negeri ini, permainan tim nasional kita menjadi tontonan yang menghibur.

Bagaimana dengan pemimpin kita?
Boleh jadi pemimpin kita belum piawai memainkan perannya di negeri ini. Karena belum piawai, mereka belum  dikenal di kalangan masyarakat. Jangan-jangan presiden kita juga belum berbuat sesuatu yang membuat masyarakat merasa bangga. Lihat juga para pemimpin kita yang lain, anggota DPR, para menteri, para gubernur, para walikota dan bupati, dan pemimpjn lainnya. Apa yang mereka lakukan? Tibo dkk sudah mendahului kiprah pemimpin di negeri ini. Mereka lebih dulu dikenal di mata masyarakat ketimbang para pemimpin. Masyarakat melihat sesuatu yang menyentuh hidup mereka, bukan janji yang membuat mereka terus bermimpi.

Masyarakat kita beragam, petani, nelayan, pengusaha, dan sebagainya. Budaya kita juga amat kaya. Namun, siapa peduli dengan semua ini? Sekali lagi pemimpin kita boleh dibilang belum menyentuh kehidupan rakyat. Pemimpin kita diam ketika para nelayan ditangkap polisi Malaysia, pemimpin kita diam ketika TKI kita dihukum mati di negeri asing. Pemimpin kita tidak seperti Tibo dkk yang berjuang hingga akhir demi mengharumkan nama bangsa. Pemimpin kita mencari aman dengan mengimpor beras ketimbang mengangkat citra petani dan membantu mereka meghasilkan beras. Pemimpin kita diam ketika produk negeri tetangga membanjiri pasar lokal. Rakyat berjuang sendiri. Wahai pemimpin, masihkah kalian bermimpi??

Rakyat Menunggu
Rakyat Indonesia menunggu realisasi dari mimpi kalian. Berbuatlah sesuatu supaya rakyat mengenal kalian dari kerjanya dan bukan dari janjinya. Hanya segelintir pemimpin di negeri ini yang mjengenal rakyatnya. Rakyatnya pun mengenal pemimpin ini. Rakyat kota Solo pasti mengenal Pak Walikota, Joko Widodo, dan jajarannya. Pak Walikota melestarikan budaya sehingga kota Solo tetap menjadi kota budaya. Pak Walikota juga menyediakan sarana transportasi yang aman bagi rakyatnya meskipun mungkin belum memuaskan semua. Nama mereka selalu dikenang di mata rakyat kecil. Begitu juga dengan Dahlan Iskan, mantan Direktur Utama PLN, dan sekarang menjadi Mentri BUMN. Rakyat kecil tersentuh dengan programnnya misalnya pemadaman listrik mendadak makin berkurang. Juga, pembaruan meteran listrik. Sesuatu yang sederhana namun menjadi luar biasa karena menyentuh kehidupan rakyat.

Rakyat kecil menunggu kiprah para pemimpin. Pemimpin yang baik memang mesti mengenal rakyatnya.Tibo dkk  boleh jadi mengenal rakyat Indonesia sebagai masyarakat pecinta sepak bola. Maka, mereka berbuat sesuatu melalui permainan yang menarik ditonton. Inilah hiburan di tengah suasana kepenatan masyarakat. Selalu ada kesempatan bagi pemimpin untuk berbuat sesuatu sehingga dicintai rakyatnya. Tibo dkk hanya sekali saja, dalam seagames, namun langsung dicintai rakyat di negeri ini. Semoga pemimpin mendengar jeritan rakyat dan langsung menanggapinya sehingga nama mereka akan dikenang selamanya.

CPR, 6/12/2011
Gordi Afri


foto ilustrasi oleh Bambang Subaktyo
Catatan tentang Trotoar di ibu kota

Bagaimana nasib trotoar di ibu kota? Hampir pasti trotoar hanyalah sebutan kosong. Trotoar tak berwujud lagi. Hanya di beberapa jalan ibu kota masih terlihat trotoar. Di Sudirman ada beberapa ruas jalan dilengkapi trotoar. Di lain tempat tak ada lagi torotoar itu. Kalaupun ada, itu hanya bekasnya saja. Bentuknya bukan lagi trotoar seperti semula.
Lihat saja di pinggiran beberapa jalan. Trotoar dijadikan tempat parkir. Trotoar dijadikan taman. Trotoar dijadikan pasar. Trotoar dijadikan ujung warung makan. Di lain tempat trotoar bahkan tak berbekas karena digusur badan jalan.

Entah mengapa semua ini terjadi. Kalau dilihat lebih jauh, manusia begitu serakah. Manusia merampas ruang publik. Manusia tidak puas dengan apa yang ada. Keadaan ini berbanding terbalik dengan keadaan negara-negara Eropa. Saya belum pernah ke sana. Namun, kalau dibaca di media atau melihat di internet, peranan trotoar amat penting. Pejalan kaki amat dihargai. Pemerintah menyediakan trotoar yang bersih, rapi, dan bebas dari kendaraan.

Trotoar-trotoar nasibmu kini…….wahai penguasa ruang publik kembalikan trotoar kami….
Rawatlah trotoar kami jika kalian masih membutuhkan kami. Kami membutuhkan trotoar itu….

CPR, 6/12/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh pubsma
Catatan tentang Selokan di ibu kota

Nasib trotoar hampir sama dengan nasib selokan di ibu kota. Ya selokan yang memperlacar jalannya air. Selokan kini tak terawat. Kalau banjir baru kewalahan. Entah mengapa masyarakat kota mengabaikan perawatan selokan. Di depan rumah kami, ada selokan setinggi 1 meter dan lebar lebih kurang 75 cm hingga 1 meter. Kami membersihkannya minimal sekali sebulan. Air pun berjalan lancar. Sayangnya saluran lain yang berhubungan dengannya tidak terawat. Akibatnya, aliran air tak lancar. Sampah-sampah berserakan dari saluran seberang.

Sekali lagi selokan yang mengalirkan air di ibu kota. Berapa jumlah masyarakat yang peduli dengan selokan? Kalau musim banjir segera tiba, pemerintah mulai membenahi selokan-selokan di pinggir jalan dan kompleks perumahan. Bahu membahu bersama masyarakat. Sayangnya, kadang-kadang upaya ini terlambat. Banjir datang menembus pintu rumah warga sebelum selokan ini dirawat.

Memang manusia serakah. Manusia merampas hak air mengalir di jalannya. Manusia serakah menjadikan jalanan air itu bak kotak sampah. Segala yang tidak digunakan dibuang begitu saja ke selokan. Andai air punya mulut akan ada protes besar-besaran. Air tak punya mulut tetapi punya kaki. Dia mendatangi rumah-rumah warga yang menghadangnya. Menembus isi rumah membasahi perabot rumah, menerjang semua yang terapung. Itulah sifat air, dihadang tak mempan, malah ia mencari tempat terendah untuk mencari jalan keluar.

Lihatlah selokan-selokan di pinggir perumahan padat di ibu kota. Selokan bak tong sampah yang bisa menampung apa saja. Manusia begitu sadis. Wahai manusia rawatlah jalan ini jika engkau tak ingin dijamah. Air punya hak melalui jalannya, jangan hadang dia, biarkan dia jalan tenang, tak menyenggol  apa yang dimiliki manusia.

CPR, 6/12/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi kantor pos pusat oleh Hirza
Setelah melewati beberapa tangga di depan pintu masuk kantor pos pusat, kami disambut seorang petugas satpam (satuan pengaman). Dengan senyum, ia menyapa kami, “Selamat siang dek,…mau apa?” 

“Mau mengirim surat pak…” balas saya. Teman saya tersenyum ketika saya menoleh ke arahnya. Lalu pak satpam menunjuk ke arah kiri, “Silakan cari loket nomor 9.”

Kebetulan saya mau mengirim surat ke rumah. Saya memilih paket pos kilat khusus. Saya dan teman saya melangkah menuju loket 9. Di situ kami bertemu petugas loket 9. Kebetulan dia wanita. Dia tersenyum ketika saya menyodorkan amplop surat saya. Rupanya di loket itu ada 2 kategori paket, paket kilat khusus dan ekspres. Petugas itu menanyakan paket yang saya pilih. Saya memilih kilat khusus.

Senyum merupakan sebuah bahasa tubuh yang membuat kita merasa dekat. Siapa pun pasti merasa dekat dan tersapa ketika lawan bicaranya tersenyum. Senyum di sini mengatasi segala-segalanya. Seorang cewek merasa senang ketika cowok di sampingnya tersenyum padanya dalam kendaraan. Demikian juga sebaliknya. Bahkan, yang berjenis kelamin sama juga akan senang ketika keduanya tersenyum. Singkatnya senyum membuat orang merasa dekat. Minimal merasa sudah kenal.

Pak Satpam tadi lebih dari sekadar senyum. Dia memberi petunjuk kepada pengunjung. Cara ini membuat pengunjung merasa tersapa dan tidak mengalami kebingungan. Di sana ada banyak orang entah mengirim surat, uang, paket kiriman, atau juga yang mengambil paket. Urusan cepat selesai ketika semuanya berjalan lancar. Peran petugas yang memberi petunjuk amat penting. Apalagi dalam sebuah kantor publik.

Amat jarang saya lihat petugas satpam memberi petunjuk kepada pengunjung. Selain di kantor pos pusat, saya pernah melihat di sebuah kantor BNI. Di bank ini petugas satpam beridir di pintu masuk. Sebelum memeriksa barang bawaan pengunjung, dia memberikan senyuman dan menyapa. Lalu, dia menanyakan apakah ada yang bisa dibantu. Dia akan memberi petunjuk untuk mencapai tempat/petugas yang dituju.

Tindakan ini (memberi petunjuk dan memberi senyum) sederhana. Namun, nilainya besar. Semoga semakin banyak petugas satpam yang tersenyum ketika menyapa pengunjung. Semoga banyak pengunjung merasa tersapa, dan meghormati tugas satpam di tempat umum seperti ini. Saya membalas memberi senyum dan mengucapkan terima kasih kepada petugas itu ketika kami keluar. Terima kasih Pak Satpam atas perjumpaan hari ini.

CPR, 9/12/2011
Gordi Afri

foto ilustrasi oleh boltron-
*catatan tentang facebook dan penggunanya

Facebook atau face to face?
Facebook, media yang kini kerap dikunjungi jutaan orang di seantero dunia. Media sosial ini masih di atas media lain misalnya Twitter. Facebook memang menawarkan beragam kemudahan. Ada pesan alias message, percakapan alias chatting, dan sebagainya. Semua isi perasaan tertumpah di media ini. 

Layaknya facebook dijadikan teman curhat (curahan hati), dan curper (curahan perasaan). Tak jarang ada olokan, seruan, ajakan, maki-makian, kata-kata kotor sebagai ekspresi marah, dan sebagainya. Meski demikian, di facebook pula orang mengumpulkan teman-tetamnnya menolong sesama. Singkatnya baik buruk ada di media ini. Media ini netral, manusialah yang mengubahnya sebagai tempat menanam kejahatan dan menanam kebaikan.

Dari dunia maya ke dunia nyata, mungkinkah? 
Di facebook hal ini mungkin dan bisa terjadi. Orang berkenalan di facebook lalu berlanjut dalam pertemuan di dunia nyata. Bertemulah kedua pribadi. Bukan lagi facebook tetapi face-to-face. Asal saja tak ada maksud jahat dibalik face-to-face itu. Kalau ini yang terjadi, facebook tetap tercoreng sebagai media yang kerap salah digunakan.
Facebook beralih ke face-to-face dalam bentuk lain adalah sapaan. Sapaan tidak berhenti di dinding facebook atau di kotak pesan. Sapaan itu mesti berlanjut di dunia nyata, menyapa di dunia nyata. Itulah sebabnya, orang bilang kalau Anda berkelana di dunia maya, jangan lupa mendarat di daratan. Daratan tetap menjadi habitat asli kita. Jangan sampai kita menyapa teman di seberang sana, sementara teman di samping kita abaikan. Ya…facebook layaknya menjadi awal menuju face-to-face.

Mari bersahabat dengan menggunakan media facebook sebagai ajang face-to-face. Face-to-face itulah realitas kita sebagai manusia yang bertubuh. Dalam facebook, tak ada manusia bertubuh. Yang ada hanyalah manusia berperasaan. Itulah salah satu perbedaan manusia dalam dunia maya dan dunia nyata. Filsuf Emanuel Levinas (1906-1995), pernah mengatakan orang lain adalah penampakan, epifani. Epifani berarti orang lain yang menampakan diri di hadapan saya. Penampakan orang lain menjadi sebuah panggilan bagiku untuk bertindak. Dalam relasi face-to-face ada tuntutan etis dan objektif. Orang lain adalah tanggung jawab saya.

CPR, 6/12/2011
Gordi Afri

Powered by Blogger.