Halloween party ideas 2015
Showing posts with label PENDIDIKAN. Show all posts

Hari ini di Bolivia, Besok di Indonesia

Penduduk asli Pacahuara, Bolivia, FOTO: angriwhitekid.blogs.com

Kematian sebuah bahasa mirip dengan kematian manusia. Kadang-kadang, tidak ada yang bisa diprediksi. Seperti kematian manusia, kematian sebuah bahasa kadang-kadang menjadi misteri.

Meski menjadi misteri, kematian bahasa sebenarnya masih bisa diantisipasi. Bahasa—tidak seperti manusia—yang punya dokter khusus. Tidak juga seperti hewan yang punya tenaga medis untuk mengecek keadaannya. Bahasa ada karena manusia ada. Maka, bahasa mesti ada dan hidup sebagaimana penuturnya (manusia) hidup. Dengan cara pandang ini, kematian sebuah bahasa—meski tidak punya dokter untuk mengontrolnya—tetap bisa diantisipasi. Bahasa tidak mesti mati begitu saja.

Di Bolivia, ada sebuah bahasa yang hampir mati. Penuturnya sisa 4 orang. Yang terakhir meninggal akhir tahun lalu. Saat ini, hanya mereka berempat yang menjadi penutur bahasa langka ini. Bahasa ini disebut Bahasa Pacahuara karena lahir dan hidup di sebuah suku asli di Pacahuara, di wilayah Amazzonia, Bolivia. Keempat penutur ini sekarang tinggal di daerah Tujure, sebuah daerah adat di wilayah Pacahuara.

Dua dari penutur ini sekarang sudah tua. Keduanya (Maro e Buca)—bersama cucu mereka Bose dan shacu—hadir dalam perayaan misa requiem dari saudara mereka Baji setelah tahun baru yang lalu. Kematian Baji sekaligus menjadi alarm bagi kehidupan Bahasa Pacahuara. Saat itu, keempat penutur ini memang hadir. Mereka menjadi sebuah komunitas pengguna bahasa Pacahuara.
 
Beberapa warga Pacahuara dalam liputan BBC tahun 2013 yang lalu, FOTO: bbc.com
Daerah Tujure sendiri makin hari makin sepi. Banyak penghuni meninggalkan daerah ini. Keluarga Maro dan Buca adalah keluarga terakhir yang masih setia tinggal dan menggunakan Bahasa Pacahuara. Boleh dibilang, harta warisan kultural ini tetap ada dan hidup saat ini karena jasa mereka. Entah sampai kapan bahasa ini dipertahankan. Kehidupan bahasa ini berada dalam tangan mereka. Jika mereka semuanya tidak ada, bahasa ini juga akan lenyap. Tetapi, semoga ada anak-cucu mereka yang melanjutkan bahasa ini.

Sekitar 11 tahun lalu, dosen Bahasa Indonesia kami di kota Yogyakarta pernah menyinggung soal ini. Kata dia waktu itu, di Indonesia juga ada gejala seperti ini. Beberapa bahasa di daerah Papua—lanjutnya—akan punah seiring dengan pengurangan penuturnya. Papua sampai saat ini kaya akan bahasa daerah. Sayang, beberap dari yang banyak ini memiliki penghuni kurang dari 500 orang. Saat itu—menurut dosen kami—ada kriteria dari Unesco-PBB bahwa bahasa yang penuturnya hanya 500 orang ke bawah akan dikategorikan sebagai bahasa mati. Dengan kriteria ini—kata pak dosen—beberapa dari bahasa di Papua akan punah.

Jika kriteria ini diterapkan pada Bahasa Pacahuara, otomatis bahasa ini sudah mati. Bolehlah dibilang demikian. Dan, nyatanya kematian bahasa ini sudah diambang pintu. Memang masih menjadi misteri. Seperti misteri dari sebuah kematian dari seorang manusia.

Kematian bahasa ini ada di tangan keluarga Ibu Baji. Ibu Baji sudah meninggal, keempat keluarganya sebagai penutur utama menjadi penentu utama kehidupan bahasa ini. Keluarga almarhumah Baji termasuk kuat. Mereka adalah keluarga terakhir—boleh dibilang demikian—yang hidup di daerah Tujure.

Daerah Tujure abad ke-8 yang lalu masih dihuni oleh sekitar 50.000 orang. Saat itu, pekerjaan mereka adalah berburu di hutan, pelaut, dan petani buah. Ini adalah beberapa pekerjaan utama dari kelompok suku tua di daerah ini.
 
Salah satu model gerbang masuk di kawasan Pacahuara, FOTO: connectas.org
Pekerjaan ini mereka tinggalkan dan pengaruhnya mulai luntur saat tiba kebiasaan baru yakni menjadi petani karet. Daerah ini menjadi penghasil karet yang besar. Malangnya, para penduduk Tujure pun menjadi tamu di atas tanah mereka. Perusahaan multinasional dari Inggris dan Jerman datang menyerbu tanah mereka. Dalam waktu yang singkat, penduduk Tujure pun meninggalkan daerah mereka.

Perusahaan ini bukan saja ‘mengusir’ penduduk Tujure. Mereka juga menggali tanah dan membiarkannya menganga tanpa pohon, tampak tandus tak bertumbuhan, membuat petak-petak kecil untuk menghalang penduduk asli bekerja di atas lahan itu. Pemandangan ini sungguh tanpa kehidupan. Tanah yang subur dibiarkan mati. Tidak ada kehidupan di sana. Situasi ini membuat penduduk Tujure pergi meninggalkan tanah leluhur mereka. Dalam sekejap, dari abad ke-8 ke abad ke-9, penghuninya berkurang menjadi satu keluarga saja dengan 9 anggota keluarga.

Keluarga ini adalah keluarga Ibu Baji. Saat ini, dari 9 menjadi 4 orang saja. Keluarga ini sebenarnya menjadi penerus atau ahli waris bukan saja dari Bahasa Pacahuara, tetapi juga budaya dan adat istiadat Pacahuara. Sayang, seperti nasib bahasa mereka, budaya dan adat istiadat pun akan hilang. Kematian bahasa kini sekaligus juga menjadi ancaman bahkan menjadi kematian dari budaya dan adat istiadat itu sendiri.

Bersama bahasa Pacahuara, keberadaan dialek dan bahasa kecil lainnya di daerah Amazzonia pun akan terancam. Dalam 10 tahun terakhir ini, sekitar 100 dialek asli Ammazzonia punah. Dialek ini punah bersamaan dengan terancamnya kehidupan dari suku asli. Mereka ‘terusir’ dari tanah leluhurnya oleh perusahaan multinasional yang mengeruk kekayaan alam mereka. Hutan Amazzonia dengan kekayaan emas, batu alam, kayu, dan sumber alam lainnya menjadi rebutan para perusahaan multinasional. Sayang perebutan ini pun berujung pada ‘pengusiran warga lokal’.

Makin malang bagi penduduk lokal karena kebijaksaan lokal juga ikut punah. Selain Bahasa Pacahuara, bahasa Resignaro juga mengalami nasib sama. Bahasa ini pamit lebih dulu dengan kematian penutur terakhirnya yakni Rosa Andrade dari Peru. Nasib 51 bahasa lokal lainnya juga akan terancam. Boleh jadi akan menjadi seperti bahasa Resignaro. Sungguh sayang, bahasa—budaya—adat istiadat—dan kebijaksaan warisan mereka akan punah. Padahal, ini adalah warisan sejarah yang berharga.
 
Salah satu model budaya Pacahuara dalam gambar, FOTO:soldepando.com
UNESCO sebagai promotor perlindungan warisan budaya dunia tidak tinggal diam melihat kenyataan ini. Lembaga ini membuka mata dan membuat penelitian serius. Hasilnya sungguh mengangetkan. Dalam 10 tahun terakhir, 100 bahasa di dunia punah, 400 lainnya sudah terancam akan punah, 51 lainnya hanya digunakan atau diketahui oleh 1 orang saja.

UNESCO juga membuat prospek ke depan. Katanya, pada abad ini (abad ke-21) boleh jadi akan hilang sekitar 7000 dialek di bumi ini atau sekitar 1 dialek dalam setiap 15 hari. Kenyataan ini menjadi sungguh memilukan bagi kelangsungan hidup bahasa dan budaya di dunia. Bahasa dan budaya dari sebuah masyarakat hilang begitu saja. Ini bisa meresahkan bagi pecinta bahasa di seluruh dunia.

Keresahan ini membuat banyak pecinta bahasa bangun dari tidur nyenyaknya. Mereka berusaha agar kematian bahasa dan budaya ini tidak berlangsung cepat. Satu dari pecinta bahasa ini adalah University of Pennsylvania di Amerika Serikat. Universitas ini melalui lembaga penelitiannya Enduring Voices berusaha untuk menyelamatkan beberapa kata dari bahasa-bahasa yang akan punah. Lebih banyak kata akan lebih bagus. Sampai saat ini, mereka sudah menyelamatkan 32.000 kata beserta maknanya. Jika diteruskan, pekerjaan ini juga akan menjadi sebuah kesuksesan besar.

Jika University of Pennsylvania di AS sudah bangun, bagaimana dengan Indonesia? Andai para pendemo, ramai-ramai ke daerah terpencil dan mengumpulkan kata-kata dari bahasa-bahasa yang akan punah di Indonesia, sampai kini, bahasa-bahasa itu pun terselamatkan. Lumayan untuk memperlambat kematian sebuah bahasa. Tetapi, ini hanya angan-angan sebab para pendemo lebih suka menghabiskan waktunya bukan untuk bekerja demi bangsa tetapi demi keegoisan mereka. Indonesia memang beda.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

SELAMAT TAHUN BARU.

PRM, 10/1/2017
Gordi

*Dari publikasi pertama di blog kompasiana



Benarkah minat baca hanya dimiliki oleh orang muda? Ataukah hanya milik orang tua? Ataukah otomatis minat itu tetap ada jika sudah eksis sejak muda?

Minat baca memang bukan perkara mudah. Banyak orang yang susah memiliki minat baca. Mungkin karena tidak dibiasakan untuk membaca. Minat baca memang beda dengan minat sepak bola atau bulu tangkis. Minat baca muncul dari kerja otak. Minat itu tidak otomatis muncul. Seperti pemain bulu tangkis, minat itu mesti diasah terus menerus. Namun, minat itu tetap beda dengan minat bermain bulu tangkis. Minat bermain bulu tangkis boleh dibilang terbatas pada masa tertentu. Jika sudah tua, pemain seperti Taufik Hidayat atau Alan Budikusuma akan pensiun. Minat mereka terbatas semasa muda.

Minat baca tidak demikian. Minat itu tetap ada jika dikembangkan terus menerus. Sampai tua pun minat itu eksis asalkan pandai merawatnya. Seorang dosen saya di Jakarta baru-baru ini menyinggung soal ini. Dalam artikelnya di sebuah majalah, dia mengatakan jika di masa tuanya dia tetap punya harapan seperti anak muda. Harapan itu muncul dari kegiatan hariannya yakni membaca. Dia menghabiskan banyak waktunya untuk membuka-buka karya klasik dan modern di dunia Barat dan Timur. Dia tidak mengajar lagi sehingga punya banyak waktu untuk membaca. Katanya, dalam karya-karya tersebut rupanya tersimpan banyak kekayaan intelektual dan ilmu pengetahuan yang bukan saja memperkaya pemahamannya akan arti hidup, tetapi juga mengandung harapan akan masa depan.

Minat baca rupanya mempunyai hubungan erat dengan harapan akan masa depan. Maka, masa depan itu mesti disiapkan sejak masa muda. Sedia payung sebelum hujan, kata pepatah Indonesia. Payung untuk masa depan dalam hal ini adalah membaca. Dengan membaca, hujan itu tidak lagi membahayakan melainkan menjadi harapan. Orang-orang Barat terkenal sebagai pembaca yang handal. Saya kagum pada mereka. Sejak SMA saya sudah melihat para bule yang rajin membaca. Bagi mereka, semua tempat dan setiap saat adalah waktu yang terbaik untuk membaca. Jangan heran jika di balkon hotel, tangan mereka memegang erat buku bacaan. Di pantai sambil menjemur dengan sehelai pakaian, mata mereka terpusat pada bacaan yang ada di tangan. Ketika saya dan teman saya bekerja di salah satu hotel internasional di bilangan Bogor-puncak 7 tahun lalu, saya juga melihat pemandangan ini. Kami sering melihat mereka membawa buku ke kolam renang. Mereka juga meletakkan beberapa buku bacaan di samping tempat tidur. Mereka rupanya punya budaya membaca yang kuat.

Budaya ini tentunya bukan jatuh dari langit. Budaya ini sudah ditanam sejak kecil. Boleh dibilang, orang Barat sudah lahir dengan bakat membaca. Sejak kecil, mereka sudah diperkenalkan dan dijejali dengan budaya membaca. Saya kaget ketika teman-teman saya orang Italia menceritakan pada saya bahwa, mereka sudah dilatih untuk membaca karya sastra sejak di sekolah dasar. Jangan heran jika kelas 5 SD sudah mulai membaca karya Dante yang terkenal itu. Dante (1265-1321) dikenal sebagai penulis sastra dan juga sebagai peletak batu pertama Bahasa Italia. Bahasa Italia sebelum resmi dinamakan demikian hanyalah bahasa pasar. Maksudnya, bahasa yang digunakan oleh rakyat biasa. Tidak seperti bahasa Latin yang digunakan sebagai bahasa resmi dalam bidang hukum dan politik. Dante mulai merintis bahasa pasar ini menjadi sebuah bahasa yang berbobot yang akhirnya menjadi Bahasa Italia sekarang ini. Karya Dante diteruskan oleh ahli-ahli berikutnya.

Dante menulis 5 karya terkenal seperti  Divina Commedia, Inferno, Purgatorio, Paradiso, dan Vita Nuova. Anak SD di Italia sudah mulai membaca karya Dante ini. Dibantu oleh guru sastra, mereka dibimbing untuk membaca, menafsirkan, dan menikmati indahnya dunia sastra lewat karya Dante. Tentu tidak mudah, apalagi bagi anak seusia SD dan SMP. Dalam kelas bahasa Italia, saya dan teman-teman bukan Italia pernah membaca satu halaman dari karya Dante. Sulitnya bukan main. Bukan saja karena masalah tata bahasanya tetapi juga cara menafsirnya. Bagi kami sulit sekali. Kesulitan ini kiranya juga dialami oleh orang Italia sendiri. Tetapi ini tidak jadi alasan untuk melalaikannya. Tugas sekolah tetap menjadi utama yang dikerjakan.

Dengan ini, para siswa Italia pelan-pelan terbiasa menghadapi hal yang sulit. Lebih dari yang sulit, mereka dibiasakan untuk menikmati dunia sastra sejak kecil. Jangan heran jika saat dewasa mereka sudah biasa untuk membaca. Di Bologna bulan Juli yang lalu, saya mengikuti kegiatan bersama teman-teman Italia. Kami punya kesempatan banyak di sela-sela kegiatan itu untuk membaca. Satu dari antara kami bertujuh yang selalu berkumpul dan membaca setelah makan malam, mampu membaca lebih kurang 12 buku dalam bulan ini. Satu lagi 5. Satu lagi 7. Saya hanya mampu membaca 5. Itu pun yang tipis.

Saya yakin sampai tua pun, teman-teman saya ini akan tetap mempunyai minat baca yang tinggi. Budaya baca itu sudah mendarah daging dalam diri mereka. Membaca karya yang sulit saja sudah biasa sejak kecil, apalagi membaca koran harian yang bahasanya mudah dicerna. Italia memang gemar memupuk budaya ini. Dan budaya ini kiranya patutu diturunkan pada generasi penerus. Tahun lalu di seluruh Italia ada kampanye untuk mengajak anak muda membaca. Kampanye ini muncul setelah ada penelitian yang mengatakan bahwa anak-anak muda di Italia mulai melalaikan budaya membaca. Dalam penelitian itu, diperkirakan rata-rata penurunan budaya baca berkisar pada angka 10-15% dari tahun sebelumnya. Ini berarti penurunannya begitu besar. Dan, pemerintah dan organisasi lain yang berminat pun ramai-ramai berkampanye, mengajak anak muda meninggalkan sejenak hp dan games mereka untuk membaca. Ajakan ini kiranya berguna dan akan tampak buahnya pada beberapa saat mendatang. Ini juga menjadi harapan agar budaya baca ini tetap eksis.

Membaca menjadi jalan untuk mengubah masyarakat. Maka, membacalah jika Anda ingin berubah.

Sekian sharing dari seberang.

PRM, 3/9/2015

*ilustrasi/shutterstock

Salah satu tonggak penting dalam pendidikan adalah tersedianya buku pelajaran. Ibarat mobil, buku pelajaran adalah bensin pendidikan. Setiap kali jalan, mobil membutuhkan bensin sebagai bahan bakarnya. Demikian juga pendidikan yang selalu membutuhkan buku pelajaran dalam proses pembelajarannya sepanjang tahun akademik.

Orang Italia rupanya tidak main-main dengan buku pelajaran. Mereka juga menganggap buku pelajaran sebagai penunjang utama pendidikan. Tanpa buku pelajaran, pendidikan boleh dibilang gagal. Ya, gimana mau mengikuti pelajaran di sekolah kalau tidak ada buku pelajaran? Menyediakan buku pelajaran bagi anak didik rupanya bukan saja pekerjaan guru atau pendidik. Orang tua rupanya yang berperan penting di sini. Guru belum mengumumkan buku apa yang diperlukan, orang tua sudah menyediakan lebih dulu.

Hari-hari ini, di setiap pusat belanja, bagian alat pelajaran dan toko buku, adalah salah satu bagian terpadat. Di sini sudah ngumpul para orang tua dan anak-anak mereka. Mereka mulai mencicil keperluan sekolah. Perlengkapan alat tulis, buku pelajaran, dan sebagainya. Alat tulis tentu saja ada di mana-mana dan tidak ada kriteria tertentu. Intinya asal itu menunjang tugas sekolah, beli saja. Dan, biasanya di toko alat tulis seperti ini dijual dengan paket. Di dalamnya lengkap, balpoin, pensil, spidol berwarna, penggaris, dan sebagainya. Tentu ada juga yang dijual per satuan.

Alat tulis tentu beda dengan buku pelajaran. Boleh jadi masalanya jadi sedikit rumit untuk buku pelajaran. Buku mana yang mau dipakai? Haruskah membeli buku baru? Apakah buku lama tidak dipakai lagi? Edisi manakah yang mesti digunakan? Sekadar pertanyaan sebelum membeli buku. Rumit juga yah. Sekolah saja belum mulai, orang tua dan siswa sudah dihadapkan dengan pertanyaan seperti ini.

Tadi, saya sempat menonton berita setelah makan malam. Satu berita yang menarik justru tentang topik ini. Ada wawancara dengan pemilik toko buku, dan pembeli buku. Menariknya, kedua pihak punya pandangan sama tentang buku pelajaran. Mereka mengakui jika buku pelajaran tidak mesti yang edisi terbaru. Mereka bilang jika perbedaannya sedikit saja. Misalnya dalam edisi baru, hanya ditambah jumlah latihan soal. Materinya tidak diubah. Kalau dipikir-pikir kok pemilik toko buku bisa menjawab seperti ini yah? Bukankah dia harus meyarankan pembeli untuk membeli buku-bukunya. Logikanya bisa saja demikian tetapi tentu logika pemilik toko buku ini berbeda. Baginya, pembeli juga punya hak untuk mengkritisi efisensi pembelian mereka. Apakah harus membeli edisi terbaru jika perbedaan dengan edisi lama hanya dalam jumlah soal latihan saja? Baginya, tidak mesti beli yang baru. Toh hanya soal jumlah latihan saja.  

Yang menarik bagi saya di sini adalah peran orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Juga akan disinggung peran pemerintah. Tampak sekali orang tua menaruh perhatian serius terhadap pendidikan anak sampai harus meneliti dan menyiapkan buku pelajaran untuk anak-anaknya. Orang tua juga terbantu karena pemerintah sudah menyiapkan materi buku pelajaran ini sebelum sekolah dimulai. Bukan sekolah sudah berlangsung satu atau dua bulan baru sibuk membeli buku pelajaran. Tak heran jika saatnya sekolah ya sekolah bukan huru-hara mencari buku pelajaran. Peran pemerintah ini penting sebab masyarakat juga ingin tahu sejak awal tahun mengenai buku yang dipakai. Tidak dirahasiakan lagi edisi mana yang bisa dipakai. Semua materi pelajaran sudah bisa diakses oleh masyarakat. Di sini tidak akan terjadi monopoli pihak tertentu misalnya pihak penerbit buku dalam mengelola buku pelajaran. Tidak akan ada korupsi karena tidak ada proyek perbukuan. Setiap penerbit bebas menerbitkan materi dari pemerintah. Penerbit boleh beda, isi buku tetap sama. Harganya tentu tidak akan beda jauh.

Model pendidikan seperti ini kiranya perlu ditiru. Saya ingat waktu SMP dulu, betapa susahnya mendapat buku pelajaran bahasa Inggris. Bukunya hanya satu. Milik guru pengampu mata pelajaran Bahasa Inggris. Minggu keempat pada awal tahun baru kami bisa dapat bukunya dalam bentuk fotokopi. Harus kumpulkan uang lebih dahulu untuk menyewa fotokopi dan menyewa utusan yang akan ke kota untuk memfotokopi buku sesuai jumlah siswa. Betapa jauh sekali perbedaannya dengan para murid sekolah di Italia. Mereka tidak seperti kami yang repot mencari buku pelajaran. Mereka tinggal membaca saja karena bukunya sudah disiapkan oleh orang tua mereka sejak awal tahun, sebelum sekolah dimulai.

Salam pendidikan.


Parma, 1/9/2015



Hari ini saya mau menyegarkan otak. Bukan berarti otak saya kemarin-kemarin tidak segar. Bukan! Saya mau mencari ide baru untuk berbagi cerita.

Nah hari ini kebetulan hari Minggu. Hari libur. Ya libur untuk instansi pemerintah. Sedangkan untuk aktivitas pribadi tidak ada yang namanya libur. Kecuali kalau berhalangan seperti sakit.

Salah satau hobi saya adalah mengisi Sudoku. Permainan menebak angka dengan jumlah kotak 9. Satu kotak berisi 9 kotak kecil yang harus diberi angka. Permainan ini cukup menyita waktu. Makanya, kalau saya tidak punya kesibukan lain, saya bermain sudoku.

Atau juga ketika menunggu di rumah sakit, terminal, bandara, dan sebagainya. Hampir setiap kali menjemput sahabat di bandara, saya membawa koran bekas yang ada sudokunya. Biasanya KOMPAS selalu ada sudokunya.

Hari ini saya mengisi 3 sudoku. Dari KOMPAS hari Jumat, Sabtu, dan Minggu, hari ini. Saya puas luar biasa karena berhasil mengisi ketiganya. Ada 2 yang bintangnya 5. Satunya lagi bintang 2.

Jumlah bintang di bawah kotak menunjukkan tingkat kesulitan. Semakin besar jumlah bintangnya semakin tinggi tingkat kesulitannya. Bintang terbanyak biasanya 5. Ini yang sulit. Tetapi, saya sudah terbiasa mengisi sudoku sampai bintang besar seperti ini. Kadang-kadang berhasil, kadang-kadang gagal.

Inilah cara saya menyegarkan otak hari ini. Entah mengapa permainan ini memberi energi baru pada saya. Padahal kalau dipikir-pikir permainan ini menyita banyak perhatian. Kalau toh hasilnya muncul semangat baru, berarti, permainan ini sebenarnya memberi energi juga.

Butuh penelitian untuk melihat ini. Tetapi paling tidak bagi saya sendiri. Permainan ini memberi semangat baru.

Selamat sore kepada pembaca tulisan ini. Ini sekadar berbagi pengalaman mengisi sudoku saja. Untuk yang mau coba silakan mencari sudoku di harian KOMPAS bagian klasika.

PA, 17/2/13

Gordi



Yang lama tidak selamanya sudah kuno. Kalau modelnya kuno tentu masih ada yang bisa diambil dari model itu.

Buku lama bisa dianggap sebagai barang kuno. Tetapi sebenarnya tidak ada istilah buku baru. Ada buku baru kemudian besok sudah menjadi buku lama ketika ada buku yang baru diterbitkan.

Saya tadi membuka-buka 2 majalah lama. Terbitan tahun 1994 dan 1995. Sekadar iseng daripada duduk saja di perpustakaan. Naluri membaca saya langsung muncul ketika masuk ruang pustaka.

Meski sekadar membuka-buka, saya menemukan hal baru di dalam kumpulan jilid majalah lama itu. Saya jadi tahu perkembangan sebuah kasus pada waktu itu. Ada juga kolom yang ditulis oleh tokoh/penulis terkenal hari-hari ini. Ternyata mereka ini menulis sejak dulu. Sebutlah nama beken Karni Ilyas yang sekarang menjadi pemimpin redaksi TV One.

Dia dulu menulis di majalah FORUM dan menjadi pemimpin redaksi di situ dari tahun 1991-1999. Saya jadi tahu latar belakang tokoh ini. Boleh jadi saya hanya tahu kalau dia ini hanya wartawan TEMP dan bekerja di TV One, kalau tidak membuka majalah lama ini.

Ah sungguh mengasyikkan membaca buku/majalah lama. Tidak selamanya kuno. Tulisan lama kadang-kadang bisa menjadi informasi menarik yang terkait dengan perkembangan sekarang.

Jadi, yang lama tidak selamanya kuno. Dan yang lama jangan dibuang. Tentu kalau tidak ada tempat penyimpanan boleh dibuang atau disumbnagkan ke perpus daerah, teman, sekolah, kampus, dan sebagainya. Saya beruntung punya waktu untuk berkunjung dari satu pustaka ke pustaka lainnya, dan sempat membuka-buka majalah lama.

Dengan demikian, tidak ada argumen tidak ada bahan untuk dibaca. Bukalah majalah lama dan bacalah informasi di dalamnya. Semoga ebrmanfaat dan menginspirasi.

Salam awal pekan.

PA, 18/3/13

Gordi


Besok ada Ujian Nasional untuk anak SMP. Banyak yang malam ini hatinya tidak tenang. Penuh perkiraan, pertanyaan, ketakutan, bayangan kegagalan, dan sebagainya. Lantas, ada yang tidak tidur, susah untuk tidur, tidur dengan rasa was-was.

Pesannya hanya satu. Kalian tidur saja. Jangan memikirkan tentang Ujian besok. Toh, mau gak mau, besok, kalian akan mengikuti ujian yang katanya mau menguji kemampuan akademik kalian. Sudahlah, tidur saja.

Ada energi baru jika kalian tidur. Sebaliknya jika tidak tidur, banyak energi terbuang. Padahal untuk mengerjakan soal ujian butuh energi banyak. Baik energi fisik maupun energi psikologis. Jadi, tidurlah kalian sekarang juga.

Bukankah selama ini, kalian sudah siap. Jadi, sudah cukup persiapannya. Siapkan psikologismu biar besok, bisa tenang mengerjakan soal ujian. Ketenagan membawa ketelitian. Orang tenang akan dengan teliti memeriksa pekerjaannya dengan baik. Lebih kurangnya diperhatikan dengan saksama. Jadi, tidurlah kalian.

Ini pesan yang perlu diperhatikan. Sebab, banyak yang tidak memerhatikan detik-detik terakhir menjelang ujian penting seperti ini. Selamat malam.

PA, 21/4/13

Gordi


Ada satu jalan yang menjembatani masa kecil dan masa dewasa. Jalan itu mempengaruhi kehidupan seseorang di masa dewasa. Jalan itu adalah pendidikan.

Dengan pendidikan seorang anak pelan-pelan akan memahami perkembangan hidupnya. Dia mempelajari makhluk lain di sekitar kehidupannya. Juga kehidupannya sendiri dari kecil hingga dewasa bahkan jika kelak dia tua nanti. Oleh karena itu, pendidikan ini menjadi sesuatu yang mutlak sifatnya.

Kita pun berangan-angan agar kita melewati pendidikan itu. Dan memang angan-angan kita itu jadi nyata. Bukan angan belaka, kita mengenyam pendidikan. Hanya saja pendidikan yang kita terima tidak sepenuhnya kita nikmati. Ada saat di mana kita merasa dijauhkan dari dunia pendidikan.

Itulah yang dialami siswa yang harus berputus asa karena gagal ujian. Harapannya memang tidak perlu putus asa. Tetapi, kadang-kadang manusia merasa kecil di hadapan perasaannya. Dia kalah dengan rasa putus asa itu.

Jalan itu memang tidak mudah dilalui. Hanya mereka yang kuat dan mau belajar yang melewati jalan itu. Selain itu, jalan itu hanya bisa dilalui jika kita ingin bersaing. Persaingan yang ketat. Persaingan yang kadang-kadang diciptakan oleh pejabat pendidikan. Yang tidak kuat bersaing akan kalah. Memang kita bisa menuntut. Sayang tuntutan kita dirasa kecil di hadapan argumen sang pengambil kebijakan.

Para pendiri negeri ini berharap dan bercita-cita agar penduduknya bisa melalui jalan pendidikan. Sayang, para penerus mereka tidak memikirkan hal ini. Mereka berpikir jalan ini hanya bisa dilalui oleh orang-orang tertentu. Jadinya, tidak semua penduduk bisa mengenyam pendidikan. Cita-cita luhur pendiri bangsa lenyap tak berbekas.

Di hari pendidikan nasional ini, kita berharap agar pejabat pendidikan kembali kepada cita-cita awal dunia pendidikan. Pendidikan untuk semua. Bukan untuk kelompok khusus. Andai pun ada yang dikhususkan mesti ada wadah lain yang bisa menampung kelompok lainnya. Bukan peserta didiknya yang dikorbankan. Pendidikan itu mutlak untuk semua penduduk.

PA, 2/5/13
Gordi




ilustrasi, di sini
Kebiasaan kantuk di kelas di kalangan mahasiswa bukan hal baru. Banyak mahasiswa tertidur atau sekadar kantuk di kelas. Meski ini bukan hal yang baik, kebiasaan ini tetap saja terjadi. Soal baik dan tidaknya kantuk di kelas memang menjadi relatif. Ada yang pro dan ada yang kontra.

Sedikit pengalaman saya. Di kampus kami, seorang dosen pernah mengatakan, kalian boleh tidur di kelas asal tidak mengganggu yang lain. Gangguan itu misalanya ngorok atau keluar air liur yang menyebabkan bau tak sedap. Tak jarang mahasiswa yang kantuk langsung tidur. Tetapi aneh bin ajaib, kami juga langsung bangun ketika sesi diskusi dengan dosen dibuka.

Beberapa teman saya bahkan langsung mengacungkan jari dan bertanya pada dosen. Beberapa teman yang pernah saya tanya mengatakan, mereka memang emndengar pemaparan dosen. Kata kuncinya ada pada kata pembuka. Dosen memaparkan bahan pada bagian awal ada intinya. Selanjutnya hanya penjelasan mengenai bahan tersebut. Teman-teman ini dengan jitu menangkap isi pembicaraan. Itulah sebabnya mereka bisa bertanya meski  kantuk di kelas.

Menurut dosen kami itu, lebih baik mahasiswa itu tidur daripada mendengar secara terpaksa. Setelah tidur, dia akan bangun dengan segar tanpa rasa kantuk. Masalahnya jika mahasiswa tidur sepanjang pelajaran. Tetapi tentu saja tidak. Sebab, ada giliran untuk mengisi kolom paraf pada presensi.

Soal kantuk emmang menjadi masalah besar bagi mahasiswa. Kemarin ketika mengunjungi beberapa teman di kampus mereka, saya masuk ruang pustaka sekaligus ruang baca. Saya mengisi waktu daripada duduk melongo saja. Saya ambilkan beberapa majalah sebagai pemancing minat baca. Kemudian saya keluarkan buku bacaan saya dari tas.

Bersama saya ada seorang mahasiswa. Dia sedang mengerjakan tugasnya. Laptop dinyalakan dan dia mengetik. Beberapa buku yang tampaknya buku acuan dibawanya. Ditaruh di samping laptop. Saya terus membaca hingga satu jam lebih. Saya kaget ketika pelan-pelan mahasiswa itu mematikan laptopnya dan tertidur. Saya menunggu beberapa saat. Ruapnya dia memang tidur.

Woao...untunglah saya tidak tertidur seperti dia. Saya memang datang untuk membaca bukan untuk mengerjakan tugas. Boleh jadi tugas itu menyebabkan dia capek dan akhirnya tertidur. Apalagi jika tugas itu harus dikumpulkan hari itu juga. Inilah derita mahasiswa.

Sebenarnya derita itu bisa diantisipasi. Jauh-jauh hari harus dicicil. Jangan tunggu mendekati hari H baru mulai dikerjakan. Saya beruntung berlatih membagi waktu seperti ini ketika kuliah. Sebab, dalam seminggu beberapa dosen memberi tugas untuk membuat makalah. Jadi, dalam beberapa minggu kemudian ada beberapa makalah yang dikumpulkan. Saya mencoba menyicil mengerjakannya. Mulai dari yang paling mudah dikerjakan. Dengan ini saya punya waktu yang panjang untuk menyelesaikan dan sekali lagi memeriksa pekerjaan sebelum diserahkan pada dosen.

Boleh jadi juga mahasiswa ini capek karena hal lain. Mahasiswa sekarang, zaman saya juga, suka banyak pekerjaan. Ada yang memang bekerja untuk membiayai kuliah. Ada pula yang mencari-cari pekerjaan. Entah itu menghabiskan waktu di mol atau sekadar jalan-jalan. Ada pula yang seharian bersama pacar. Ada yang ikut organisasi yang sebenarnya tidak menunjang kuliah. Hal-hal semacam ini justru menghambat mahasiswa jika tidak pandai mengatur waktu.

Jangan heran jika di kelas mahasiswa capek dan tertidur. Waktu untuk belajar malah diganti untuk tidur. Dan waktu untuk tidur diganti dengan makan-makan atau jalan-jalan. Orang yang bekerja bilang jam produktif malah digunakan untuk tidur-tiduran dan jam istirahat digunakan untuk kegiatan tidak produktif. Kalau begini kapan ada hasilnya? Hasilnya juga tidak akan optimal.

Masa kuliah memang menjadi masa emas dalam hidup. Tetapi jika disalahgunakan masa emas ini menjadi masa sia-sia. Masa untuk disia-siakan. Kelak masa depan menjadi hampa. Harapan dan target tak tercapai. Memang tidak ada kata terlambat untuk belajar. Tetapi, kalau selalu terlambat untuk belajar ya tidak akan tercapai.

Belajar itu harus disertai target. Kalau target ada, usaha untuk kejar target harus dilakukan. Jika tidak target akan terpasang dan tersusun rapi di meja belajar. Hari berganti malam, malam berganti siang, tahun berganti, bulan berlalu, kuliah tidak selesai.

Semoga mahasiswa ini bangun dan segra menuntaskan pekerjaannya. Dan, jangan tunda lagi ya. Jangan biarkan waktu produktif berlalu dengan tertidur saja.
PA, 23/5/13
Gordi


Berbahagialah para siswi-a yang lulus dan berjuanglah para siswi-a yang gagal.

Kelulusan adalah sebuah impian. Impian yang tertanam sejak masuk lembaga pendidikan. Sejak kelas 1 sudah terbayang, 3 tahun lagi akan keluar dari sekolah ini sebagai lulusan. Kelulusan menjadi impian setiap siswa. Setiap orang ingin lulus. Maka, dengan sekuat tenaga mereka belajar meraih kelulusan itu. Namun, keinginan mereka kadang tak tercapai. Ibarat merangkul gunung, sebagian siswa justru gagal.

Kegagalan ini membuat mereka pupus harapan. Kelulusan bukan lagi sebuah impian melainkan berubah menjadi sebuah ketakutan. Ada yang tak kuasa bangkit dan berjuang untuk lulus. Ada yang pesimistis, percuma belajar, toh penentu kelulusan adalah ujian nasional.

Kelulusan hendaknya menjadi target mati-hidup. Berjuang total. Tetapi perlu diingat, jika gagal meraihnya, jangan berkecil hati, jangan mudah kecewa. Peluang untuk lulus masih ada. Asal ada kemauan untuk bangkit dan berjuang. Belajar dari pengusaha suskses yang jatuh-bangun dalam bisnis.

Meraih kelulusan ibaratnya memborong keuntungan sebanyak-banyaknya. Jatuh bangun mesti dirasakan. Kelak, impian untuk dapat untung tercapai. Jatuh-bangun dalam hal belajar juga seperti itu. Kelak, kelulusan itu tercapai.

Tetapi, jangan pula melemparkan kesalahan hanya ada pihak lain. Sebaiknya lihat juga dalam diri, di mana kekurangan saya, apa yang tidak saya pahami. Jangan mudah menyalahkan pemerintah sebagai penyedia soal. Soal di kota disamakan dengan soal di daerah. Kalau pun demikian, sebagai siswa sebaiknya selalu siap-sedia.

Akhirnya, kelulusan juga bisa jadi untung-untungan. Kelulusan itu hanya soal keuntungan saja. Ujian nasional dengan demikian hanyalah sebuah bisnis. Siswa berprestasi bisa gagal. Sebaliknya, siswa sedang-sedang atau bahkan tidak diharapkan justru lulus. Di sini ada misteri. Misteri kelulusan. Boleh jadi dalam misteri itu ada tindak curang seperti bocornya soal. Bocor soal berarti bocor jawaban. Ini sudah diungkapkan oleh beberapa guru dan sekolah. Jadi, ujian nasional di satu sisi jadi ujian moral.

PA, 24/5/13
Gordi

Mahasiswa zaman sekarang sering dicibir karena tidak tahan duduk berlama-lama. Duduk lama-lama di ruang kuliah bukanlah hal mudah. Inilah yang sering dikeluhkan mahasiswa. Kalau sekadar duduk saja tentu semuanya bisa. Tetapi kalau duduk sambil mendengarkan dosen itu tidak mudah. Ini tantangan berat bagi mahasiswa zaman ini.

Duduk lama-lama di kelas/ruang kuliah/ruang pustaka akan membuahkan ketekunan. Orang tekun akan dengan setia mengerjakan tugasnya. Dia akan menyelesaikan halaman demi halaman dari buku yang dibaca. Orang tekun juga akan setia mendengar setiap kalimat yang diucapkan mahasiswa, kalimat yang diucapkan pasien yang berkonsultasi. Semua ini bisa dilakukan hanya dengan modal tekun.

Ketekunan itulah yang saya tangkap dari pribadi seorang dosen di sebuah kampus di Yogyakarta. Dia rela duduk selama lebih dari 2 jam di ruang baca. Saya hanya ikut nimbrung di situ selama 1,5 jam. Saya pun tak tahu entah dia akan duduk lebih lama lagi di situ. Yang jelas saya bersamanya hanya 1,5 jam saja. Saya tahu dia ada sebelum saya, 30 menit sebelumnya dari petugas ruang baca.

Ketekunan menjadi barang langka bagi mahasiswa saat ini. Ketekunan bak musuh yang mesti dijauhkan. Ketekunan memang dianggap sebagai musuh karena ada banyak godaan yang menjauhkannya dari pribadi mahasiswa. Ada hp yang selalu membuat jari-jari mahasiswa memencetnya. Ada laptop yang keyboard-nya selalu menanti untuk diutak-atikkan. Ada pula jaringan internet gratis di kampus yang selalu menunggu untuk digunakan. Mahasiswa yang tidak pandai menyiasati perkembangan teknologi ini akan jatuh-tenggelam dalam pengaruh media ini. Dia akan dikuasai bahkan diperbudak oleh media. Dia lupa bahwa semua ini sarana. Sebagai sarana, media ini hanya digunakan saat-saat tertentu di mana diperlukan saja. Media ada bukan digunakan sepanjang waktu.

Media ini memberikan banyak pengetahuan dan ketrampilan secara gratis kepada mahasiswa. Meski demikian, tidak semua pengetahuan ada di internet. Kesahihan ilmu dalam internet pun tidak semuanya bagus. Ada yang sekadar menjiplak saja. Itulah sebabnya di kampus saya dulu, sumber dari internet tidak boleh lebih dari 30% jika digunakan untuk sumber makalah.

Membaca tetaplah menjadi kebiasaan yang sejatinya harus menjadi candu bagi mahasiswa. Candu internet tentu tidak menguntungkan ketimbang candu membaca. Dan dosen ini tadi emmang membaca selama duduk di ruang yang nyaman ini. Sesekali saya memerhatikan dia yang duduknya jauh di depan saya. untunglah hanya kami berdua di dalam ruangan ini. Ketika kepala saya makin tunduk, saya mencoba menegakkannya dan sesekali menoleh ke arahnya. Sesekali juga dia mengembalikan KAMUS ke rak buku. Lalu, mengambil BUKU TEBAL lain lagi. Boleh jadi dia sedang mengoreksi tulisannya.

Dosen ini menjadi panutan bagi saya. tak perlu menelusur lebih jauh tentang kiprahnya di dunia pendidikan. Saya tidak berpotensi untuk itu. Tetapi, dari kebiasaannya yang saya lihat hari ini menjadi jelas bahwa dia suka membaca dan duduk berlama-lama. Saya suka dosen seperti ini. Saya ingat beberapa dosen yang selalu mengajak kami untuk membaca dan betah duduk. Beberapa dair mereka saya lihat datang lebih awal ke kampus. Duduk di ruang baca, menyiapkan bahan ajar. Dengan ini jelas bahwa mereka menyiapkan sesuatu sebelum memberi pelajaran pada murid-muridnya.

Ketekunan menjadi barang langka bagi mahasiswa tetapi bukan berarti mahaiswa tidak bisa memperolehnya. Banyak juga mahasiswa zaman ini yang tekun dan mampu duduk berlama-lama di tempat belajar. Ketekunan memang amat dibutuhkan di tengah gempurnya pengaruh media sosial yang membuat mahasiswa menjauhkan kebiasaan untuk tekun belajar.

Salam tekun dari saya.

PA, 28/5/13
Gordi






FOTO, sinarharapan.co
Memalsukan sesuatu boleh dibilang haram. Karena haramnya, lebih baik jangan melakukannya. Memalsukan berarti mematikan kreativitas. Jika kreativitas mati, tidak ada lagi karya baru yang muncul. Memalsukan juga membuat pencipta barang asli kecewa dan rugi besar. Mungkin harga barang ciptaannya tidak seberapa, tetapi kalau ada yang memalsukannya betapa kecewa dan ruginya dia.

Hari-hari ini beredar isu ijazah palsu. Sebenarnya isu ini sudah lama, tetapi kok muncul lagi. Pertanyaannya mengapa muncul lagi. Isu ijazah palsu memang sering dikaitkan dengan institusi pendidikan. Kadang-kadang pendidikan jadi sorotan gara-gara isu ini. Memang ada benarnya juga, sebab yang berhak mengeluarkan ijazah yang asli adalah institusi pendidikan. Jadi, bisa dengan mudah juga menuduh pembuat ijazah palsu adalah institusi pendidikan. Tetapi, ini sebenarnya tidak benar seratus persen.

Ada juga orang yang mengatasnamakan institusi pendidikan untuk mengedarkan ijazah palsu ini. Misalnya ijazah palsu yang dimiliki anggota politisi. Benarkah ijazah ini dikeluarkan oleh institusi pendidikan? Rasa-rasanya tidak. Ijazah ini boleh jadi diciptakan secara kilat begitu saja untuk menunjang karier politisi. Politisi bisa saja dengan mudah mengintimidasi institusi pendidikan untuk mengeluarkan ijazah palsu untuknya. Kalau benar seperti ini, betapa politisi ini tidak berbobot. Mau jadi wakil rakyat kok pakai ijazah palsu. Saya tidak tahu apakah ini benar-benar ada. Kalau ada, benar-benar memalukan. Dan betapa memalukannya jadi rakyat Indonesia yang wakil rakyatnya menggunakan ijazah palsu.

Isu ijazah palsu ini memang sungguh memalukan institusi pendidikan Indonesia. Betapa nama lembaga mulia ini dengan mudahnya saja dikotori isu ini. Atau memang institusi pendidikan Indonesia benar-benar sekotor ini?

Rasa-rasanya tidak. Saya sendiri selalu bangga dengan kampus saya. Meski saya lulus dengan nilai memuaskan dan bukan amat memuaskan, saya bangga dengan kualitas kampus saya. Kualitas yang tampak dari lembaga secara keseluruhan. Baik kualitas dosen, mahasiswa, pengelola, dan juga relasi dengan karyawan. Dengan ini, saya bangga karena kampus saya berkualitas.

Saya kira banyak kampus elit lain di Indonesia yang kualitasnya jauh lebih elit dari kampus saya yang kecil itu. UI dan UGM adalah beberapa dari nama kampus elit dan berkualitas tinggi di Indonesia. Dan, saya yakin kampus-kampus elit ini tidak pernah mengeluarkan ijazah palsu. Saya juga berharap institusi pendidikan mana pun di Indonesia tidak boleh mengeluarkan ijazah palsu. Kalau ada yang meminta entah dengan imbalan uang, tolong jangan dilayani. Betapa rendahnya martabat institusi pendidikan jika ijazah didapat bukan dengan hasil belajar tetapi cukup dibeli dengan uang. Kalau masih ada institusi pendidikan yang dengan mudah menerima tawaran membuat ijazah palsu, betapa nama harum lembaga pendidikan di Indonesia tercoreng gara-gara ulag institusi buruk seperti ini.

Ijazah itu adalah bentuk penghargaan kepada peserta didik. Ijazah itu seperti hasil berasnya para petani, hasil tangkapannya para nelayan, buah-buahannya para petani buah. Betapa puasnya petani padi melihat usahanya berbuah dalam bentuk beras. Demikian dengan nelayan yang puas karena mendapat banyak tangkapan di pagi hari. Menerima ijazah pada akhir proses belajar seperti menerima segepok uang hasil jualan buah-buahan di pasar.

Ijazah meski bisa dibandingkan dengan hasil buah itu, tetap mempunyai nilai penting di baliknya. Ijazah bukanlah uang yang bisa lenyap seketika. Ijazah lebih dari uang. Di Indonesia ijazah itu berlaku seumur hidup. Bahkan, ketika mati pun, ijazah itu menjadi barang berharga dan akan disimpan baik-baik oleh anak cucu. Betapa berharganya ijazah itu.

Karena berharga, ijazah itu tidak boleh dipalsukan. Dan, kalau sampai saat ini Indonesia masih mengenal isu ijazah palsu, betapa Indonesia belum mau memberantas praktik ini. Isu ijazah palsu justru membuat pendidikan Indonesia menjadi tidak berkualitas atau kurang berkualitas. Padahal, di tingkat internasional saat ini, negara-negara lain sudah berlomba meningkatkan kualitas pendidikannya. Dan, sebenarnya institusi pendidikan Indonesia sudah mampu bersaing di kancah internasional. Jadi, kalau isu ini masih beredar, tolong segera diatasi.

Kelak, institusi pendidikan Indonesia tetap bisa diperhitungkan di tingkat nasional dan internasional. Lebih dari sekadar bisa diperhitungkan, dengan hilangnya praktik ijazah palsu, institusi pendidikan mampu menciptakan wajah pendidikan Indonesia yang bermutu. Anak-anak Indonesia kelak selalu menciptakan hal-hal baru berkat kreativitas yang ada. Jadi, segeralah berantas isu ijazah palsu ini.

Salam cinta pendidikan.

PRM, 28/5/15
Gordi

gambar dari internet
Lelucon rupanya bisa menyelamatkan. Meski kadang-kadang lelucon itu menyakitkan. Ini tentu saja lelucon yang dipaksa. Atau, lelucon yang keterlaluan. Di balik lelucon memang mestinya ditunjukkan sisi hiburannya.

Siang ini suasana kelas hening. Seolah-olah tak ada penghuni. Atau, ada penghuni tetapi tak beraktivitas. Hanya bunyi gerak pena dan keyboard laptop. Juga, seorang yang bicara. Suara sang profesor. Para mahasiswa/i-nya pasif. Mereka hanya mendengar. Sesekali bertanya tetapi lebih banyak mendengar. Lebih asyik mendengar ketimbang bertanya.

Suasana ini lama-lama mendominasi. Hening tak beraktivitas. Rasa kantuk pun pelan-pelan datang. Memang kantuk itu menggoda. Banyak yang jatuh dalam godaan ini. Posisi kepala mulai miring. Pertanda, kantuk menghantui. Sesekali sandaran tangan pun jatuh dengan sendirinya. Ah, kurang ajar rasa kantuk ini. Konser semalam bisa jadi biangnya. Bukan mereka yang bernyanyi dan bermain musik tentunya. Ya penonton itu, seperti kami.

Menonton sampai tidur larut malam. Dikira fisik masih kuat, otak masih berfungsi. Rupanya tidak. Fisik perlu tenaga baru. Tenaga baru datang setelah fisik beristirahat. Otak bisa berpikir kalau tidak dibebani. Jika sudah dibebani banyak hal, dia akan mandul. Tak berfungsi. Dan, jika tak berfungsi, maunya ya tidur. Awalnya kantuk lalu jatuh dan tertidur.

Rasa kantuk ini tidak boleh ada. Boleh ada tapi tidak boleh menggoda. Boleh menggoda tapi tidak boleh sampai jatuh. Boleh jatuh tapi harus bangkit lagi. Dan memang kami bangkit dari rasa kantuk ini. Pemeran di baliknya adalah sang profesor. Dia tahu betul keadaan para mahasiswa/i-nya. Sekali dia membuat lelucon, yang kantuk mulai sadar. Buat satu lagi, sebagian besar sudah segar. Untuk ketiga kalinya, semua tertawa. Wah….kelas jadi ramai lagi.

Siang ini jadi saksi. Kaulah penyelamat kami. Kamu memang orangnya. Kamu bukan saja belajar bagaimana mengajar. Kamu juga belajar bagaiamana membangunkan orang dari kemalasannya untuk belajar. Belajar mesti dibuat dalam suasana yang menarik. Tidak boleh dibuat dalam suasana tegang apalagi suasana kantuk. Kantuk tanda orang malas. Mahasiswa/i-kok malas. Tidak. Harus bangkit dan berpikir lagi.

Terima kasih profesor. Kamu memang hobi lelucon. Lelucon yang menyelamatkan kami dari godaan untuk tidur. Boleh lucu asal tahu tempatnya. Lucu seperti ini tidak saja membuat orang tertawa tetapi juga membuat orang segar untuk beraktivitas.

PRM, 6/5/15
Gordi


ilustrasi dari kompas.com, postingan kompasiana
Kemajuan suatu bangsa tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan. Negara-negara maju di Eropa, Amerika, dan Asia menitikberatkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan. Dari sini mereka berkembang ke bidang lainnya. Dari pengetahuanlah, Amerika belajar membuat teknologi canggih. Bangsa-bangsa besar di Eropa seperti Jerman, Italia, Prancis, dan sebagainya, maju karena ilmu pengetahuan. Di Asia ada Jepang, Cina, Korea, Taiwan, Tailand sudah masuk kategori maju. Ilmu pengetahuan-tentu dengan ditopang bidang lain seperti ekonomi, budaya, dan sosial-politik-menjadi tonggak utama dan pertama kemajuan sebuah bangsa.

Tak bisa tidak, bangsa maju manapun harus melewati tahap ini. Jepang sudah melewati tahap ini. Itulah sebabnya Jepang menjadi salah satu bangsa maju di Asia bahkan di dunia, bersaing dengan bangsa maju lainnya di Eropa dan Amerika. Jepang memang tidak main-main dengan pengetahuan. Dalam bidang Filsafat, Jepang sudah menunjukkan buktinya. Filsuf-filsuf Jepang sudah membuktikan bahwa mereka bisa membangun dan mengembangkan ilmu Filsafat khas Jepang. Itulah sebabnya, sahabat saya yang bekerja di Jepang mengatakan, “Jepang belajar filsafat di Eropa, lalu membangun sistem filsafatnya sendiri khas Jepang.”

Kemajuan Jepang rupanya tidak lepas dari kemajuan bangsa lain seperti Eropa. Jepang-dalam hal ini-pandai belajar dari negara lain. Jepang tahu bangsa Eropa sudah maju karena ilmu pengetahuannya, dia pun ingin belajar dari Eropa. Bagi Jepang, ilmu pengetahuan tidak jatuh begitu saja dari langit. Ilmu pengetahuan mesti dicari, dipelajari, dikembangkan. Tidak ada hal baru di atas bumi ini. Semuanya sudah dipelajari, ditelusuri. Maka, kalau mau mendapatkan yang baru, selidikilah seluk-beluk yang sudah ada. Demikian juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Jepang menyelidiki perkembangan ilmu pengetahuan ini di Eropa. Jepang tahu betul, Eropa adalah gudang ilmu pengetahuan. Maka, Jepang mengirim para mahasiswanya ke Eropa. Di Eropa mereka belajar apa saja. Ilmu pengetahuan umum, budaya, sosial, politik, filsafat, teknologi dan cabang lainnya. Para mahasiswa ini belajar dan bertemu para ilmuwan Eropa. Dari para ilmuwan ini, mereka belajar banyak hal. Mereka ingin menjadikan ilmu pengetahuan ini kelak menjadi milik orang Jepang. Mereka rupanya punya keyakinan kuat bahwa Jepang juga bisa seperti Eropa. Jepang memang terbelakang dibanding Eropa tetapi mereka yakin bisa mengejar Eropa. Mereka mencari cara agar mimpi ini tercapai.

Sambil belajar, mereka menemukan caranya. Mereka belajar di Eropa tapi mereka kembali ke Jepang. Di Jepanglah mereka mengembangkan ilmu pengetahuannya. Dalam bidang Filsafat misalnya, mereka belajar dari filsuf-filsuf Eropa seperti Kierkegaard (1813-1855), Heideger (1889-1976), Buber (1878-1975). Mereka belajar karya-karya filsuf Yunani Kuno seperti Sokrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), dan sebagainya.

Untuk mencapai perkembangan ilmu-ilmu modern, rupanya harus belajar dari ilmu-ilmu yang sudah ada sebelumnya. Jepang menerapkan hal ini dalam bidang kesehatan. Mereka mengirim tenaga kesehatan untuk belajar di Eropa lalu kembali ke Jepang dan mengembangkan pengetahuannya. Belajar kesehatan bagi orang Jepang tidak berhenti pada gelar dokter atau perawat. Belajar bagi mereka adalah pekerjaan seumur hidup.

Kata sahabat saya lagi, “Ilmuwan Jepang belajar kedokteran di Jerman, lalu kembali ke Jepang. Di sana mereka mengembangkan ilmu kedokteran dan menemukan jenis-jenis obat khas Jepang.” Ini menarik untuk ditiru. Demikian juga dengan ilmu lain seperti Filsaafat. “Orang Jepang belajar Filsafat di Eropa lalu kembali Jepang dan menemukan Filsafat khas Jepang.” Maka lahirlah nama besar seperti Nishida Kirarò (1870-1945), Tanabe Hajime (1885-1962), dan Nishitani Keiji (1900-1990). Ini hanya beberapa saja. Masih banyak ilmuwan lainnya. Mereka inilah yang berjasa membangun sistem Filsafat khas Jepang.
Mereka belajar dari Eropa, menerjemahkan karya-karya penting dari Eropa lalu mereka membangun sistem filsafatnya sendiri. Begini rupanya Jepang membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuannya.

Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia kiranya perlu menengok sejarah. Soekarno sudah mengirim putra-putra terbaiknya untuk belajar di Eropa dan Amerika. Soekarno rupanya tidak kalah pandai dengan Jepang. Boleh jadi sebelum Jepang, dia sudah menemukan cara ini. Atau juga mungkin sama-sama pandai. Maklum, Soekarno belajar Filsafat dan ilmu pengetahuan lain di Eropa. Sayang, kecerdasan Soekarno tidak didukung oleh anak-anak bangsa. Ilmu pengetahuan dalam hal ini lagi-lagi dikhianati politik. Politiklah yang membuat putra-putra terbaik Indonesia tidak bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya di negara ini. Mereka berjaya di luar negeri sementara Indonesia sendiri terus terbelenggu dengan kemajuannya yang tinggal di tempat.

Terkenang sebuah seminar di STF Driyarkara beberapa tahun lalu. Pembicaranya adalah putra Indonesia sendiri yang bekerja di kota Manchester, Inggris. Dia lebih nyaman bekerja di universitas terkemuka di Inggris ketimbang di Indonesia karena karya-karyanya tidak bisa dikembangkan di Indonesia. Bahasa kasarnya, bangsanya sendiri tidak mendukung karya-karyanya. Kiranya dia tidak sendiri. Banyak ilmuwan Indonesia yang bekerja dan mengajar sampai namanya terkenal di luar negeri termasuk di Jepang dan Eropa. Indonesia rupanya tidak kalah dari Jepang. Indonesia tinggal selangkah lagi. Namun, langkah itu masih sulit jika situasi politik, sosial, ekonomi tidak kunjung kondusif. Kapan Indonesia bisa membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuannya? Saat Indonesia sudah bebas dari belenggu politik, sosial, dan ekonomi yang menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Waktunya belum ditentukan. Jepang sudah menemukan saat-saat terindahnya di abad XIX dan XX. Ayo..Indonesia juga bisa. Majulah anak bangsa, rebut kemajuan dari tangan-tangan pembelenggu.

Salam cinta Indonesia.

PRM, 6/3/2015
Gordi

Powered by Blogger.