Hari ini di Bolivia, Besok di Indonesia
Penduduk asli Pacahuara, Bolivia, FOTO: angriwhitekid.blogs.com |
Kematian sebuah
bahasa mirip dengan kematian manusia. Kadang-kadang, tidak ada yang bisa
diprediksi. Seperti kematian manusia, kematian sebuah bahasa kadang-kadang
menjadi misteri.
Meski menjadi misteri, kematian bahasa sebenarnya masih
bisa diantisipasi. Bahasa—tidak seperti manusia—yang punya dokter khusus. Tidak
juga seperti hewan yang punya tenaga medis untuk mengecek keadaannya. Bahasa
ada karena manusia ada. Maka, bahasa mesti ada dan hidup sebagaimana penuturnya
(manusia) hidup. Dengan cara pandang ini, kematian sebuah bahasa—meski tidak
punya dokter untuk mengontrolnya—tetap bisa diantisipasi. Bahasa tidak mesti
mati begitu saja.
Di Bolivia, ada sebuah bahasa yang hampir mati. Penuturnya
sisa 4 orang. Yang terakhir meninggal akhir tahun lalu. Saat ini, hanya mereka
berempat yang menjadi penutur bahasa langka ini. Bahasa ini disebut Bahasa
Pacahuara karena lahir dan hidup di sebuah suku asli di Pacahuara, di wilayah
Amazzonia, Bolivia. Keempat penutur ini sekarang tinggal di daerah Tujure,
sebuah daerah adat di wilayah Pacahuara.
Dua dari penutur ini sekarang sudah tua. Keduanya (Maro e
Buca)—bersama cucu mereka Bose dan shacu—hadir dalam perayaan misa requiem dari
saudara mereka Baji setelah tahun baru yang lalu. Kematian Baji sekaligus
menjadi alarm bagi kehidupan Bahasa Pacahuara. Saat itu, keempat penutur ini
memang hadir. Mereka menjadi sebuah komunitas pengguna bahasa Pacahuara.
Daerah Tujure sendiri makin hari makin sepi. Banyak
penghuni meninggalkan daerah ini. Keluarga Maro dan Buca adalah keluarga
terakhir yang masih setia tinggal dan menggunakan Bahasa Pacahuara. Boleh
dibilang, harta warisan kultural ini tetap ada dan hidup saat ini karena jasa
mereka. Entah sampai kapan bahasa ini dipertahankan. Kehidupan bahasa ini
berada dalam tangan mereka. Jika mereka semuanya tidak ada, bahasa ini juga
akan lenyap. Tetapi, semoga ada anak-cucu mereka yang melanjutkan bahasa ini.
Sekitar 11 tahun lalu, dosen Bahasa Indonesia kami di kota
Yogyakarta pernah menyinggung soal ini. Kata dia waktu itu, di Indonesia juga
ada gejala seperti ini. Beberapa bahasa di daerah Papua—lanjutnya—akan punah
seiring dengan pengurangan penuturnya. Papua sampai saat ini kaya akan bahasa
daerah. Sayang, beberap dari yang banyak ini memiliki penghuni kurang dari 500
orang. Saat itu—menurut dosen kami—ada kriteria dari Unesco-PBB bahwa bahasa
yang penuturnya hanya 500 orang ke bawah akan dikategorikan sebagai bahasa
mati. Dengan kriteria ini—kata pak dosen—beberapa dari bahasa di Papua akan
punah.
Jika kriteria ini diterapkan pada Bahasa Pacahuara,
otomatis bahasa ini sudah mati. Bolehlah dibilang demikian. Dan, nyatanya
kematian bahasa ini sudah diambang pintu. Memang masih menjadi misteri. Seperti
misteri dari sebuah kematian dari seorang manusia.
Kematian bahasa ini ada di tangan keluarga Ibu Baji. Ibu
Baji sudah meninggal, keempat keluarganya sebagai penutur utama menjadi penentu
utama kehidupan bahasa ini. Keluarga almarhumah Baji termasuk kuat. Mereka
adalah keluarga terakhir—boleh dibilang demikian—yang hidup di daerah Tujure.
Daerah Tujure abad ke-8 yang lalu masih dihuni oleh sekitar
50.000 orang. Saat itu, pekerjaan mereka adalah berburu di hutan, pelaut, dan
petani buah. Ini adalah beberapa pekerjaan utama dari kelompok suku tua di
daerah ini.
Pekerjaan ini mereka tinggalkan dan pengaruhnya mulai
luntur saat tiba kebiasaan baru yakni menjadi petani karet. Daerah ini menjadi
penghasil karet yang besar. Malangnya, para penduduk Tujure pun menjadi tamu di
atas tanah mereka. Perusahaan multinasional dari Inggris dan Jerman datang
menyerbu tanah mereka. Dalam waktu yang singkat, penduduk Tujure pun
meninggalkan daerah mereka.
Perusahaan ini bukan saja ‘mengusir’ penduduk Tujure.
Mereka juga menggali tanah dan membiarkannya menganga tanpa pohon, tampak
tandus tak bertumbuhan, membuat petak-petak kecil untuk menghalang penduduk
asli bekerja di atas lahan itu. Pemandangan ini sungguh tanpa kehidupan. Tanah
yang subur dibiarkan mati. Tidak ada kehidupan di sana. Situasi ini membuat penduduk
Tujure pergi meninggalkan tanah leluhur mereka. Dalam sekejap, dari abad ke-8
ke abad ke-9, penghuninya berkurang menjadi satu keluarga saja dengan 9 anggota
keluarga.
Keluarga ini adalah keluarga Ibu Baji. Saat ini, dari 9
menjadi 4 orang saja. Keluarga ini sebenarnya menjadi penerus atau ahli waris
bukan saja dari Bahasa Pacahuara, tetapi juga budaya dan adat istiadat
Pacahuara. Sayang, seperti nasib bahasa mereka, budaya dan adat istiadat pun
akan hilang. Kematian bahasa kini sekaligus juga menjadi ancaman bahkan menjadi
kematian dari budaya dan adat istiadat itu sendiri.
Bersama bahasa Pacahuara, keberadaan dialek dan bahasa
kecil lainnya di daerah Amazzonia pun akan terancam. Dalam 10 tahun terakhir
ini, sekitar 100 dialek asli Ammazzonia punah. Dialek ini punah bersamaan
dengan terancamnya kehidupan dari suku asli. Mereka ‘terusir’ dari tanah
leluhurnya oleh perusahaan multinasional yang mengeruk kekayaan alam mereka.
Hutan Amazzonia dengan kekayaan emas, batu alam, kayu, dan sumber alam lainnya
menjadi rebutan para perusahaan multinasional. Sayang perebutan ini pun
berujung pada ‘pengusiran warga lokal’.
Makin malang bagi penduduk lokal karena kebijaksaan lokal
juga ikut punah. Selain Bahasa Pacahuara, bahasa Resignaro juga mengalami nasib
sama. Bahasa ini pamit lebih dulu dengan kematian penutur terakhirnya yakni
Rosa Andrade dari Peru. Nasib 51 bahasa lokal lainnya juga akan terancam. Boleh
jadi akan menjadi seperti bahasa Resignaro. Sungguh sayang, bahasa—budaya—adat
istiadat—dan kebijaksaan warisan mereka akan punah. Padahal, ini adalah warisan
sejarah yang berharga.
UNESCO sebagai promotor perlindungan warisan budaya dunia
tidak tinggal diam melihat kenyataan ini. Lembaga ini membuka mata dan membuat
penelitian serius. Hasilnya sungguh mengangetkan. Dalam 10 tahun terakhir, 100
bahasa di dunia punah, 400 lainnya sudah terancam akan punah, 51 lainnya hanya
digunakan atau diketahui oleh 1 orang saja.
UNESCO juga membuat prospek ke depan. Katanya, pada abad
ini (abad ke-21) boleh jadi akan hilang sekitar 7000 dialek di bumi ini atau
sekitar 1 dialek dalam setiap 15 hari. Kenyataan ini menjadi sungguh memilukan
bagi kelangsungan hidup bahasa dan budaya di dunia. Bahasa dan budaya dari
sebuah masyarakat hilang begitu saja. Ini bisa meresahkan bagi pecinta bahasa
di seluruh dunia.
Keresahan ini membuat banyak pecinta bahasa bangun dari
tidur nyenyaknya. Mereka berusaha agar kematian bahasa dan budaya ini tidak
berlangsung cepat. Satu dari pecinta bahasa ini adalah University of Pennsylvania di Amerika Serikat. Universitas ini
melalui lembaga penelitiannya Enduring
Voices berusaha untuk menyelamatkan beberapa kata dari bahasa-bahasa yang
akan punah. Lebih banyak kata akan lebih bagus. Sampai saat ini, mereka sudah
menyelamatkan 32.000 kata beserta maknanya. Jika diteruskan, pekerjaan ini juga
akan menjadi sebuah kesuksesan besar.
Jika University of
Pennsylvania di AS sudah bangun, bagaimana dengan Indonesia? Andai para
pendemo, ramai-ramai ke daerah terpencil dan mengumpulkan kata-kata dari bahasa-bahasa
yang akan punah di Indonesia, sampai kini, bahasa-bahasa itu pun terselamatkan.
Lumayan untuk memperlambat kematian sebuah bahasa. Tetapi, ini hanya
angan-angan sebab para pendemo lebih suka menghabiskan waktunya bukan untuk
bekerja demi bangsa tetapi demi keegoisan mereka. Indonesia memang beda.
Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar,
dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
SELAMAT TAHUN BARU.
PRM, 10/1/2017
Gordi
*Dari publikasi pertama di blog kompasiana
Post a Comment