Benarkah minat baca hanya dimiliki oleh
orang muda? Ataukah hanya milik orang tua? Ataukah otomatis minat itu tetap ada jika sudah eksis
sejak muda?
Minat
baca memang bukan perkara mudah. Banyak orang yang susah memiliki minat baca.
Mungkin karena tidak dibiasakan untuk membaca. Minat baca memang beda dengan
minat sepak bola atau bulu tangkis. Minat baca muncul dari kerja otak. Minat
itu tidak otomatis muncul. Seperti pemain bulu tangkis, minat itu mesti diasah
terus menerus. Namun, minat itu tetap beda dengan minat bermain bulu tangkis.
Minat bermain bulu tangkis boleh dibilang terbatas pada masa tertentu. Jika
sudah tua, pemain seperti Taufik Hidayat atau Alan Budikusuma akan pensiun.
Minat mereka terbatas semasa muda.
Minat
baca tidak demikian. Minat itu tetap ada jika dikembangkan terus menerus.
Sampai tua pun minat itu eksis asalkan pandai merawatnya. Seorang dosen saya di
Jakarta baru-baru ini menyinggung soal ini. Dalam artikelnya di sebuah majalah,
dia mengatakan jika di masa tuanya dia tetap punya harapan seperti anak muda.
Harapan itu muncul dari kegiatan hariannya yakni membaca. Dia menghabiskan
banyak waktunya untuk membuka-buka karya klasik dan modern di dunia Barat dan
Timur. Dia tidak mengajar lagi sehingga punya banyak waktu untuk membaca.
Katanya, dalam karya-karya tersebut rupanya tersimpan banyak kekayaan
intelektual dan ilmu pengetahuan yang bukan saja memperkaya pemahamannya akan
arti hidup, tetapi juga mengandung harapan akan masa depan.
Minat
baca rupanya mempunyai hubungan erat dengan harapan akan masa depan. Maka, masa
depan itu mesti disiapkan sejak masa muda. Sedia payung sebelum hujan, kata
pepatah Indonesia. Payung untuk masa depan dalam hal ini adalah membaca. Dengan
membaca, hujan itu tidak lagi membahayakan melainkan menjadi harapan.
Orang-orang Barat terkenal sebagai pembaca yang handal. Saya kagum pada mereka.
Sejak SMA saya sudah melihat para bule yang rajin membaca. Bagi mereka, semua
tempat dan setiap saat adalah waktu yang terbaik untuk membaca. Jangan heran
jika di balkon hotel, tangan mereka memegang erat buku bacaan. Di pantai sambil
menjemur dengan sehelai pakaian, mata mereka terpusat pada bacaan yang ada di
tangan. Ketika saya dan teman saya bekerja di salah satu hotel internasional di
bilangan Bogor-puncak 7 tahun lalu, saya juga melihat pemandangan ini. Kami
sering melihat mereka membawa buku ke kolam renang. Mereka juga meletakkan
beberapa buku bacaan di samping tempat tidur. Mereka rupanya punya budaya
membaca yang kuat.
Budaya ini tentunya bukan jatuh dari langit.
Budaya
ini sudah ditanam sejak kecil. Boleh dibilang, orang Barat sudah lahir dengan
bakat membaca. Sejak kecil, mereka sudah diperkenalkan dan dijejali dengan
budaya membaca. Saya kaget ketika teman-teman saya orang Italia menceritakan
pada saya bahwa, mereka sudah dilatih untuk membaca karya sastra sejak di
sekolah dasar. Jangan heran jika kelas 5 SD sudah mulai membaca karya Dante
yang terkenal itu. Dante (1265-1321) dikenal
sebagai penulis sastra dan juga sebagai peletak batu pertama Bahasa Italia.
Bahasa Italia sebelum resmi dinamakan demikian hanyalah bahasa pasar.
Maksudnya, bahasa yang digunakan oleh rakyat biasa. Tidak seperti bahasa Latin
yang digunakan sebagai bahasa resmi dalam bidang hukum dan politik. Dante mulai
merintis bahasa pasar ini menjadi sebuah bahasa yang berbobot yang akhirnya
menjadi Bahasa Italia sekarang ini. Karya Dante diteruskan oleh ahli-ahli
berikutnya.
Dante menulis 5 karya terkenal seperti Divina
Commedia, Inferno, Purgatorio, Paradiso, dan Vita Nuova. Anak SD di Italia
sudah mulai membaca karya Dante ini. Dibantu oleh guru sastra, mereka dibimbing
untuk membaca, menafsirkan, dan menikmati indahnya dunia sastra lewat karya
Dante. Tentu tidak mudah, apalagi bagi anak seusia SD dan SMP. Dalam kelas
bahasa Italia, saya dan teman-teman bukan Italia pernah membaca satu halaman
dari karya Dante. Sulitnya bukan main. Bukan saja karena masalah tata bahasanya
tetapi juga cara menafsirnya. Bagi kami sulit sekali. Kesulitan ini kiranya
juga dialami oleh orang Italia sendiri. Tetapi ini tidak jadi alasan untuk
melalaikannya. Tugas sekolah tetap menjadi utama yang dikerjakan.
Dengan ini, para siswa Italia pelan-pelan
terbiasa menghadapi hal yang sulit. Lebih dari yang sulit, mereka dibiasakan
untuk menikmati dunia sastra sejak kecil. Jangan heran jika saat dewasa mereka sudah biasa untuk
membaca. Di Bologna bulan Juli yang lalu,
saya mengikuti kegiatan bersama teman-teman Italia. Kami punya kesempatan
banyak di sela-sela kegiatan itu untuk membaca. Satu dari antara kami bertujuh
yang selalu berkumpul dan membaca setelah makan malam, mampu membaca lebih
kurang 12 buku dalam bulan ini. Satu lagi 5. Satu lagi 7. Saya hanya mampu
membaca 5. Itu pun yang tipis.
Saya yakin sampai tua pun, teman-teman saya
ini akan tetap mempunyai minat baca yang tinggi. Budaya baca itu sudah mendarah
daging dalam diri mereka. Membaca karya yang sulit saja sudah biasa sejak
kecil, apalagi membaca koran harian yang bahasanya mudah dicerna. Italia memang
gemar memupuk budaya ini. Dan budaya ini kiranya patutu diturunkan pada
generasi penerus. Tahun lalu di seluruh Italia ada kampanye untuk mengajak anak
muda membaca. Kampanye ini muncul setelah ada penelitian yang mengatakan bahwa
anak-anak muda di Italia mulai melalaikan budaya membaca. Dalam penelitian itu,
diperkirakan rata-rata penurunan budaya baca berkisar pada angka 10-15% dari
tahun sebelumnya. Ini berarti penurunannya begitu besar. Dan, pemerintah dan
organisasi lain yang berminat pun ramai-ramai berkampanye, mengajak anak muda
meninggalkan sejenak hp dan games mereka untuk membaca. Ajakan ini kiranya
berguna dan akan tampak buahnya pada beberapa saat mendatang. Ini juga menjadi
harapan agar budaya baca ini tetap eksis.
Membaca menjadi jalan untuk mengubah masyarakat. Maka,
membacalah jika Anda ingin berubah.
Sekian
sharing dari seberang.
PRM,
3/9/2015
*ilustrasi/shutterstock
Post a Comment