foto ilustrasi oleh feiranauzder |
Pemandangan memilukan. Jalan ini dijadikan
pasar. Tempat jual beli. Jualan yang dominan adalah kebutuhan rumah tangga.
Sayur-sayuran dan buah-buahan segar. Sore itu, sekitar pukul 4. Sayur dan
buah-buahan itu terlihat segar. Boleh jadi karena kena air hujan sehingga tidak
layu dan kering. Sebagian masih tergeletak di atas aspal. Sebagian lagi, ada di
atas tenda.
Para pemiliknya terlihat huru-hara. Antara
menyelamatkan diri dari air hujan atau menyelamatkan jualannya dari arus air.
Kalau mau lebih berharga, boleh jadi mereka menyelamatkan diri dulu. Kena air
hujan berarti siap sakit. Sakit berarti membutuhkan obat. Ini pengeluaran yang
cukup besar.
Sebaliknya, menyelamatkan jualan berarti
siap diguyur hujan dan basah. Kalau jualan dibawa air, apalagi yang diharapkan?
Jualan itu menjadi sumber pemasukan mereka. Mereka menjual untuk mencari
nafkah. Pertanyaannya adalah mengapa mereka mencari nafkah di tempat ini? Ini
kan jalan dan bukan pasar. Siapa yang memperhatikan mereka?
Indonesia identik dengan kesemrawutan.
Jakarta sebagai ibu kota negara saja sudah semrawut lalu lintas dan
pemukimannya. Kesemrawutan ini rupanya menjalar ke luar kota. Pemandangan di
jalanan di Bogor ini menjadi cerminan kesemrawutan itu. Kalau ada bangunan
pasar yang layak, para penjual ini bisa menikmati teduhan yang layak saat hujan
seperti ini. dan, lalu lintas menjadi lancar. Mereka tak perlu lagi menjual di
jalan.
Boleh jadi ada bangunan pasar. Sebab,
hampir di tiap kota di Indonesia mempunyai pasar daerah. Bisa jadi kejadian
sore ini mencerminkan membeludaknya penjual di pasar resmi. Kalau demikian,
animo masyarakat menjadi penjual tinggi. Bisa jadi profesi itu saja yang
berhasil mereka raih. Namun, tak mudah membuat rekaan seperti ini. Bisa jadi
masalahnya kompleks. Kadang-kadang keinginan untuk cepat laku membuat penjual
mencari jalan pintas. Apakah menjual di jalan merupakan jalan pintas?
Bisa jadi di jalan ada banyak pembeli
sehingga cepat laku. Namun, cara yang menguntungkan penjual ini merugikan pengguna
jalan.
@@@@@
Kondisi serupa juga terjadi malam hari.
Jalan Surya Kencana, pukul 10 malam. Sebagian jalan digunakan oleh penjual
sayur-sayuran. Jualan ini tidak untuk dijual malam ini. Meskipun ada juga yang
melakukan transaksi jual-beli kecil-kecilan. Sebagian jualan itu masih
terbungkus rapi dalam karung. Hanya sebagian kecil yang sudah dibuka dan
digelar di atas aspal. Pemiliknya berselimutkan kain tebal duduk di samping
jualannya. Malam ini, Bogor memang amat dingin.
Boleh jadi, jualan ini baru dijual esok
pagi. Sayuran segar biasanya didapatkan ketika pagi-pagi ke pasar. Lebih segar
lagi, kalau sayur itu baru saja diambil dari semaiannya pagi itu juga. Namun,
di Bogor rupanya agak sulit. Sebab, lahan sayur ada di kawasan puncak. Bisa
jadi, sayur-sayur yang diletakkan di jalan ini baru saja didatangkan dari
kawasan puncak. Di manakah mereka menjual sayur-sayur itu?
Boleh jadi, sayur itu dijual di jalan ini
juga. Penjualnya tak mau repot memindahkan lagi jualannya yang cukup banyak.
Kalau saja ada tempat yang aman, mengapa para penjual ini menurunkan jualannya
di jalan seperti ini? Mereka memang kelihatan nekat. Menjual di jalan. Namun,
terlalu dini untuk menilai kenekatan ini semata-mata salah mereka. Bisa
jadi, di sini saja mereka dapat menjual dagannganya dengan laris. Posisinya
strategis untuk pembeli. Pengguna jalan bisa langsung membeli dari mobil. Jalan
itu memang tidak ditutup semuanya. Sebagian masih bisa digunakan untuk mobil
searah. Sebagiannya untuk pasar. Namun, tetap saja kondisi ini merugikan
pengguna jalan. Beginilah nasib jalan dan kondisi pasar di kota hujan.
Cempaka Putih, 11/11/2011
Gordi Afri
*Dimuat
di blog kompasiana pada 12/11/11
Post a Comment