Halloween party ideas 2015

foto oleh temanggung.com
Kadang-kadang kita pesimis dengan orang cacat. Cacat fisik, cacat pikiran, dan cacat yang lain. Nada pesimis muncul pertama-tama karena ada perasaan atau sangkaan, dia berbeda dengan saya. Melihat orang buta, kita akan berprasangka, ahh saya lebih baik dari dia. Dia tidak bisa melihat. Melihat orang tuli, kita berprasangka, ahh saya lebih baik dari dia. Dia tidak bisa mendengar. Dan ketika melihat cacat yang lainnya. Sebenarnya kita manusia mempunyai cacat masing-masing.

Saya pernah mendengar istilah cacat pusaka. Cacat ini biasanya melekat kuat dalam diri kita. Bentuknya berbeda-beda namun selalu menyangkut kebiasaan kita. Cacat ini sebenarnya bisa disembuhkan. Namun, ada juga yang sama sekali tetap menjadi pusaka kita.

Saya teringat seorang teman sekolah saya waktu SMA. Dia selalu menggertakkan tangannya di meja sebelum berbicara. Amat gaduh di kelas kalau dia menjawab pertanyaan atau bertanya pada guru. Selalu ada bunyi ketukan-meja sebelum suaranya didengarkan.

Ada teman yang berkomentar itu cacat pusakanya. Komentar ini ditanggapi bermacam-macam, pro dan kontra. Lalu yang kontra membuat solusi singkat. Mereka memegang tangan teman itu tiap kali dia mau bicara. Mula-mula dia agak kesal. Mau bicara tetapi tidak bisa menggertakkan tangannya. Dengan paksa akhirnya suaranya keluar juga. Lama-lama kebiasaannya ini hilang. Dia berbicara dengan tenang tanpa ada ketukan-meja yang terdengar lagi. Singkatnya, cacat pusakanya hilang. Kelompok kontra tadi senang karena mereka bisa membuktikan pendapat mereka.

@@@@@@

Orang cacat tak kalah jauh dengan orang tidak cacat. Mereka membuktikan ini dengan menyanyi. Saya kagum melihat sekelompok orang cacat (tunanetra = orang buta) menyanyi dan bermain musik. Dituntun oleh pemandu, mereka naik ke panggung dalam acara Natal bersama anak-anak panti di Panti Vinsensius Kramat-Jakarta Pusat 25/12/2011 yang lalu.

Semua peserta terdiam saat dua orang tunanetra menyanyi beriringan. Yang lainnya, memetik gitar, memainkan tuts piano, dan memukul dram. Semuanya kompak. Telinga mereka sudah terlatih untuk mendengar suara yang lain sehingga musiknya selalu pas. Tak ada yang fals. Bisa saja mereka sudah berlatih sebelumnya. Namun, acungan jempol tetap diberikan sebagai pendorong semangat. Saat peserta lain meminta satu lagu lagi, dengan sigap pemandunya memberitahu semua pemain musik tentang judul lagu. Lalu, pemain piano mengawali dengan iringan pembuka.

Acara yang digagas oleh kelompok Sant Egidio ini dihadiri sekitar 800-an lebih anak-anak panti di daerah Jakarta dan sekitarnya. Semua anak duduk di meja yang sudah diberi kode khusus. Setiap panti dipersilakan mementaskan acaranya masing-masing.

Orang cacat memang mempunyai talenta. Sama seperti orang tidak cacat. Talenta ini hendaknya diasah di panti, tempat mereka dibina. Saya pernah tinggal bersama teman-teman tunadaksa (cacat tubuh) dan tunagrahita (cacat pikiran, idiot). Dalam keseharian, mereka dibiasakan untuk mengerjakan satu aktivitas tertentu. Ada yang bisa menjahit, menyanyi, menyulam, dan sebagainya. Ada juga yang bisa diajak bicara dengan logika yang bisa dimengerti. Jangan menyepelekan orang cacat. Mereka manusia yang punya bakat seperti kita. Belajar dari penyanyi tunanetra yang ‘manggung’ di Panti Vinsensius pada hari Natal tahun 2011.

Kalau mereka yang terbatas secara fisik saja bisa mempersembahkan sesuatu untuk orang lain, bagaimana dengan kita yang masuk dala kategori ‘normal’? sebaiknya kita lebih dari mereka. Tidak mudah memang. Langkah pertama adalah mengenali jati diri kita. Melihat kemampuan dan bakat kita. Itulah yang kita kembangkan di kemudian hari sehingga tidak kalah dengan penyanyi tunanetra itu. Banyak penderita ‘tuna-tuna’ itu yang berhasil dalam ebrbagai bidang, bagaimana dnegan kita? Sudah siapkah kita?

CPR, 3/1/2012
Gordi Afri

Post a Comment

Powered by Blogger.