foto oleh temanggung.com |
Saya pernah mendengar istilah cacat
pusaka. Cacat ini biasanya melekat kuat dalam diri kita. Bentuknya berbeda-beda
namun selalu menyangkut kebiasaan kita. Cacat ini sebenarnya bisa disembuhkan.
Namun, ada juga yang sama sekali tetap menjadi pusaka kita.
Saya teringat seorang teman sekolah saya
waktu SMA. Dia selalu menggertakkan tangannya di meja sebelum berbicara. Amat
gaduh di kelas kalau dia menjawab pertanyaan atau bertanya pada guru. Selalu
ada bunyi ketukan-meja sebelum suaranya didengarkan.
Ada teman yang berkomentar itu cacat
pusakanya. Komentar ini ditanggapi bermacam-macam, pro dan kontra. Lalu yang
kontra membuat solusi singkat. Mereka memegang tangan teman itu tiap kali dia
mau bicara. Mula-mula dia agak kesal. Mau bicara tetapi tidak bisa
menggertakkan tangannya. Dengan paksa akhirnya suaranya keluar juga. Lama-lama
kebiasaannya ini hilang. Dia berbicara dengan tenang tanpa ada ketukan-meja
yang terdengar lagi. Singkatnya, cacat pusakanya hilang. Kelompok kontra tadi
senang karena mereka bisa membuktikan pendapat mereka.
@@@@@@
Orang cacat tak kalah jauh dengan orang
tidak cacat. Mereka membuktikan ini dengan menyanyi. Saya kagum melihat
sekelompok orang cacat (tunanetra = orang buta) menyanyi dan bermain musik.
Dituntun oleh pemandu, mereka naik ke panggung dalam acara Natal bersama
anak-anak panti di Panti Vinsensius Kramat-Jakarta Pusat 25/12/2011 yang lalu.
Semua peserta terdiam saat dua orang
tunanetra menyanyi beriringan. Yang lainnya, memetik gitar, memainkan tuts
piano, dan memukul dram. Semuanya kompak. Telinga mereka sudah terlatih untuk
mendengar suara yang lain sehingga musiknya selalu pas. Tak ada yang fals. Bisa
saja mereka sudah berlatih sebelumnya. Namun, acungan jempol tetap diberikan
sebagai pendorong semangat. Saat peserta lain meminta satu lagu lagi, dengan
sigap pemandunya memberitahu semua pemain musik tentang judul lagu. Lalu,
pemain piano mengawali dengan iringan pembuka.
Acara yang digagas oleh kelompok Sant
Egidio ini dihadiri sekitar 800-an lebih anak-anak panti di daerah Jakarta dan
sekitarnya. Semua anak duduk di meja yang sudah diberi kode khusus. Setiap
panti dipersilakan mementaskan acaranya masing-masing.
Orang cacat memang mempunyai talenta. Sama
seperti orang tidak cacat. Talenta ini hendaknya diasah di panti, tempat mereka
dibina. Saya pernah tinggal bersama teman-teman tunadaksa (cacat tubuh) dan
tunagrahita (cacat pikiran, idiot). Dalam keseharian, mereka dibiasakan untuk
mengerjakan satu aktivitas tertentu. Ada yang bisa menjahit, menyanyi,
menyulam, dan sebagainya. Ada juga yang bisa diajak bicara dengan logika yang
bisa dimengerti. Jangan menyepelekan orang cacat. Mereka manusia yang punya
bakat seperti kita. Belajar dari penyanyi tunanetra yang ‘manggung’ di Panti
Vinsensius pada hari Natal tahun 2011.
Kalau mereka yang terbatas secara fisik
saja bisa mempersembahkan sesuatu untuk orang lain, bagaimana dengan kita yang
masuk dala kategori ‘normal’? sebaiknya kita lebih dari mereka. Tidak mudah
memang. Langkah pertama adalah mengenali jati diri kita. Melihat kemampuan dan
bakat kita. Itulah yang kita kembangkan di kemudian hari sehingga tidak kalah
dengan penyanyi tunanetra itu. Banyak penderita ‘tuna-tuna’ itu yang berhasil
dalam ebrbagai bidang, bagaimana dnegan kita? Sudah siapkah kita?
CPR, 3/1/2012
Gordi Afri
*Dimuat di blog kompasiana pada4/1/12
Post a Comment