FOTO, 21cineplex.com |
Selain
agama, perselisihan lain yang sering muncul adalah perbedaan budaya. Sudah
banyak cerita pertengkaran antara dua budaya berbeda di Indonesia. Ambil contoh
tentang perantau Madura di Kalimantan. Juga contoh lain yang sering terdengar.
Betapa perbedaan ini tidak dikelola dengan baik oleh Indonesia yang kaya
perbedaan ini. Padahal, jika dikelola dengan baik Indonesia menjadi rumah
bersama. Rumah yang menaungi perbedaan.
Menuju
Indonesia sebagai rumah bersama memang tidak mudah. Mesti melewati sejarah
panjang dan menuai korban juga konflik tak berakhir. Apa pun alasannya inilah
kondisi yang mesti dilewati Indonesia. Dan, Indonesia sebenarnya sudah dan
sedang melewati kondisi-kondisi ini. Indonesia dalam sejarahnya mengalami
kondisi sulit ini. Meski berkali-kali mengalaminya, Indonesia rupanya belum mau
mengakhirinya. Indonesia masih bergeliat menyelsaikan konflik seperti ini. Kita
berharap, Indonesia mau dan mampu melewati dan mengakhiri konflik perbedaan
seperti ini. Indonesia mesti optimis dan jangan pesimis mencapainya.
Rasa
optimis inilah yang juga menjadi gambaran dalam film Tabularasa (2014). Kami
menonton film ini pada Minggu, 10 Mei yang lalu di kota Milan, Italia. Bersama
rombongan dari Parma, kami berangkat siang hari. Di sana kami bertemu
teman-teman Indonesia lainnya yang datang dari kota sekitar seperti Milan,
Reggio Emilia, Ferrara, Rimini, dan sebagainya. Bagi kami, film ini menarik.
Apalagi, menampilkan keanekaragaman Indonesia di hadapan orang asing, Italia.
Film ini mau mengatakan pada mereka bahwa Indonesia itu kaya dengan tradisi
budaya dan agama. Indonesia mau melestarikan ini. Pelestarian ini jauh
melampaui konflik perbedaan yang ada. Di film itu memang dikisahkan perbedaan
itu. Perbedaan yang membuat konflik. Namun, pada akhirnya mereka bisa bersatu
membangun kehidupan bersama.
Film
ini seolah-olah mau menyindir Indonesia. Betapa tidak, sampai saat ini
Indonesia belum mampu mengatasi konflik agamanya. Indonesia yang besar malah
kalah dengan kelompok yang menggunakan agama sebagai senjata untuk menguasai
yang lain. Agama mana pun kiranya mendambakan perdamaian bukan saja bagi
pemeluknya tetapi bagi orang lain juga. Namun, masih ada kelompok tertentu yang
katanya demi agama rela menguasai bahkan merusak hubungan dengan yang lain. Ini
tentu saja bukan demi agama. Kalau pun dia ngotot menjual ayat-ayat sucinya,
itu hanya bohong belaka. Dia sebenarnya tidak tahu agamanya.
Dari
agama, film ini juga mau menyindir Indonesia yang seolah-olah tak berkuasa
melampaui perbedaan budayanya. Dalam sejarahnya, Indonesia diwarnai konflik
budaya. Dan konflik ini memakan korban. Nyawa manusia melayang gara-gara
perbedaan budaya. Akhir-akhir ini memang konflik budaya seperti ini makin
pudar. Semoga, tidak ada lagi. Kalau pun ada semoga tidak banyak.
Indonesia—kalau
dibangun dengan baik—seperti makanan khas Padang. Makanan di RM Padang diracik
dengan berbagai bumbu. Bukan saja menu gulai ikan kakap seperti diceritakan
dalam film Tabularasa. Ada banyak menu lainnya. Ini berarti diracik dengan
banyak bumbu. Banyak bumbu banyak rasa. Indonesia mestinya seperti menu makan
Padang ini. Bumbunya sudah ada yakni pluralitas agama dan budaya. Tinggal saja
meraciknya dengan baik, Indonesia nantinya dicintai dan diminati banyak orang
seperti menu masakan Padang yang dicintai rakyat Indonesia.
Indonesia
yang diimpikan adalah Indonesia seperti keluarga Mak dalam Tabularasa. Keluarga
yang dibangun dari pluralitas. Mak, orang Padang. Hans, orang Papua. Orang
Padang biasanya beragama Muslim. Orang Papua biasanya beragama Kristiani.
Perbedaan ini tidak dihilangkan. Perbedaan ini jadi modal untuk membangun
keluarga yang harmonis. Dan memang—dalam film—dikisahkan keharmonisan keluarga
ini. Tentu setelah melewati konflik antara mereka.
Apa
yang dilakukan Mak adalah contoh nyata bagi warga Indonesia. Membantu dengan
penuh cinta. Ingat relawan di setiap bencana alam di Indonesia. Tidak pernah
membantu berdasarkan kelompok agama dan budaya. Meski, oleh kelompok usil
tertentu, selalu menciptakan suasana keruh. Mereka menggiring opini publik
untuk menolak bantuan dari agama lain. Padahal, dalam bencana, misinya adalah
membantu, dan bukan mencari warga seagama. Mak, melampaui perbedaan ini.
Mak—kiranya
tahu—yang dia bantu adalah bukan orang Muslim. Tetapi, dia tetap mau membantu.
Bahkan, sekalipun pembantunya, Natsir dan Parmanto, menentang sikapnya. Bagi
Mak, Hans membutuhkan pertolongan. Dan, Mak memberikan pertolongan. Memberi
makan dan mengajaknya untuk bekerja di rumahnya.
Mak
juga melampaui sekat budayanya. Dia orang Minang dan Hans orang Papua. Dua
budaya berbeda namun mewakili Indonesia Barat dan Timur. Mak seolah-olah
mengatakan pada penonton bahwa Mak yang orang Indonesia Barat ini mau membantu
orang Indonesia Timur. Mak tidak membantu hanya orang Indonesia Barat dan orang
Minang saja. Ingatkah ini wahai para pembenci kelompok relawan gempa? Membantu
jangan dengan persyaratan. Membantu mesti disertai sikap totalitas.
Saya
puas dan bangga menonton film ini. Demikian juga teman-teman Indonesia yang
lainnya. Film ini juga mau mewartakan pada dunia khususnya kota Milan bahwa
Indonesia bisa hidup damai di tengah perbedaan yang ada. Kota Milan juga
diwarnai perbedaan ini. Penduduknya datang dari berbagai negara, budaya, dan
agama yang berbeda. Jika Milan tidak hati-hati, konflik antara warganya sulit
tercegah. Dan, dalam hal ini Milan mestinya belajar dari Indonesia. Indonesia
yang mereka lihat dalam film ini. Dan, tentu saja jika Milan kaya dengan
makanan khas Italianya, Indonesia juga punya masakan enak dengan menu-menunya.
Terima
kasih Tabularasa.
PRM,
18/5/15
Gordi
Post a Comment