foto, shutterstock |
Itulah pemandangan yang saya
rekam tadi pagi. Usianya lebih dari 80 tahun. Selalu duduk di kursi roda.
Makan, ngobrol, menonton TV, selalu di atas kursi roda. Hanya saat tidur saja,
tidak di atas kursi roda. Dia mesti dibantu untuk turun dari kursi roda. Perawat
membantunya sesaat sebelum dia tidur.
Dia tak bisa bicara tetapi mau
menyapa. Ya, itulah ironisnya hidup. Dia seakan-akan mengatakan, jangan biarkan
diri Anda larut dalam ketakberdayaan. Jika larut dalam ketakberdayaan, hidup
Anda makin tak bernilai. Memang sahabat saya ini tidak membiarkan dirinya
terlarut dalam ketakberdayaan. Dia selalu tersenyum begitu ada yang bertatap
dengannya. Saya selalu memerhatikan ini ketika mendekatinya. Seperti juga tadi
pagi, ketika saya menjumpainya. Dengan tangannya dia mengganggu saya. Gangguan
yang membangunkan saya dari kecuekan saya.
Dia tak mampu bicara tetapi mau
menyapa. Saya yang bisa bicara ini malah terlambat memerhatikannya. Dari dalam
dirinya muncul keingingan yang kuat untuk berbicara. Sayang fisiknya tak
memungkinkan. Hanya sebatas mengeluarkan suara tanpa kata-kata yang jelas.
Tapi, dalam keadaan demikian dia tetap tersenyum. Menyapa dengan senyuman.
Sesekali tertawa ketika ada yang membuat lelucon. Dia mengerti apa yang sedang
dikatakan.
Tingkahnya ini seakan-akan juga
menegur mereka yang enggan bertegur sapa. Dengan keterbatasan fisik, dia masih
bisa menegur sesama. Keterbatasan fisik memang bisa menjadi hambatan, namun,
ini tidak berlaku baginya. Dia tetap bisa melampaui keterbatasannya ini.
Berarti orang yang tidak mampu menyapa pun sebenarnya masih bisa menyapa. Asal
ada kemauan dari dalam hatinya.
Ah, tulisan ini sampai di sini
saja. Sekadar bertegur sapa untuk teman-teman saya. Salam saling tegur sapa ya
buat para pembaca sekalian.
PRM, 20/2/2015
Gordi
Post a Comment