FOTO, di sini |
Kesalahan seorang pemimpin politik selalu jadi makanan empuk lawan
politiknya. Itulah sebabnya kesalahan kecil pun akan jadi heboh. Jangankan kesalahan,
yang tidak salah pun kadang jadi alasan untuk menyalahkan. Soal salah dan benar
memang jadi perkara sengit dalam persaingan politik.
Jokowi menyebut
Blitar sebagai kota kelahiran Soekarno. Entah dia menyebut itu, dengan maksud tertentu,
atau memang dia menyebut berdasarkan yang tertulis dalam teks. Yang jelas,
sebutan itu salah sebab menurut beberapa sumber Surabayalah kota kelahirannya.
Boleh saja Jokowi berdalih, dia hanya membaca saja teks itu. Apalagi jika tidak
dikoreksi. Jadi, dia hanya membaca. Jokowi akan berdalih, wong dia hanya
membaca kok. Membaca apa yang tertulis, itu tidak salah. Memang jika demikian,
Jokowi sama sekali tidak salah.
Tetapi tetap saja ada yang menilai Jokowi salah, Jokowi keliru, bahkan
Jokowi tidak tahu sejarah. Yang lain bilang Jokowi tidak paham sejarah, Jokowi
tidak kenal baik Soekarno. Pokoknya banyak komentar ditujukan pada Jokowi.
Kesalahan ini memang mau tak mau mengundang kritik pedas banyak orang.
Kesalahan yang diucapkan Jokowi seperti senjata empuk bagi lawan politiknya.
Bahkan, bukan saja untuk Jokowi, tuduhan untuk tim atau orang yang menyusun
pidato juga ada. Ada yang mengancam pecat saja penyusun pidato itu.
Kedengarannya keras sekali. Karena keras, sampai-sampai tidak bisa lagi
melihat masalahnya. Sebenarnya semudah itukah menyalahkan sang presiden?
Semudah itukah memecat penyusun pidato sang presiden? Semudah itukah memecat
seorang pekerja yang bekerja untuk pemimpin negara?
Dalam politik, hal
sepele pun bisa jadi rumit. Karena rumit, hal yang mendasar pun sulit terlihat. Karena yang rumit dalam politik bisa jadi sepele dan yang sepele bisa jadi
rumit. Sebenarnya ucapan Jokowi tidak serumit yang dipikirkan banyak orang.
Gampang saja masalahnya. Kekeliruan itu, tidak sepedas kritikan penulis di
media maya. Pengritik di dunia maya dengan enteng menyebut Jokowi tidak tahu
sejarah, lalu mengecam penyusun pidato. Semudah itukah memecat penyusun pidato
presiden? Semudah itukah mengkritik pemimpin negara?
Kalau Jokowi keliru,
ya tinggal dimaafkan. Siapa pun bisa keliru. Dan kalau keliru tinggal perbaiki
saja. Masalahnya selesai. Tidak perlu mengkritik sana-sini. Mencari kesalahan
sana-sini. Bahkan berkomentar di media. Ini namanya membesar-besarkan masalah.
Masalah kecil kok diperbesar. Masalah sepele kok diperumit. Pemimpin mana yang
tidak keliru?
Kalau Jokowi keliru,
apakah Anda tidak tergerak untuk mengatakan Jokowi keliru ketimbang banyak
komentar, banyak kecam untuk Jokowi. Bukan membela Jokowi. Jokowi tentu saja
keliru. Tapi, tidak perlu bereaksi yang berlebihan untuk kekeliruan Jokowi.
Jadilah pengamat dan bukan penilai. Pengamat akan tetap diam selama dia melaksanakan
tugasnya dalam mengamati. Sedangkan penilai akan dengan mudah memberi nilai
SALAH atau BENAR. Pengamat dengan mudah memperbaiki letak kesalahan setelah
tugas pengamatannya selesai. Beda dengan penilai yang memang ditugaskan untuk
menunjukkan letak kesalahan saat menjalankan tugas.
Jika Anda pernah
salah, Jokowi juga demikian, bisa salah. Jika Anda pernah keliru, Jokowi juga
demikian, pernah keliru. Salah seperti juga keliru tidak bisa dihilangkan.
Hanya bisa dikurangi. Jika Anda ingin kurangi salah, segeralah mencari
kesalahannya dan segera memperbaikinya. Maka, perbaikilah kekeliruan Jokowi,
dengan cara Anda sendiri. Jika Anda mengecam Jokowi dan penyusun pidatonya,
Anda tidak sedang memperbaiki kekeliruan Jokowi, tetapi membuat kekeliruan itu
menjadi tambah keliru. Maka, Anda keliru jika Anda mengkritik kekeliruan
Jokowi. Wong kekeliruan itu lumrah.
Jika Anda berdalig,
Jokowi pemimpin negara, tidak boleh salah atau keliru. Itu juga kiranya sebuah
kekeliruan. Peran Anda sebagai rakyat atau pengkritik dan Jokowi sebagai
pemimpin negara pada titik ini tidaklah beda. Anda keliru, Jokowi juga bisa
keliru. Bahkan, saya juga yang menulis artikel ini bisa keliru. Tapi, saya rasa
saya tidak keliru menulis artikel ini. Saya tahu Jokowi keliru, saya sadar saya
juga bisa keliru. Tapi, saya tidak mengutuk bahkan mengecam Jokowi karena
kekeliruannya. Lebih baik saya mengatakan, ah saya juga bisa keliru, tinggal
diperbaiki saja. Gampang saja. Lala, kenapa saya harus merepotkan para
pengkritik Jokowi? Bukan mereka
berhak mengecam Jokowi dengan komentar pedas?
Tentu saja. Tapi, saya juga berhak untuk mengatakan, lebih baik memperbaiki
yang salah dan keliru, daripada mengkiritk orang yang salah dan keliru.
Salam damai
PRM, 5/6/2015
Post a Comment