ilustrasi di sini |
Meski suka sepi,
manusia sebetulnya suka ramai. Suka masuk dalam kerumunan, masuk diskotek,
masuk lapangan sepak bola, masuk pertunjukkan konser dan sebagainya. Manusia
adalah bagian dari keramaian. Dan tampaknya keramaian ini mendominasi hidup
manusia. Manusia sulit menyediakan waktu luangnya untuk menyepi. Maunya ikut
retret, menyepi, tapi selalu tenggelam dalam kesibukan.
Soekarno adalah
tokoh bangsa ini yang pastut dicontoh. Dalam dirinya merenung menjadi kegiatan
yang bermanfaat. Bukan sekadar merenung tetapi memperoleh hasil dari merenung.
Lima sila yang dikenal sebagai pancasila merupakan kelanjutan dari hasil
renungan Soekarno di bawah pohon Sukun di kota Ende-Flores, NTT. Merenung
baginya menjadi kesempatan untuk menemukan inspirasi.
Selain membawa
manfaat, merenung juga sering diidentikkan dengan tindakan bodoh dan gila.
Manusia sering menyindir para perenung sebagai orang gila. Gila, kamu merenung
melulu. Demikian komentar beberapa pengritik. Pengritik ini sebenarnya tidak
tahu apa arti merenung. Mereka menyamakan merenung dengan menghayal, nglamun.
Menghayal memang bisa dipandang sebagai tindakan bodoh. Tidak menghasilkan
apa-apa. Tetapi dalam sindiran bodoh ini, penghayal justru menemukan dirinya
jauh dari kebodohan. Dia menciptakan kisah dalam novel justru bermula dari
tindakan menghayal. Jadi, menghayal itu tidak selamanya dan tidak melulu
tindakan bodoh. Sebagian orang mungkin ya tetapi sebagian lagi tidak.
Jika menghayal
saja bukan melulu tindakan bodoh, merenung juga tidak bisa disamakan dengan
tindakan bodoh. Merenung tampaknya bodoh. Tak bersuara, bisu, tak bertindak,
diam. Dan memang itulah esensi dari merenung. Merenung menjadi saat-saat intim
bersama pikiran. Dalam keintiman ini ada gerak pikiran. Pikiran bekerja keras
dan menghasilkan sesuatu yang maksimal dalam kesunyian, keheningan, kediaman.
Tak jarang memang merenung dikaitkan dengan tindakan diam, bisu, termenung, tak
bergerak, dan sebagainya.
Gambaran ini
adalah gambaran orang bodoh, tak berpendirian. Memang merenung adalah tindakan
bodoh. Karena bodoh, orang menghindarinya. Namun, dari kebodohan itu lahirlah
ide cerdik, pintar, dan segar. Perenung tidak identik dengan orang bodoh.
Perenung yang dipandang bodoh justru menjadi tokoh visioner dan pintar. Dan
memang untuk mencapai ide yang bernas, seseorang mesti merenung. Ide menarik
tidak muncul begitu saja. Ide itu datang melalui situasi sunyi, diam, tak bergerak.
Melalui tindakan merenung.
Itulah yang
dibuat Soekarno, presiden pertama bangsa ini sekaligus proklamator. Diamnya
Soekarno adalah diamnya orang pintar. Diamnya orang pintar adalah diam
merenung. Dalam merenung dia menemukan ide cemerlang.
Kala manusia tak
lagi mau merenung, hidup terasa dangkal. Mau yang mudah dan instan. Pikiran pun
sulit diajak memikirkan yang dalam. Suka berpikir yang dangkal. Susah berpikir
yang dalam. Lantas muncul ide yang dangkal, tidak mendalam, menyentuh permukaan
saja. Debat publik pun menjadi hambar, jauh dari kedalaman aspirasi rakyat.
Baik kalau manusia kembali ke asalnya sebagai makhluk pecinta sunyi, makhluk
perenung.
Salam merenung.
PA, 5/6/13
Gordi
Post a Comment