Halloween party ideas 2015

ilustrasi, di sini
Semua kompasianer ingin menulis. Menulis, bagi kompasianer adalah eksistensi. Keberadaannya sebagai anggota blog keroyokan menjadi nyata ketika dia menulis. Maka, menulis mesti menjadi kesehariannya. Selain menulis tentu dia juga membaca. Membaca dan menulis juga menjadi keseharian kompasianer. Kalau boleh mengubah kata-kata Descartes, kompasianer menulis maka kompasianer ada.

Meski demikian, ada juga kompasianer yang ada di sini untuk membaca saja. Tidak menulis. Entahkah dia suatu saat akan menulis. Untuk sementara dia hanya membaca dan memberi komentar saja. Tentu ini tidak bisa disimpulkan bahwa dia menjadi kompasianer hanya untuk membaca. Dia menjadi kompasianer pembaca saja. Padahal kompasianer yang lain adalah penulis. Kiranya, semua setuju, suatu saat, kompasianer pembaca ini akan menjadi kompasianer penulis.

Membaca dan menulis memang ibarat dua sejoli. Menulis ada karena membaca, membaca ada karena menulis. Tidak mungkin bisa menulis kalau sebelumnya tidak membaca. Membaca apa saja. Demikian juga tidak bisa membaca tanpa didahului menulis. Membaca mesti mutlak ada bacaan. Dan bacaan itu adalah tulisan. Maka, membaca dan menulis selalu berjalan beriringan.

Karena eksistensi kompasianer adalah menulis, setiap hari selalu ada tulisan yang ditayang. Bahkan, setiap 2 menit selalu ada tulisan. Tulisan ini muncul dari anggota kompasianer. Jumlahnya bertambah setiap hari maka tulisan yang masuk juga akan bertambah. Kompasianer memang ada untuk menulis. Meski demikian, tidak semua kompasianer bisa menulis setiap hari. Ada yang sekali seminggu, sebulan, atau tak tentu. Menulis karena ada ide, begitu beberapa di antara mereka menyebut hal ini. Ada juga penulis produktif yang setiap hari bisa menghasilkan lebih dari satu tulisan.

Antara kompasianer ada simbisosi mutualisme. Dalam arti, sesama kompasianer saling belajar. Belajar dari tulisan A, B, dan C. Dari situ akan ada tulisan lagi. Maka, menjadi kompasianer juga berarti menjalin relasi simbiosis mutualisme.

Kiranya, tidak perlu cemas  atau resah, jika kompasianer A tidak bisa menulis seperti kompasianer B. Toh keduanya unik. Tak perlu sama. Dan memang tidak harus sama. Keresahan dalam menulis muncul karena antar-kompasianer ada kecenderungan untuk membanding. Kalau dia bisa mengapa saya tidak bisa. Padahal saya tidak sama dengan dia. Dia kok bisa saya tidak bisa-bisa. Padahal sesama kompasianer.

Kecemasan yang membuat beberapa kompasianer tidak bisa menulis kiranya bisa diubah menjadi kegembiraan. Gembira karena suatu saat dia bisa menulis. Kecemasan tidak akan tinggal selamanya. Kecemasan itu akan menjadi kegembiraan pada suatu saat. Maka, bergembiralah yang cemas dalam menargetkan tulisan di kompaiana ini.

Keyakinan akan perubahan—dari cemas ke gembira—kiranya diakui kompasianer. Sebab, dengan sering membaca, kompasianer akan bisa memahami tulisan. Memahami sesuatu menjadi awal untuk menulis. Menulis sesuai dengan pemahaman. Jika paham soal masalah budaya tulislah itu. Paham soal internet tulislah itu. Maka, tidak ada kata cemas untuk menulis. Dunia tulisan itu luas. Dan, peluang untuk ke sana ada di kompasiana ini. Di sini, ada simbioasi mutualisme. Kamu menulis saya membaca, saya menulis kamu membaca. Kamu menulis, saya menulis. Kamu membaca saya juga membaca.

PA, 10/6/13
Gordi




Post a Comment

Powered by Blogger.