gambar di sini |
Beberapa waktu lalu saya mengalami hal ini. Sampai sekarang saya
masih mengenang dan mengingat peristiwa itu. Lima belas menit sebelum kramat
djati berangkat, saya dan seorang bapak duduk di dalam bis.
Teman-teman penumpang lain mendahului kami dalam bis. Kursi yang tersisa pas
buat kami berdua. Kami mulai menyapa dan memperkenalkan diri. Saya seorang
mahasiswa dan dia seorang wiraswasta, katakanlah demikian. Dia bekerja sebagai
penghubung antara pengrajin barang antik dari wilayah Jawa Timur dan para
penjual di Bali. Pembicaraan kami berkisar seputar profesi masing-masing. Saya
yang muda ini mulai bertanya tentang pekerjaan yang digelutinya. Dari
kata-katanya tersirat makna mendalam tentang nilai kehidupan. Dia mengatakan,
“Hidup ini membutuhkan perjuangan sekuat tenaga. Terkadang harapan kita tidak
menjadi kenyataan. Di sinilah peran kita untuk selalu berjuang dalam
menjalankan pekerjaan macam apa pun.”
Saya amat tersentuh dengan kata-kata ini. Menjadi manusia memang
harus berjuang. Manusia yang tidak berjuang adalah manusia yang mudah jatuh
dalam dunia putus asa. Perjuangan seperti apakah yang bapak ini geluti? Saya
menanyakan perihal barang antik yang dia sebut. Barang-barang itu adalah lemari
dengan berbagai model, kursi, meja, asbak, dan sebagainya. Barang antik itu
ialah barang biasa yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampak begitu
indah. Antik yang bapak sebutkan tadi adalah indah sehingga muncul istilah
barang antik.
Giliran saya menjawab pertanyaan. Dia heran ketika saya
mengatakan, “Saya dari pulau bunga dan sedang mencari ilmu (kuliah) di
Jakarta.”
“Jauh amat dik.”
“Ya, begitulah pak….”
Dia tambah heran mendengar jurusan yang saya ambil, Filsafat. Dia
sama sekali belum begitu akrab dengan istilah Filsafat. Ternyata masih ada
masyarakat yang belum mengenal istilah ini. Dia berpesan supaya saya belajar
dengan baik dan berusaha untuk berhasil. Pesan ini disampaikan karena dia
melihat realitas yang ada di sekitar tempat ia hidup. “Sekarang ini banyak
penganggur. Mendapatkan pekerjaan sangat sulit. Banyak sarjana menjadi
penganggur. Jangan sampai adik menjadi penganggur setelah selesai belajar
Filsafat.”
Saya paham dan setuju dengan pendapat bapak. Banyak penganggur di
negeri ini. Sorotan tajam kaum tua kepada kaum muda yang diwakili oleh para
sarjana adalah masalah mencari dan mendapatkan pekerjaan. Dia tentu kecewa jika
kaum muda yang nota bene berpendidikan, menempuh pendidikan
hingga perguruan tinggi, tidak mendapat pekerjaan. Padahal generasi
seangkatannya mendapat pekerjaan tanpa melalui pendidikan yang tinggi. Menurut
hemat saya masalah ini bisa diselesaikan. Perlu kacamata yang tajam dan
seimbang untuk melihat persoalan semacam ini. Perbedaan pendapat (atau mungkin
penilaian) tentang pekerjaan perlu dijembatani dengan dialog yang hidup. Dua
catatan yang menurut hemat saya amat membantu melihat persoalan seperti ini.
Pertama, tidak salah kaum
tua mengatakan demikian. Tetapi, alasannya tidak melulu pada pendidikan. Alasan
berpendidikan formal atau tidak bukan menjadi alasan dasar untuk membangun
argumen. Kaum muda yang tamat SMA pun bisa mendapat pekerjaan yang layak dalam
masyarakat. Saya kira persoalan utama adalah kemauan untuk bekerja. Banyak
orang berpendidikan yang tidak mau bekerja di luar bidang keahliannya. Padahal
tidak semua jurusan yang diambil memiliki lapangan kerja yang memadai. Kondisi
ini seharusnya menumbuhkan semangat kaum muda untuk menciptakan lapangan kerja
baru yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.
Kedua, ketiadaan
lapangan kerja seharusnya menyadarkan orang untuk belajar berkreativitas dan
meraba semua jenis pekerjaan. Orang yang kreatif bisa bekerja di sektor mana
pun. Modalnya adalah kemauan untuk bekerja. Jangan terus mengharapkan untuk
bekerja di bidang yang dikuasai, di bidang yang sesuai dengan jurusan di
perguruan tinggi. Ada orang yang berhasil bukan karena ahli dalam
bidangnya tetapi karena mau bekerja dalam bidang yang ditawarkan kepadanya.
Kreativitas dalam bekerja muncul jika orang setia bergelut dengan pekerjaannya.
Keahlian muncul setelah bergelut dalam jenis pekerjaan tertentu. Maka, jangan
menganggap diri ahli karena telah menamatkan studi dalam bidang tertentu.
Berhasil dalam studi tidak sepenuhnya membuat seorang sarjana menjadi ahli.
Gelar sarjana yang didapatkan menjadi langkah awal untuk terjun dalam dunia
lapangan kerja. Di situlah dia akan mendapat keahliannya. Seperti seorang yang
terpelajar atau doktor belum bisa dikatakan ahli kalau dia belum mengajar atau
membuat penelitian. Pergumulannya dalam dua bentuk kegiatan ini menentukan dan
membuat dia menjadi ahli dalam bidang yang digelutinya. Petani tidak menjadi
ahli kalau dia belum turun ke sawah, membasahi jari tangannya dengan air dan
lumpur.
Pembicaraan kami sudah terlalu lama. Bis yang kami tumpangi
mendekati bibir dermaga Gilimanuk. Kami pun keluar menikmati suasana baru di
luar bis. Penyeberangan dengan kapal feri berlangsung selama
45 menit. Ketika masuk kembali dalam bis di pelabuhan Ketapang, Surabaya, saya
mulai kantuk. Bapak itu ingin mlanjutkan perbincangan. Saya mengajukan satu
pertanyaan kepadanya,
“Tiba jam berapa di Situbondo pak?”
“Dua jam lagi.”
Dia mengambil nasi bungkusnya ketika mata saya mulai redup. Saya
tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Saya terlelap di alam peraduan tanpa
mimpi. Saya capek apalagi siangnya tidak istirahat. Sepanjang sore hari kami
berdiskusi. Tubuh saya begitu lelah. Saya kaget ketika sadar dan tidak melihat
bapak itu lagi. Saya tidak bisa berdiskusi lagi dengannya. Padahal masih banyak
bahan yang bisa disikusikan. Teman di samping kanan saya menyampaikan pesan
bapak itu ketika dia mau turun tadi, “Bapak bilang selamat menempuh perjalanan
selanjutnya, semoga tiba dengan selamat di tempat tujuan.” Ini pesan terakhir
darinya yang tidak langsung saya dengar karena tertidur. Terima kasih pak,
selamat jalan juga…….. Perjumpaan sesaat yang berharga buat saya. Hidup ini memang
selalu membutuhkan perjuangan. Tiap hari harus diisi dengan perjuangan, apa pun
bentuknya………
Jakarta, 4 September 2010
Gordi Afri
Post a Comment