gambar dari adeegusti.wordpress.com |
Malam sunyi, sepi, saya sendirian. Saya asyik dan kusyuk membaca beberapa artikel ilmiah dan beberapa tulisan dari buku kuliah. Ya, malam ini malam persiapan untuk ujian yang tinggal beberapa hari lagi. Suasana demikian tentu mendukung kegiatan saya ini. Saya pun tidak menyia-nyiakannya. Kata orang waktu terus berlalu dan tidak akan kembali lagi. Beberapa bacaan sudah saya baca, pahami, dan cermati isinya. Beberapa lagi belum. Idealnya, saya harus menyelesaikan semuanya. Artikel dan tulisan yang disediakan di atas meja adalah jatah saya hari ini. Sebab, besok dan seterusnya saya mempunyai jatah baru, yang lain dari hari ini. Lebih kurang ada setengah dari jatah yang ada belum saya baca. Saya yakin malam ini pun target saya tercapai. Situasi sunyi ini mendukung target saya ini.
Tidak lama berselang, situasi berubah. Sepi menjadi berisik. Ada apa??? Di luar sedang hujan. Agak aneh, bukannya kalau hujan jalan raya sepi. Sepeda motor dan kendaraan be-roda tiga alias bajaj, tidak ber-lalu-lalang di jalan raya. Rupanya berlawanan. Masih banyak kendaraan roda dua dan tiga berlalu lalang di jalan raya. Suasana menjadi tambah ribut, berisik, dan kurang mendukung untuk membaca. Saya menutup gorden jendela kamar saya dengan harapan suara-suara yang tidak diinginkan itu hilang dari pendengaranku. Hanya bisa hilang sebagian. Sebagiannya masih tertangkap oleh indra pendengaran saya. Oh....pekanya telinga ini mendengar bunyi-bunyi ini. Telinga memang unik, mendengar suara yang baik dan kurang baik. Prinsip kerjanya hanya satu yakni "Mendengar". Tambah gaduh lagi dengan suara hujan disertai angin, getaran guntur, dan sambaran kilat. O....malam penuh kegaduhan. Posisi tempat saya belajar cukup strategis untuk mendengar suara-suara seperti ini. Tak ada penghalang antara jalan raya dan jendela kamar makanya suara dari jalan raya langsung menembus kebisuan malam di kamar saya. Lagi-lagi pekanya telinga ini mendengar semua itu.
Saat saya duduk, saya mendengar dan memperhatikan dengan serius rintikan hujan yang jatuh tepat di atas genteng atap kamar saya. Juga, bunyi percikan air yang sempat merembes di dinding kaca kamar. Saya bayangkan bagaimana tetesan air ini akan berkumpul hingga membentuk aliran air yang mengalir ke mana ia mau. Yang jelas alirannya dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Aliran demi aliran membentuk aliran yang lebih besar dan dahsyat. Aliran seperti ini kadang mengegerkan warga Jakarta yang sering kebanjiran. Saya pun tak luput dari amukan banjir tiga tahun lalu. Namun, aliran dahsyat seperti ini juga yang dimanfaatkan para petani. Aliran air ini yang mengairi sawah pak tani. Petani yang konon dikenal sebagai profesi paling mulia di negeri ini. Dari tangan merekalah para penduduk negeri ini hidup. Tangan merekalah yang merawat hingga butiran beras menjadi nasi di meja makan sebagian besar penduduk negeri ini. Namun, sekarang ini nasib petani rupanya luput dari perhatian orang penting di negeri ini. Padahal mereka tetap menghasilkan makan utama dari sebagian besar penduduk negeri ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya hanya Tuhan yang tahu. Dilema............antara dua kepentingan...Hujan untuk kepentingan para petani dan warga yang sering kebanjiran.
Hujan malam ini-paling tidak dalam pikiran saya-membawa akibat yang berlawanan sesuai konteksnya. Saya berangkat dari goresan saya ketika merefleksikan situasi ini. "Hujan deras mengguyur kota Jakarta malam ini. Pembawa baik atau buruk? Bagi oranng Jakarta mungkin buruk karena takut datang banjir. Bagi para petani pembawa baik. Hujan memberi kehidupan bagi benih-benih di ladang, menumbuhkan tunas baru, dan menyirami tanah tempat benih-benih itu tumbuh. Tuhan memang menurunkan hujan bagi semua orang di atas muka bumi ini." Tampak dua konteks yang berbeda. Orang Jakarta tidak menginginkan hujan karena akan merusak kedamaian malam ini. Banjir itu kadang mengusik hati warga Jakarta dan memorakporandakan sebagian besar harta mereka. Para petani (sebagian besar di luar Jakarta) mendambakan hujan untuk mendukung pekerjaan mereka. Betapa tidak, hujan yang adalah pupuk alami bagi tanah sudah didambakan jauh-jauh hari oleh petani. Hujan bagi mereka adalah pembawa berkat. Tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membeli pupuk buatan. Pupuk alami alias hujan diperoleh secara gratis dan cuma-cuma namun digunakan dengan sbaik mungkin. Para petani, jangan menyia-nyiakan hujan yang turun malam ini. Tanamlah sebanyak-banyaknya benih di ladang. Warga yang takut kebanjiran bersiaplah menyelamatkan diri dan orang lain ketika banjir itu datang.
Gordy Afri midnight 1/6/10
Tidak lama berselang, situasi berubah. Sepi menjadi berisik. Ada apa??? Di luar sedang hujan. Agak aneh, bukannya kalau hujan jalan raya sepi. Sepeda motor dan kendaraan be-roda tiga alias bajaj, tidak ber-lalu-lalang di jalan raya. Rupanya berlawanan. Masih banyak kendaraan roda dua dan tiga berlalu lalang di jalan raya. Suasana menjadi tambah ribut, berisik, dan kurang mendukung untuk membaca. Saya menutup gorden jendela kamar saya dengan harapan suara-suara yang tidak diinginkan itu hilang dari pendengaranku. Hanya bisa hilang sebagian. Sebagiannya masih tertangkap oleh indra pendengaran saya. Oh....pekanya telinga ini mendengar bunyi-bunyi ini. Telinga memang unik, mendengar suara yang baik dan kurang baik. Prinsip kerjanya hanya satu yakni "Mendengar". Tambah gaduh lagi dengan suara hujan disertai angin, getaran guntur, dan sambaran kilat. O....malam penuh kegaduhan. Posisi tempat saya belajar cukup strategis untuk mendengar suara-suara seperti ini. Tak ada penghalang antara jalan raya dan jendela kamar makanya suara dari jalan raya langsung menembus kebisuan malam di kamar saya. Lagi-lagi pekanya telinga ini mendengar semua itu.
Saya berhenti sejenak, menanggalkan artikel dan tulisan di atas meja. Otak membutuhkan waktu sejenak untuk memasok energi. Sebab, isi tulisan dan artikel yang saya baca super berat meski menarik buat saya. Itulah pekerjaan mahasiswa. Menaklukkan yang berat sebisa mungkin sehingga menembus ketakterjangkauan yang selalu dihadapi. Ke-takterjangkau-an antara mahasiswa/i dan dosen dalam bidang ilmu pengetahuan dan ke-takterjangkau-an antara pembaca dan penulis buku/artikel/majalah.
Saat saya duduk, saya mendengar dan memperhatikan dengan serius rintikan hujan yang jatuh tepat di atas genteng atap kamar saya. Juga, bunyi percikan air yang sempat merembes di dinding kaca kamar. Saya bayangkan bagaimana tetesan air ini akan berkumpul hingga membentuk aliran air yang mengalir ke mana ia mau. Yang jelas alirannya dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Aliran demi aliran membentuk aliran yang lebih besar dan dahsyat. Aliran seperti ini kadang mengegerkan warga Jakarta yang sering kebanjiran. Saya pun tak luput dari amukan banjir tiga tahun lalu. Namun, aliran dahsyat seperti ini juga yang dimanfaatkan para petani. Aliran air ini yang mengairi sawah pak tani. Petani yang konon dikenal sebagai profesi paling mulia di negeri ini. Dari tangan merekalah para penduduk negeri ini hidup. Tangan merekalah yang merawat hingga butiran beras menjadi nasi di meja makan sebagian besar penduduk negeri ini. Namun, sekarang ini nasib petani rupanya luput dari perhatian orang penting di negeri ini. Padahal mereka tetap menghasilkan makan utama dari sebagian besar penduduk negeri ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya hanya Tuhan yang tahu. Dilema............antara dua kepentingan...Hujan untuk kepentingan para petani dan warga yang sering kebanjiran.
Hujan malam ini-paling tidak dalam pikiran saya-membawa akibat yang berlawanan sesuai konteksnya. Saya berangkat dari goresan saya ketika merefleksikan situasi ini. "Hujan deras mengguyur kota Jakarta malam ini. Pembawa baik atau buruk? Bagi oranng Jakarta mungkin buruk karena takut datang banjir. Bagi para petani pembawa baik. Hujan memberi kehidupan bagi benih-benih di ladang, menumbuhkan tunas baru, dan menyirami tanah tempat benih-benih itu tumbuh. Tuhan memang menurunkan hujan bagi semua orang di atas muka bumi ini." Tampak dua konteks yang berbeda. Orang Jakarta tidak menginginkan hujan karena akan merusak kedamaian malam ini. Banjir itu kadang mengusik hati warga Jakarta dan memorakporandakan sebagian besar harta mereka. Para petani (sebagian besar di luar Jakarta) mendambakan hujan untuk mendukung pekerjaan mereka. Betapa tidak, hujan yang adalah pupuk alami bagi tanah sudah didambakan jauh-jauh hari oleh petani. Hujan bagi mereka adalah pembawa berkat. Tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membeli pupuk buatan. Pupuk alami alias hujan diperoleh secara gratis dan cuma-cuma namun digunakan dengan sbaik mungkin. Para petani, jangan menyia-nyiakan hujan yang turun malam ini. Tanamlah sebanyak-banyaknya benih di ladang. Warga yang takut kebanjiran bersiaplah menyelamatkan diri dan orang lain ketika banjir itu datang.
Ah.....lamunan ini membawa saya jauh di seberang sana. Saya kembali ke tempat belajar. Saya kaget halaman tulisan dan artikel yang saya pelajari masih awal-awal. Belum maju, pertanda saya lama menjauhkan diri dari artikel ini. Tengah malam begini seharusnya sudah maju ke halaman belakang....hingga mendekati garis finish. Tulisan dan artikel ini harus harus saya baca malam ini juga. Saya sudah lama menghabiskan waktu untuk memikirkan (meski dalam bentuk melamun tentang hujan) hujan yang mengguyur tengah malam begini. Peristiwa ini sebenarnya tidak saya inginkan. Apa boleh buat, mau tidak mau, saya harus tunduk pada situasi. Hanya karena jenuh saya berhenti sejenak dan inilah yang terjadi. Kembalilah...kepada tugas utama seorang mahasiswa, belajar..... Dan jangan lupa berdoa mensyukuri semua anugerah Tuhan malam ini {kesempatan untuk belajar dan merefleksikan sejenak tentang hujan} Ora et Labora......
Gordy Afri midnight 1/6/10
Post a Comment