Bolehkah
bersukaria dalam penderitaan? Bukan saja, boleh-boleh saja. Tetapi, jika
demikian adanya harus bersukaria. Bersukaria di sini tidak berarti tidak
melupakan atau tidak menghargai mereka yang menderita. Penderitaan tetap ada
dan perlu dihargai tetapi tidak larut dalam penderitaan.
Saya
membayangkan anak-anak yang kehilangan orang tua dalam gempa beberapa waktu di
beberapa wilayah. Aceh, Mentawai, dan Malang. Meski di Mentawai dan Malang,
belum diketahui berapa korban manusia. Di Aceh sudah jelas ada korban manusia.
Semoga di dua tempat lainnya tidak ada korban.
Kehilangan
orang tua atau sanak saudara memang merupakan penderitaan berat. Salah satu di
antara sekian penderitaan hidup yang dialami manusia. Mereka ini akan
kehilangan orientasi hidup. Tidak jelas dan tidak tentu ke mana mereka akan
melangkah. Tidak ada kasih sayang dan pelukan sang Ibu, sang Bapa, Kakak, Adik,
atau bahkan Kakek-Nenek. Singkatnya keluarga tercinta.
Kasih
sayang amat diperlukan oleh seorang anak manusia. Dengan itu, ia akan
berkembang dengan baik. Masa kecilnya akan bahagia. Itu sebabnya anak-anak
korban gempa yang menjadi yatim piatu misalnya bisa dibawa ke panti asuhan.
Atau, kalau ada keluarga yang berbaik hati, dibawa ke rumah untuk selanjutnya
dibesarkan. Di situ mereka akan mendapat kasih sayang pengganti yang meskipun
tentu tidak sebanding dengan kasih sayang dari keluarga kandungnya. Tetapi apa
pun situasinya mereka mesti mendapat kasih sayang itu.
Anak-anak
jangan dibiarkan larut dalam penderitaan. Memang kehilangan orang tua dan sanak
saudara sulit dilupakan. Tetapi, sedapat mungkin anak-anak korban gempa itu
dihibur untuk melupakan sejenak peristiwa kehilangan. Dan juga untuk
menghilangkan trauma. Dengan ini anak-anak boleh bergembira, bersukaria dalam
penderitaa. Tujuannya untuk menghilangkan trauma akan penderitaan.
CPR, 9/7/13
Gordi
Gordi
Post a Comment