Halloween party ideas 2015

 OMK MEMBACA ALKITAB


Banyak yang miris dengan relasi kaum muda Katolik dengan Kitab Suci. Kemirisan ini muncul setelah sepintas melihat gaya anak muda zaman ini. Mereka tidak menghiraukan buku sebagai sumber ilmu. Ini berimbas juga pada Kitab Suci sebagai buku iman.

Penilaian miris ini tidak sepenuhnya benar. Ada juga anak muda yang bahkan lebih rajin dari kelompok dewasa. Mereka dengan caranya membaca dan merenungkan Kitab Suci. Miris memang menjadi momok sesaat yang disematkan begitu saja pada kaum muda oleh kaum dewasa. Padahal, jika saja ada keterbukaan antara dua kaum, rasa miris ini boleh jadi bisa berubah menjadi sebuah energi baru.

Energi itu memang ada dan nyata. Banyak anak muda membaca Kitab Suci dengan model zaman ini. Di hp mereka terpasang beberapa aplikasi doa dan renungan harian. Demikian juga di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan bahkan di status WhatsApp. Ini menandakan bahwa kaum muda juga akrab dengan Kitab Suci.



Cara ini tentu baru. Beda dengan cara tradisional sebelumnya yakni membaca di buku. Buku manual kini mulai tergantikan dengan buku elektronik dan berbagai aplikasi digital lainnya. Jadi, kalau dilihat, sebenarnya bukan soal lebih dekat atau tidak dengan Kitab Suci tetapi cara membaca Kitab Suci. Kalau kaum tua masih tinggal dalam cara tradisionalnya tentu saja tidak bisa diterima begitu saja cara modern a la anak muda. Tetapi kalau kaum tua mau sedikit saja menyelami kehidupan anak muda, boleh jadi mereka akan bergembira karena anak-anak mereka juga dekat dengan Kitab Suci.

Anak-anak muda di Paroki St Paulus Pekanbaru juga demikian. Dengan jelas, hampir semuanya mengatakan, saya mempunyai aplikasi e-katolik di hp. Aplikasi ini berisi kumpulan doa, bacaan harian dan renungan, riwayat santo-santa, dan berbagai ajaran iman Katolik lainnya. 



Pengalaman mereka ini kiranya amat cocok dengan tema Bulan Kitab Suci Nasional 2017: KABAR GEMBIRA DI TENGAH GAYA HIDUP MODERN. Tema ini masih dibagi dalam 4 sub-tema yang akan direnungkan selama 4 minggu dalam bulan khusus ini. Subtema pertama yakni Kemajuan Teknologi demi Kemuliaan Allah. Orang Muda Katolik St Paulus merenungkan subtema ini pada Jumat, 7 September yang lalu. Bagian pertama ini amat dekat dengan kehidupan mereka. 

Mereka termasuk generasi Z atau iGen atau juga Post-Millennials dalam kategori Penulis dan Sejarawan dari Chicago, Amerika William Strauss (1947-2007) dan koleganya, Sejarawan dan Konsultan Amerika Neil Howe (1965). Yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang lahir antara 1995-2010. Generasi ini mempunyai satu ciri khas yakni dekat dengan dunia internet. Maka, generasi ini pun mempunyai nama lain yakni generasi internet.


Generasi inilah yang menjadi mayoritas di OMK St Paulus saat ini. Dalam sharing Jumat malam itu, ada yang dengan jelas mengatakan, saya lahir di masa internet sehingga otomatis dunia internet menjadi dunia harian saya. Dunia internet hadir melalui perangkat hp, komputer, TV, dan perangkat lainnya.

Berangkat dari pengalaman ini, OMK pun berkomitmen untuk menggunakan media modern ini sebagai sarana memuliakan Allah. Ini kiranya menjadi perhatian bukan saja dari OMK tetapi juga dari keluarga dan lingkungan hidup mereka. Keluarga sendiri akan lebih baik jika berpegang pada nilai Kristiani. Nilai itu bisa didapat termasuk dengan menggali kekayaan spiritual dari Kitab Suci.

Malam ini, kisah itu diperdengarkan juga kepada OMK yakni Kisah Menara Babel (Kejadian 11:1-9). Dalam kisah ini, amat jelas tersirat pesan berharga. Manusia tidak akan sampai pada Allah jika ia berangkat dengan kesombongannya. Raja-raja dan warga Babilonia pada kisah itu ingin mencapai Allah dengan mendirikan Menara Babel. Namun, Allah rupanya memorak-porandakan rencana mereka dengan mengacaubalaukan bahasa mereka. Bahasa yang menjadi alat komunikasi terpenting rupanya menjatuhkan mereka dari ambisi nafsu sesaat itu.



Kisah ini ingin mengingatkan kita juga, kaum Kristiani, untuk bijak menggunakan sarana komunikasi. Yang terpenting adalah selalu tahu membedakan sarana dan tujuan. Semua alat komunikasi itu menjadi sarana, dan bukan tujuan. Tujuan sebenarnya adalah memuliakan Allah dan memanusiakan manusia. Tujuan ini kiranya bisa tercapai dengan merenungkan dan mempertanyakan selalu kehidupan harian kita. 

Ajakan seorang Pastor Antonio Spadario, Jesuit Italia ini kiranya bisa direnungkan. Pastor Spadario yang menulis banyak buku tentang media komunikasi ini mengatakan, yang menjadi masalah saat ini adalah Bukan bagaimana saya menggunakan media komunikasi, TETAPI bagaimana saya hidup dengan media komunikasi. (Spadario, Quando la fede si fa sociale, EMI 2015) Hal pertama kiranya penting tetapi tidak cukup. Bisa saja saya menggunakan dengan baik tetapi kadang berlawanan dengan kehidupan nyata. Hal kedua kiranya konkret karena menyentuh kehidupan di dunia nyata, dan bukan di dunia media komunikasi saja.

Saatnya kita semua hidup dalam dunia media komunikasi. Bukan medianya yang berubah tetapi cara hidup kita-lah yang berubah. 
Sampai jumpa di pertemuan kedua.

BM, 11/09/2017
Gordi SX

DUA PERTANYAAN DARI MUARA FAJAR



Kata orang, lebih baik ada daripada tidak sama sekali. Maksudnya, meski sedikit, asalkan ada sesuatu, itu jadi lumayan.

Yang sedikit itulah yang kami temukan di Muara Fajar hari ini. Dari sekian banyak umat yang hadir di gereja, hanya ada 2 yang berani bertanya. Meski sedikit, pertanyaan mereka berbobot. Itulah sebabnya, boleh disimpulkan, lebih baik ada dan sedikit daripada tidak sama sekali.

Durasi waktu animasi memang sedikit. Kami gunakan beberapa menit sebelum misa. Sekitar 30 menit, dari awal presentasi sampai pada tanya jawab. Tidak perlu lebih dari sini, biar ada semangat dan bisa memahami presentasi dan pengalaman kami.


Dari presentasi kami, muncul pertanyaan tadi: apa beda Diakon dan Pastor, bisakah menjadi calon pastor tanpa melalui sekolah seminari. Dua pertanyaan menarik yang patut diberi jawaban yang pas.

Pertanyaan ini menggambarkan keingintahuan umat Muara Fajar pada kegiatan animasi ini. Pertanyaan serupa memang sudah kami jumpai sebelumnya di beberapa stasi. Muncul kembali seperti ini bisa menjadi gambaran bahwa umat memang ingin tahu tentang perbedaan ini. Boleh jadi pemahaman mereka amat sedikit tentang bidang pengetahuan ini.

Pastor Pancani SX memberi jawaban teologis yang amat bagus. Untuk lebih bisa dimengerti, saya menambahkan dengan jawaban yang bersifat teknis: Diakon adalah satu tahap sebelum menjadi Pastor. Dengan kata lain—sambung saya—semua Pastor pernah menjadi Diakon. Sedangkan, tidak semua Diakon bisa menjadi Pastor. Ada Diakon yang hanya menjadi diakon saja, tanpa melanjutkan ke jenjang tahbisan Imam. Tetapi, di Indonesia pada umumnya semua Diakon akan menjadi Pastor.


Pertanyaan ini berkaitan dengan proses pendidikan calon Pastor. Dan, persis muncul dalam pertanyaan kedua juga. Memang, untuk menjadi pastor biasanya mesti melalui sekolah khusus calon pastor yakni Seminari. Ada yang kecil (SMP), menengah (SMA), tinggi (Universitas). Tetapi, tanpa melalui tahap pendidikan ini pun, seorang masih bisa jadi calon Pastor. 

Ada yang setelah tamat SMA atau bahkan setelah lulus kuliah atau juga dari dunia kerja, baru masuk seminari. Intinya, dari mana pun asal sekolahnya, asalkan mau dibentuk seperti siswa seminari, dia akan bisa menempuh pendidikan calon Pastor.

Maka, asal ada yang mau dan berminat, tanpa masuk seminari pun, umat Muara Fajar bisa mengajak anak-anaknya untuk menanggapi panggilan khusus ini. Seminari sebagai tempat bisa dihadirkan dalam keluarga Kristiani. Gereja Katolik selalu menekankan bahwa, keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama dalam membina kehidupan anak-anak. Saat keluarga Kristiani menerapkan pola dan maksud Gereja ini, saat itulah keluarga itu akan menjadi seminari bagi anggota keluarganya.


Muara Fajar akan mekar seperti mentari pagi. Di Muara ini, presentasi kami mesti berakhir. Dengan harapan, Fajar panggilan itu akan segera terbit. Baik Muara maupun Fajar muncul hari ini atas kerja sama yang baik dari Pastor Pancani SX beserta tim animasi: Fika, Clara, Ira, Delfi, dan Rini, Bang Idin (nahkoda perjalanan) dan keluarga yang baik dari Stasi Muara Fajar.

Jayalah selalu Muara Fajar. Dari dua kiranya menjadi banyak. Banyak bertanya, banyak tahu. Banyak tahu, banyak mengerti. Banyak mengerti banyak memahami. Setelah paham, ajaklah anak-anak kalian menanggapi panggilan khusus ini. Amin

BM, 10/09/2017
Gordi SX

IMAN YANG HAUS



Iman rupanya bisa membuat seseorang menjadi haus. Haus akan pengetahuan. Ibarat rusa di padang rumput, seseorang akan mencari dan terus mencari sumber kepuasan dahaganya. Iman dengan demikian amat dekat dengan pengetahuan. Boleh jadi, iman dan pengetahuan akan selalu berjalan bersama.

Memang, iman dan pengetahuan akan selalu berjalan bersama. Penegasan ini dicetuskan juga oleh Agustinus (354-430), Filsuf dan Teolog kondang dari Tagaste, Afrika. Agustinus mengibaratkan iman dengan ‘percaya’ dan pengetahuan dengan ‘pengertian’. Maka, kata Agustinus: Saya mengerti untuk percaya, dan saya percaya untuk mengerti. Dalam Bahasa Latin, ekspresi ini berbunyi Credo ut intelligam, intelligo ut credam. Dengan demikian—tutur Agustinus—iman dan pengetahuan akan saling melengkapi.


Karena saling lengkap, iman pun mesti diseimbangkan dengan pengetahuan. Jika tidak seimbang, keduanya akan sangat berbahaya. Bisa jadi orang akan menjadi konservatif. Atau juga, orang menjadi ekslusif, percaya buta, percaya tanpa dasar, dan sebagainya. Agustinus pun dengan tegas mengatakan hanya mereka yang mempunyai iman, bisa percaya sepenuhnya. Sebaliknya, siapa yang hanya mempunyai iman saja (tanpa pengetahuan-red), tidak akan bisa percaya sepenuhnya. Dengan kata lain, iman perlu dilengkapai dengan pengetahuan. Iman tanpa pengetahuan belum lengkap. Demikian juga, pengetahuan tanpa iman.

Iman dan pengetahuan inilah yang kami temukan dalam animasi ke-13 di Stasi Petapahan. Di sini, di dalam gedung Gereja Katolik St Thomas, iman dan pengetahuan itu dilengkapi. Diskusi dan tanya jawab adalah sarana yang digunakan untuk melengkapi kedua hal ini.


Sebelum sampai pada bagian ini, tim animasi dari Paroki St Paulus Pekanbaru, memaparkan sedikit latar belakang kegiatan animasi. Penjelasan ini akan dilengkapi cerita pengalaman panggilan saya pada babak kedua. Kedua seri ini pun dilengkapi dengan bagian ketiga berupa tanya jawab dan diskusi.

Dari berbagai pertanyaan yang muncul, bisa disimpulkan bahwa umat di Stasi ini amat haus pengetahuan. Boleh jadi terlalu sulit untuk menilai kadar iman mereka, tetapi pengetahuan iman mereka bisa diukur.  

Boleh jadi Santo Agustinus akan merasa senang dengan diskusi kami sore ini. Kami memang sedang melengkapi iman kami dengan pengetahuan. Maka, segala pertanyaan yang berkaitan dengan iman pun diajukan. Dari hal-hal sederhana sampai pada hal yang sulit.

Mulai dengan pertanyaan seputar panggilan hidup: apa perbedaan antara Imam Projo dan Imam Religius dari Kongregasi/Ordo/Serikat, apa perbedaan antara Diakon dan Imam/Pastor. Ada juga pertanyaan seputar proses menjadi Imam: apakah butuh biaya, berapa lama pendidikannya.


Dari pertanyaan intern ini, ada juga yang berkaitan dengan gereja: Apa perbedaan antara Gereja Katolik Roma dan Gereka Katolik Ortodoks, Mengapa Pastor itu mesti menjadi Misionaris sementara di Indonesia ada kekurangan pastor.

Dari sini, tampak bahwa animasi sore ini selain bisa memperkenalkan siapakah saya, juga untuk memuaskan dahaga iman kami. Terima kasih untuk umat Stasi Petapahan yang meski jumlahnya sedikit tetapi banyak mengajukan pertanyaan.

Kiranya rentetan pertanyaan ini menjadi pembuka jalan bagi diskusi selanjutnya. Dahaga iman pun dilengkapi dengan dahaga raga kami melalui santap malam. Santapan ini menjadi berahmat Karena bertepatan dengan malam takbiran bagi umat Muslim yang esok akan merayakan Idul Adha, perayaan kurban. Kami ikut berbahagia pada Perayaan Kurban ini.

BM, 1/09/2017
Gordi  





Powered by Blogger.