Hari Minggu
ini (21 Nov.), kita merayakan pesta Raja Semesta Alam. Raja itu adalah Yesus.
Seorang raja adalah seorang yang memiliki kuasa. Yesus memiliki kuasa. Kuasa
atas seluruh jagat raya, seluruh alam semesta. Meski demikian, tampaknya Yesus
agak aneh. Betulkah Yesus aneh? Sangat aneh kalau kita melihatnya dari kacamata
manusiawi belaka. Bagaimana mungkin seorang raja disalibkan? Di mana kuasanya?
Bukankah hanya penjahat kelas kakap (mungkin juga kelas teri) yang wajar
disalibkan? Bukankah para koruptor saja yang menerima hukuman sesadis penyaliban
iu?
Yesus mungkin
keliru kalau kita hanya melihatnya dari sisi manusiawi saja. Ada dua pilihan
bagi Yesus ketika Ia berada (digantung) di salib. Pertama, Ia turun dari salib
supaya selamat. Kedua, Ia
tetap tergantung di salib, menderita, dan meninggal. Berhadapan dengan pilihan
ini, manusia (saya dan Anda) mungkin cenderung memilih yang pertama. Bisikan
manusia bergema, “Turun saja dari salib, mumpung saya punya kuasa untuk
menyelamatkan diri.” Mengapa harus menderita kalau memang ada kesempatan untuk
membebaskan diri sendiri? Lagi pula, pilihan pertama risikonya kecil
dibandingkan kedua (nyawa melayang). Lalu, mengapa Yesus memilih yang kedua?
Mungkinkah Yesus keliru? Bukankah pengandaian moral mengatakan pilihlah pilihan
yang risikonya kecil dari semua pilihan yang ada.
Teman-teman,
Yesus memilih yang kedua karena Ia sadar akan keberadaan dirinya. Dia sadar dan
tahu, Dia adalah utusan Bapa. Dia memilih pilihan yang kedua karena Ia ingin
mewujudkan kehendak Bapa yakni menjadi Penyelamat. Konsekuensi dari pilihan
menjadi Penyelamat adalah menanggung penderitaan. Yesus bisa saja turun dari
salib dan dengan kuasa-Nya mengelak dari penderitaan itu. Tetapi, Yesus diutus
bukan untuk itu. Ia tidak mau menyelamatkan hanya dirinya sendiri (turun dari
salib) karena Ia mau menyelamatkan semua orang. Inilah yang Ia tunjukkan kepada
banyak orang ketika berada di salib. Kesaksian Yesus untuk bertahan di salib
akan membuat banyak orang membuka diri. Pemimpin pasukan saja bisa membuka diri
melihat Yesus di salib, “Sungguh orang ini adalah orang benar.” Mampukah kita
menjadi seperti pemimpin pasukan ini?
Kacamata
manusiawi kita mungkin melihatnya dari sudut lain. Kacamata saya dan Anda
melihat seperti kacamata seorang penjahat di samping Yesus. Kalau memang
mempunyai kuasa mengapa Ia tidak menyelamatkan dirinya? Kehendak Bapa bukanlah
untuk itu. Kita bisa saja menghendaki seperti kehendak penjahat itu tetapi Bapa
menghendaki yang lain. Bapa justru menghendaki yang sebaliknya, Yesus menjadi
Penyelamat bagi semua orang. Menurut hemat saya, peristiwa salib ini menjadi
batu pijakan yang kuat bagi saya dan Anda dalam hal apa saja. Bapa sudah tahu
apa yang hendak Ia berikan kepada kita yakni apa yang perlu kita butuhkan.
Maka, jangan memaksakan kehendak kita kepada-Nya. Misalnya dalam doa. Sebaiknya
saya dan Anda jangan meminta apa yang kita inginkan sebab Bapa sudah tahu apa yang kita butuhkan. Yang kita butuhkan
adalah apa yang sungguh-sungguh kita perlukan. Itu yang Bapa berikan kepada
kita. Belajarlah dari pengemis yang meminta “supaya bisa melihat” dan bukan
meminta supaya diberikan uang. Pengemis itu tahu, “melihat” adalah hal yang
perlu bagi dia ketimbang “uang” yang gampang diperoleh dengan meminta-minta.
Maka, Yesus sama sekali TIDAK KELIRU. Kacamata manusia (saya dan Anda) mungkin
keliru tetapi kacamata Yesus sama sekali TIDAK KELIRU.
Teman-teman,
begitulah cara Yesus mencintai kita. Dia berkorban, nyawanya habis di salib.
Apakah kita mau dan terlibat aktif berkorban demi korban bencana Wasior,
Merapai, dan Mentawai? Mencintai sesama berarti “siap berkorban”. Itulah
hakikat cinta kasih Kristiani. Semoga…
Jakarta, 19 November 2010
Gordy Afri
Post a Comment