Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman mengenai topik berlalu lintas di Jakarta. Tema ini relevan tentu saja meskipun kadang-kadang tidak menyelesaikan persoalan. Paling akhir berujung pada wacana berlalu lintas. Akar tunggang permasalahannya tetap saja tertanam kuat dan sulit dicungkil. Sebab, membicarakan lalu lintas berarti menyentuh permasalahan seputar hayat hidup orang banyak. Meski demikian, kalau dihitung-hitung tema lalu lintas tetap menduduki posisi lima besar (hanya perkiraan sementara tanpa penelitian lapangan yang akurat) dalam perbincangan berbagai kaum di Jakarta. Tema ini sering dibicarakan karena orang selalu menghadapinya setiap hari. Maka, mau tidak mau mesti membicarakan dan mendiskusikannya terus menerus. Dari diskusi itu, kami menarik kesimpulan bahwa menjadi pengendara di Jakarta tidak cukup kalau hanya bisa mengendalikan kendaraan tetapi pengendara itu mesti lincah, cekatan, terlatih, terdidik, dan berani.
Suatu ketika, saya dan seorang teman ikut ambil bagian dalam berlalu lintas di jalur ramai. Ukuran jalan pas untuk dua kendaraan besar. Satu jalur. Di situ melintas kendaraan roda dua, tiga, empat, enam, dan lebih dari enam. Tak jarang truk pun kadang-kadang memotong jatah bus untuk ikut berkompetisi merebut penumpang. Mau bilang apa, truk berkerangka kuat, bergerak sedikit lamban karena beban terlalu berat. Kalau truk berada di depan bus maka bus terpaksa harus lambat. Kecuali kalau di bagian sebelah kosong. Pada umumnya seperti itu karena dua bagian jalan itu selalu dipadati kendaraan.
Tibalah saatnya duet bus berkompetisi di jalur itu. Start (kata ini sudah resmi diserap menjadi bahasa Indonesia, lih KBBI, 2008, 1375) dari garis nol. Lampu merah segera padam. Para pengendara bersiap-siap merebut posisi terdepan. Kendaraan kami ikut dalam kompetisi ini. Duet bus besar (Mayang Sari dan Kopaja) sama-sama menempati posisi terdepan di dua bagian jalan. Kami yang lain harus sabar. Bagaimana pun kecepatan mereka bisa dikalahkan dengan kecepatan kendaraan roda dua seperti yang kami gunakan. Duet maut di depan kami melaju sekencang mungkin merebut penumpang di halte berikutnya. Kami yang lain juga ikut melaju merebut posisi terdepan dan dengan harapan bahwa kami tiba di tempat tujuan dengan cepat. Semua kendaraan yang melintas begitu cepat. Malu donk kalau menjadi terbelakang dari semuanya. Risikonya jelas, berbahaya. Sebab, kompetisi ini dibayar dengan kehilangan nyawa.
Kami sudah mendekati duet maut di depan tetapi tidak bisa mendahului karena dua bagian jalan diisi semua. Mau mendahului tetapi tak ada ruang. Parahnya, Kopaja yang melaju tepat di depan kami tiba-tiba berhenti pada tempat yang bukan tempatnya berhenti. Dia tiba-tiba melaju dengan lambat dan berhenti. Kendaraan kami yang dalam posisi berkecepatan tinggi terpaksa menyesuaikan. Sulit. Tetapi di sinilah kemampuan seorang penegendara diuji. Pengendara yang lincah dan cekatan di semua medan jalan. Saya memperlambat (meski agak sulit) laju sepeda motor sambil melirik di spion kalau-kalau Mayang Sari sudah mendahului kami. Hanya ada dua pilihan bagi kami. Menabrak bagian belakang Kopaja atau merelakan diri menyerempet Mayang Sari di sebelah. Kami harus memilih satu dalam waktu yang begitu singkat. Pengandaian moral mengatakan, “Pilihlah yang buruk di antara pilihan yang terburuk.” Dalam artian bahwa, kami harus memilih pilihan yang risikonya kecil di antara pilihan yang berisiko besar. Menabrak Kopaja berarti kami siap terlempar ke luar jalan. Menyerempet Maya Sari berarti kami siap jatuh di tengah bahu jalan dan siap dilintas oleh kendaraan di belakang kami. Pilihan kami cenderung pada yang pertama. Tetapi, rupanya kami masih bisa melampaui keduanya. Maya Sari melaju dengan cepat. Dengan cepat pula saya memutar arah sepeda motor sehingga terhindar dari pantat Kopaja. Teman saya kaget. Rupanya dia mengukur posisi kalau-kalau saya menabrak Kopaja, sementara saya mengukur posisi kalau-kalau Maya Sari sudah mendahului kami sehingga kami bisa mengikutinya. Kami berhasil lolos dari dua cengkeraman duet maut.
Seandainya kami mengalami yang sebaliknya, apa reaksi orang-orang di sekitar kami? Saya jadi teringat kata-kata Yesus, kalau mau mengikuti Dia, kita harus berani kehilangan nyawa. Apakah kalau kami hilang berarti kami bisa mengikuti Yesus lagi? Tentu tidak. Kalau nyawa kami hilang saat itu, itu namanya mati konyol karena menjadi korban keganasan lalu lintas di Jakarta. Kejadian ini mirip dengan kata-kata Blaise Pascal (Filsuf Perancis dan ahli Matematika, 1623-62), “Dengan melewati segala tahap pengetahuan manusia sampai pada batas kemampuannya, berhadapan dengan misteri yang tak terbatas.” Kejadian tadi berada di luar perkiraan kami. Secara logika manusia kami bisa terserempet tetapi Dia yang Tak Terbatas itu bisa melindungi kami. Terima kasih Tuhan, pelindungku….
Jakarta, 13 November 2010
Gordy Afri
Post a Comment