Halloween party ideas 2015



Sejak adanya kehidupan di bumi ini, manusia tidak pernah hidup sendiri. Manusia mesti hidup dengan manusia lain. Adam dalam kisah, hidup dengan Hawa. Sang Pencipta tahu betul Adam tak bisa hidup sendiri. Manusia—siapa pun dia—selalu membutuhkan manusia lainnya. Bahkan ketika manusia mendekam di penjara pun, ia tetap membutuhkan sesamanya. Seorang teman di penjara beberapa waktu lalu berujar, “Meski tinggal di penjara, saya tetap berkomunikasi dengan keluarga.” Ini menadakan bahwa manusia membutuhkan manusia lainnya. Dengan demikian, salah satu kebutuhan dasar manusia adalah hidup dengan manusia lain.


Hidup bersama mengandaikan bahwa (semua) kebutuhan dasar terpenuhi. Minimal kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Manusia mau tak mau mesti memenuhi kebutuhan ini. Dalam satu kelompok sosial, kebutuhan ini menjadi tanggung jawab semua anggota kelompok. Semuanya berjuang untuk memenuhi tri kebutuhan dasar itu. Dalam perjuangan itu ada jatuh-bangun. Di sinilah peran anggota kelompok. Yang lemah dikuatkan oleh mereka yang masih mampu. Inilah solidaritas sosial.

Permasalahan muncul ketika anggota kelompok—dengan tahu dan mau—melupakan tanggung jawab untuk memperhatikan sesama. Munculnya penganggur misalnya merupakan muara dari kelupaan semua anggota kelompok akan tugasnya untuk memperhatikan sesama. Kita lihat para penganggur di negeri ini. Mereka adalah mereka yang terlupakan oleh kita semua. Mungkin ada yang berujar, “Kalau mau makan mesti bekerja dulu.” Saya kira ujaran semacam ini wajar dan sah-sah saja. Tetapi, cukupkah sampai di situ? Bagaimana dengan mereka yang tidak mempunyai pekerjaan? Persoalan dasarnya belum disentuh. Yang mesti dilakukan terlebih dahulu adalah memberi mereka pekerjaan. Maka ujaran berikutnya mesti berbunyi, “Seberapa besar sumbangan saya untuk menciptakan lapangan kerja di negeri ini?”

Menurut hemat saya, ini yang kadang-kadang dilupakan oleh penduduk negeri ini. Mental masyarakat kita masih banyak yang seperti mi instant. Dipanaskan beberapa menit saja langsung bisa dinikmati. Kebanyakan dari kita hanya mau bekerja di lapangan yang sudah ada tanpa menciptakan lapangan baru. Lebih parah lagi kalau kebanyakan dari kita tidak mau bekerja. Padahal untuk menciptakan lapangan perlu kerja keras. Ini yang justru sering dihindari oleh masyarakat kita. Banyak penganggur (orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap) datang ke Jakarta menjadi lebih menderita. Mungkin mereka mengira di Jakarta ini ada banyak lapangan kerja. Kalau pun ada, pekerjanya mesti berijazah atau berkemampuan tertentu. Apakah penganggur kita mampu memenuhi tuntutan para pemilik lapangan kerja di ibu kota? Lagi-lagi kalau tidak punya, kita tetap menjadi penganggur. Padahal jauh di daerah sana, mental pekerja keras itu tumbuh. Masyarakat daerah kita memiliki mental perkerja ulet dan pantang mundur. Tantangan bukanlah penghalang tetapi peluang untuk maju. Maukah penganggur kembali membangun lapangan kerja baru di daerah masing-masing? Lagi-lagi perlu mental pekerja keras bukan mental mi instant.

Banyaknya ekspor TKI keluar negeri adalah bukti nyata gagalnya usaha kita bersama untuk bertanggung jawab atas kehidupan sesama manusia. Bangsa Indonesia dan masyarakat Indonesia gagal dalam menjamin kesejahteraan bersama. Lebih parah lagi ketika kita gagal menyelamatkan Sumiati, asal Dompu, NTB dari ancaman kematian di negeri orang. Menurut hemat saya, kepergian Sumiati mesti menjadi bahan refleksi kita bersama. Bagaimana pun masing-masing dari kita mempunyai tanggung jawab moral untuk memperhatikan sesama kita. Maka beberapa pertanyaan pantas diajukan. Sejauh mana kita memperhatikan seama kita? Apakah kita terjerat dalam bahaya keangkuhan sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi manusia lain untuk menikmati kesejahteraan dalam negeri ini? Begitu egoiskah kita sehinga lupa dan menutup mata terhadap penderitaan orang lain? Ada banyak penganggur, ada banyak penderita karena bencana alam di Wasior, Mentawai, dan Yogya, ada banyak pasien di rumah sakit, ada banyak pengemis di jalan, ada banyak TKI yang telantar di dalam dan luar negeri, ada banyak perempuan yang dijual begitu saja seperti barang jualan, ada banyak penderita lainnya.

Abad yang lalu, seorang filsuf Yahudi, Emanuel Levinas (1906-1955) mengatakan bahwa “Yang lain bagiku adalah penampakan (epifani). Yang lain membuatku merasa terpanggil untuk berbuat baik.” Pertanyaan untuk kita, apakah Sumiati membuat kita merasa terpanggil untuk berbuat baik? Tentu berbuat baik kepada sesama manusia. Semoga kita mampu menyelamatkan Sumiati-sumiati yang lain, semoga tidak ada lagi Sumiati-sumiati yang lain. Jangan lupa kita semua mempunyai tanggung jawab moral untuk menyelamatkan Sumiati-sumiati yang lain dan juga yang mungkin menjadi Sumiati-sumiati yang lain.


Jakarta, 27 November 2010
Gordy Afri

Post a Comment

Powered by Blogger.