Orang buta disembuhkan |
Bayangkan orang buta sejak lahir. Dia tak pernah melihat indahnya dunia ini. Dia tidak tahu berbagai jenis warna. Banyak hal lain yang ia tidak tahu.
Orang buta masuk dalam golongan orang cacat fisik. Pembagian ini dilakukan oleh orang normal. Orang normal dalam hal ini adalah orang yang bisa melihat (lawan dari orang buta). Andai dunia ini didominasi orang buta, bukan tidak mungkin orang yang bisa melihat dianggap cacat.
Namun, jangan harap itu terjadi. Kecil kemungkinan. Orang buta memang dicap “cacat fisik” begitu saja oleh orang normal. Dari sudut orang normal, ia cacat fisik. Andai dia hanya tinggal dengan sesama orang buta, mungkin ia tidak digolongkan cacat.
Konon, orang Yahudi menganggap buta sebagai penyakit. Penyakit kutukan dari Allah. Apakah Allah mengutuk? Manusia yang buta—apalagi sejak lahir—diyakini sebagai korban dosa. Kalau seorang anak buta besar kemungkinan orang tua atau anggota keluarganya berdosa. Tak heran ketika melihat orang buta di pinggir jalan muncul pertanyaan “Siapakah yang berdosa, orang buta ini atau orang tuanya?”. *Semua gambar dari google images
Orang buta kerapkali disingkirkan dari masyarakat. Alasan kuat penyingkiran ini adalah merepotkan. Tak jarang banyak dijumpai orang buta di panti-panti. Penulis pernah tinggal dengan orang buta di salah satu panti asuhan di pinggiran kota Yogyakarta.
Syukur kalau orang buta dititipkan di panti. Masih ada orang yang memerhatikannya. Kalau tidak, betapa besar penderitaannya. Betapa ia disingkirkan jauh-jauh dari pergaulan sosial.
Ada beberapa orang buta yang penulis jumpai di panti itu. Beberapa dari mereka masih dikunjungi oleh keluarganya. Beberapa lagi tak pernah dikunjungi. Repot. Pihak panti bisa kewalahan kalau terjadi apa-apa.
Memang merepotkan tinggal dengan orang buta. Namun, apakah dia mesti disingkirkan? Bentuk penyinkiran itu serupa dengan anggapan orang Yahudi. Orang buta adalah orang berpenyakit maka disingkirkan. Kalau sekarang kita masih berpikir demikian maka kita tak ada bedanya dengan orang Yahudi zaman dulu. Maka, kita termasuk orang zadul dalam konteks ini.
Merawat orang buta tidaklah muda. Kata kuncinya adalah sabar dan setia. Penulis merasa takut melihat orang buta pertama kali. Selain karena beda, dia juga tidak bisa melihat. Menyuap nasi saja susah. Sendok yang dimasukkan ke mulutnya bisa saja meleset sehingga mengenai bagian hidung atau leher. Lagi-lagi di sini perlu kesabaran dan kesetiaan.
Orang buta bisa berinternet |
Orang buta merepotkan tidak sepenuhnya benar. Buktinya ada juga orang buta yang menghasilkan sesuatu. Ada yang bisa membuat kerajinan tangan dengan berbagai motif dari kain. Bahkan, di daerah Manggarai, Nusa Tenggara Timur, ada orang buta yang menjadi penyanyi kondang. Daniel Anduk namanya. Dia menghidupi dirinya dengan “menjual suaranya”. Berbekal gitar dan suaranya, dia menghasilkan beberapa kaset tep recorder yang bisa dijual. Lagunya laris manis di kalangan masyarakat Manggarai sampai tahun 1990-an.
Bagaimanapun, orang buta sejak lahir adalah manusia yang harus dihormati. Cap “cacat fisik” hendaknya tidak menambah penyingkiran. Mereka bisa tinggal dengan orang normal. Mereka bisa menghasilakan sesuatu. Maka, mereka tidak sepenuhnya merepotkan. Di satu sisi ya, sebab mereka terbatas. Sama seperti orang normal juga terbatas. Peran orang lain dibutuhkan demi kehidupan bersama.
Tak salah jika dikatakan, “Karya Tuhan sungguh nyata melalui orang buta”. Karya orang buta kadang luar biasa. Orang bisa kagum mendengar suara orang buta. Kok bisa ya? Padahal dia tidak pernah bertemu gurunya untuk melatih nyanyi. Penulis yang bisa menyanyi tetapi tidak sehebat Daniel Anduk hanya bisa kagum.
Maka, buta sejak lahir bukanlah penyakit. Kalau dianggap penyakit, itu hanya karena ada yang mencapnya demikian. Semua manusia sama di hadapan Tuhan. Tidak ada yang diciptakan karena penyakit.
(Tulisan ini terinsipirasi oleh Kisah Penyembuhan orang buta dalam Injil Yoh 9:1-41).
Cempaka Putih, 3 April 2011
Gordy Afri
Post a Comment