Sekadar mengingatkan kembali bahwa kisah Orang Samaria yang Baik Hati atau “The Good Samaritan” merupakan salah satu kisah favorit yang amat menarik dalam Kitab Suci. Kalau disimak dengan baik, kita memperoleh pelajaran berharga. Pelajaran yang adalah modal untuk mencapai hidup kekal, seperti dikatakan Injil hari ini. *gambar dari google images
Kisah ini (baca di Luk 10:25-37) menampilkan jarak antara dua keadaan yang berlawanan. Orang yang menderita dan orang yang mengalami kebahagiaan hidup. Orang menderita memiliki harapan besar untuk mengubah hidupnya. Sementara orang yang bahagia mempunyai peluang besar untuk membahagiakan sesama. Seorang pelancong yang mengalami luka pendarahan karena dipukul, hartanya dirampas habis-habisan, adalah orang yang menderita. Berlawanan dengan dia, ada orang Samaria yang bahagia, penuh belas kasihan, berjiwa solider, mau membantu sesama.
Bukan kebetulan kalau orang Samaria mau membantu dengan merawat, mengobati, memberi penginapan, membayar pemilik penginapan. Keduanya mempunyai jarak. Jarak itu menjadi dekat bagi keduanya karena The Good Samaritan ini mau mendekati pelancong itu. Beda dengan dua pendahulu (Imam dan seorang Lewi), yang melihat pelancong itu. Mereka mempunyai jarak yang jauh karena mereka melihat saja lalu melewatinya.
Bukan kebetulan kalau pelancong seperti dikisahkan tadi, berada di sekitar kita saat ini. Kisah ini diceritakan dulu. Namun, sampai sekarang orang seperti ini masih ada. Di perempatan jalan, di stasiun kereta, dan tempat umum lainnya kerapkali ditemui orang semacam ini. Kita dan mereka mempunyai jarak. Kalau kita mempunyai kemauan membantu, berarti kita mendekati sikap The Good Samaritan tadi. Kita menyaingi The Good Samaritan jika kita turun dari keadaan kita dan membantu dengan hati yang tulus. Dengan demikian, jarak antara kita dan mereka menjadi dekat.
Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaatnya di Roma (Rom 13:8-10;) mengatakan “Barang siapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum.” Dalam konteks itu, hukum yang dimaksud bisa jadi adalah hukum Taurat. Hukum yang menjadi patokan banyak orang waktu itu. Sekarang, hukum yang dimaksud adalah hukum Cinta Kasih. Membantu sesama yang lemah dan menderita adalah wujud Cinta Kasih.
Jauh sebelumnya, Nabi Yehezkiel ditugaskan untuk memperingatkan orang-orang sezamannya untuk bertobat (Yeh 33:7-9). Biasanya pertobatan itu mulai dari diri sendiri. Pepatah mengatakan, Ubahlah dirimu sebelum Engkau mengubah dunia. Sekali membantu mereka yang menderita, kita sudah sampai pada awal pertobatan. Perubahan hidup mulai dari situ. Ketika mengulang lagi tindakan yang sama, kita mulai masuk dalam pertobatan diri. Tindakan kita itu akan dilihat dan ditiru orang.
Bukan hanya itu. Dengan tindakan itu, kita menampilkan Wajah Allah yang penuh Kasih. Allah yang adalah Kasih membantu kita yang menderita. Namun, perlu mawas diri, jangan sampai kita mengharap imbalan dari tindakan itu. Kasih menuntut penyerahan total, bukan imbalan sebagai pamrih.
Sambil menekuni (membaca dan merenungkan) Kitab Suci dalam Bulan Kitab Suci Nasional tahun ini, kita berharap kepada Tuhan untuk menyingkirkan penghalang Sabda-Nya. Mencairkan hati kita untuk membantu sesama. Membimbing kita di jalan-Nya. Tuhan bercerita dan kita mendengar lalu mempraktikkannya.
Jakarta, 1 September 2011
Gordi Afri
Post a Comment