Bulan Agustus identik dengan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan yang tiap tahun dirayakan. Mulai dari rakyat kecil di pelosok kampung hingga pejabat tinggi di kota-kota besar dan di ibu kota negara, Jakarta. Namun, dari media masa, ada laporan kalau ada daerah tertentu (di dekat perbatasan) yang belum dan baru saja merayakan perayaan besar ini.
Tahun ini, bulan Agustus bukan saja identik dengan kemerdekaan. Saudari/a Muslim mengadakan ritual puasa. Maka, bulan Agustus (untuk tahun ini) idetik dengan bulan puasa (ramadhan). Dalam bulan puasa, saudari/a Muslim mau membebaskan diri (merdeka) dari nafsu duniawi. Jangan heran kalau makanan ada hanya saat buka puasa di sore hari.
Ada keunikan lain di bulan Agustus. Menjelang tanggal 17 muncul banyak pertanyaan di dunia maya dan media masa. Pertanyaan yang dominan seputar tema “kemerdekaan”. Ada yang bertanya, “Sudah merdekakah kita?” Jawabannya beragam. Ya, tidak, sebagian merdeka sebagian belum, dalam bidang tertentu ya, bidang lain tidak. Ada pula yang menguraikan “kemerdekaan” itu sendiri. Dulu, rakyat mau merdeka dari penjajah asing. Sekarang, rakyat mau merdeka dari penjajah dalam negeri.
Jauh dari pertanyaan abstrak seperti itu, ada hal yang mencolok di mata kita. Bulan Agustus identik dengan bendera Merah Putih. Di mana-mana, di kantor, pertokoan, perumahan, dan tempat umum lainnya, Merah Putih berkibar. Bahkan di gang-gang rumah rakyat, ada bendera Merah Putih. Meski ukurannya kecil dan terbuat dari bahan plastik. Ketika dipasang antara dua tiang, kumpulan bendera kecil ini menjadi pemandangan yang mencolok. Di kendaraan juga, ada kibaran Merah Putih.
Dari laporan media, diketahui bahwa, jumlah bendera yang berkibar tahun ini berkurang. Tahun lalu, di setiap gang, ada untaian panjang Merah Putih. Tahun ini, ada juga namun jumlah untaiannya sedikit. Selain itu, para penjual bendera tahun lalu lebih banyak ketimbang tahun ini. Begitu juga dengan laporan tukang jahit bendera. Tahun ini jumlah pesanan menurun ketimbang tahun sebelumnya.
Dari sini, bisa diketahui, sejauh mana geliat rakyat merayakan kemerdekaan bangsa ini. Ibarat orang yang tidak memiliki arah masa depan yang jelas. Bahkan kalau boleh dibilang, ada kemunduran geliat merayakan kemerdekaan. Secara umum, rakyat bisa saja jenuh dan kecewa dengan pencapaian pemerintah menyejahterakan rakyatnya. Mata rakyat melihat penyelesaian kasus korupsi yang tak kunjung selesai.
Selain itu, rakyat sediri mengalami kekecewaan lain. Kekecewaan yang menyentuh hidup harian mereka. Mereka yang menjadi nelayan merasa tidak diperhatikan. Tak ada upaya untuk memberdayakan kegiatan mereka. Para petani sawah merasa tidak dihiraukan perjuangan mereka. Hasil usaha mereka berhadapan dengan beras impor. Tak ada upaya untuk meningkatkan usaha mereka. Petani garam dijanjikan bantuan namun sekaligus juga pemerintah mengimpor garam. Barang kebutuhan rakyat lainnya juga diimpor. Jangan heran kalau di toko-toko ada buah-buahan impor, sepatu impor, pakaian impor, dan sebagainya. Kapan rakyat bisa puas dengan hasil usahanya?
Rakyat Malaysia, India, dan Korea bangga dengan hasil buatan dalam negerinya. Para pejabat diwajibkan memakai kendaraan buatan negeri sendiri. Rakyat pun ikut-ikutan lalu membanggakan hasil usaha mereka. Mereka bisa puas. Sebagian besar kebutuhan dalam negerinya dihasilkan rakyat sendiri. Indonesia agak beda. Ada banyak potensi di laut, udara, dan darat yang bisa diolah. Namun, pemerintah dan rakyat enggan menggalinya. Kapan Indonesia bangga dengan hasil karyanya?
Pertanyaan “sudah merdekakah kita”, agak sulit dijawab dengan “Ya, merdeka” dan sulit juga dijawab “Belum merdeka”. Di jalanan ada banyak mobil mewah. Akan ketahuan bahwa pemiliknya adalah orang berada. Kalau orang luar melihat banyak mobil mewah di jalan dan hanya mobil mewah di tol, akan muncul kesan Indonesia sudah kaya sudah merdeka. Kenyatannya???
Dari bidang pendidikan, ada kebanggaan terutama prestasi anak bangsa dalam olimpiade internasional. Namun, pendidikan Indonesia bukanlah soal memenangkan olimpiade. Itu hanya kebangaan sesaat saja. Secara keseluruhan, pendidikan Indonesia diwarnai komersialisasi. Biaya mahal, bertaraf internasional meski mutunya jauh dari kesan internasional. Kalau pendidikan sebagai agen of changes sebuah negara saja nasibnya begini, bagaimana bangsa ini bisa berubah?
Banyak orang Indonesia berprestasi yang tinggal di luar negeri. Peneliti unggul merasa dirinya tidak dihargai kalau tinggal di Indonesia. Penelitiannya tidak berkembang karena kekurangan dana penelitian. Mereka masih ingat Indonesia dengan sesekali mengadakan pertemuan bersama orang berprestasi. Namun, mereka tetap bekerja di (dan untuk) luar negeri.
Bagaimana mau mengelola kekayaan laut, kalau ahlinya tidak ada? Bagaimana mau mengeloala tambang kalau ahlinya harus didatangkan dari luar negeri? Bagaimana menyejahterakan masyarakat di sekitar lokasi tambang kalau hasil tambang dibawa ke luar negeri oleh pengelolanya dan sebagian ke pusat?
Ini hanya sekelumit potret bangsa Indonesia di hari ulang tahunnya ke-66. Pertanyaan sudah meredeka atau belumkah bangsa ini tidak perlu dijawab ‘ya’ dan ‘tidak’ secara singkat. Kondisi bangsa menjadi titik pijak untuk merefleksikan sejauh mana bangsa ini sudah merdeka dan sejauh mana belum merdeka. Tanpa mengurangi hasil debat pro merdeka dan pro belum merdeka, saya mengucapkan Selamat HUT ke-66 untuk bangsa Indonesia. Merdeka!!!!!
Jakarta, 27 Agustus 2011
Gordi Afri
Post a Comment