Hemat energi melalui cara berpakaian |
Tragedi itu
terjadi pada 11 Maret 2011 di Jepang. Bangunan hancur diterpa gelombang
tsunami, belasan bahkan puluhan ribu nyawa manusia terenggut. Tambah lagi
dengan ribuan nyawa yang dinyatakan hilang. Setelah gempa dan gelombang tsunami
itu, muncul banyak persoalan baru. Satu di antaranya adalah ledakan reaktor
nuklir yang membawa bahaya radiasi.
Enam bulan
berlalu. Trauma masih ada. Sarana untuk warga pun belum tuntas. Masih ada yang
tinggal di hunian sementara. Namun, kini Jepang bangkit lagi. Pemerintah dan
warga Jepang sedang memulihkan situasi dan kondisi. Semangat tahan uji
masyarakat Jepang terbukti dalam mengatasi bencana ini. Sekadar diketahui
selama abad XX dan XXI Jepang mengalami beberapa bencana alam dahsyat. Gempa
bumi Kanto 1923, Gempa bumi besar Hanshin-Awaji 1995, Gempa bumi Hokkaido 2003,
Gempa bumi Chūetsu 2004, Gempa bumi Iwate 2008, Gempa bumi Shizuoka 2009,
Gempa bumi Jepang 2010, dan Gempa
bumi dan tsunami Sendai 2011. Betapa semangat pemerintah dan masyarakat Jepang
teruji dan menjadi kuat melalui peristiwa ini. Semangat ini pula yang
membangkitkan mereka untuk membangun negeri.
Laporan
kolom intermezzo di TEMPO edisi 12-18 September 2011
memperlihatkan bagaimana pemerintah dan masyarakat mendukung rencana ini.
Sarana publik diperbaiki, seperti rel kereta api, bandara, terminal, dan sarana
lain. Selain itu, hunian sementara tetap disediakan. Masyarakat boleh
menggunakan hunian ini secara gratis sambil menunggu renovasi rumah. Ini yang
membuat masyarakat merasa nyaman untuk tetap tinggal di lokasi semula meski
kerapkali dilanda ancaman gempa.
Selain itu,
masyarakat mendukung dengan beberapa kebiasaan baru seperti penghematan energi
listrik. Lampu penerang di rumah dan jalan dihidupkan seperlunya saja.
Pendingin ruangan (Air Condition) di hotel dihidupkan dengan
suhu sedang dan pada waktu tertentu saja. toko-toko dan pusat belanja dibuka
setengah hari, tidak 24 jam seperti biasanya. Mereka juga menggunakan pakaian yang tipis agar tidak terlalu pamas. Ini semua demi mendukung program
penghematan energi listrik.
Sumbangan
lain juga muncul. Dari kaum tua sedang diusulkan program baru. Mereka menjadi
relawan untuk memperbaiki reaktor nuklir. Hitungan dampak radiasi yang akan
terjadi setelah 30-40 tahun sudah dipersiapkan. Kalaupun kena radiasi, mereka tidak
teralalu rugi karena umur mereka nanti sudah tua. Daripada mengirim relawan
muda yang masih usia produktif. Begitu prinsip mereka.
Para
perawat dan dokter juga tetap masuk rumah sakit meski suami dan anak mereka
menjadi korban bencana. Mereka berprinsip bekerja karena banyak yang
membutuhkan. Jangan heran kalau beberapa perawat Indonesia diminta dikirim ke
daerah bencana. Solidaritas dan semangat
juang yang tinggi.
Kita, bangsa
Indonesia yang berada di daerah gempa dan sering dilanda gempa dan bencana alam
lain bisa belajar dari bangsa Jepang. Kita sudah mengalami beberapa bencana
besar seperti Aceh (2004), Mentawai, Wasior, dan Yogyakarta (2010). Peristiwa ini
kiranya mematangkan persiapan diri kita menghadapi bencana alam. Ekspedisi
CINCIN API KOMPAS juga bisa
memperluas pemahaman kita tentang bencana alam. Setelah semuanya diketahui,
persiapan diri kitalah yang menjadi penentu utama. Bahaya bencana alam akan
selalu ada, tinggal saja bagaimana kita menghadapinya. Alam boleh bergejolak,
nyawa manusia tetap diselamatkan semaksimal mungkin.
Cempaka
Putih, 22 September 2011
Gordi Afri
Post a Comment