Halloween party ideas 2015

FOTO, news.liputan6.com
Mengapa duniaku ini kacau? Pertanyaan ini mengantarku ke alam yang luas. Mulai dari negeriku sendiri. Negeriku ini kacau. Tak ada lagi pemimpin. Yang ada hanya pemberontakan. Di mana-mana, kaum ibu dan anak-anak jadi korban. Aku dan kaumku dipaksa jadi prajurit perang. Mau atau tidak, wajib hukumnya. Aku pun terjun dalam dunia perang. Tak terhitung jumlah korban yang kutembak. Aku pun tak mau ingat mereka. Betapa tidak, aku membunuh mereka karena aku bernafsu. Entah dari mana datangnya nafsu ini. Yang jelas—saat itu—mereka adalah musuhku. Dan, intuisi inilah yang mendorongku menghabiskan nyawa mereka. Sejenak nafsu itu beranjak.

Aku kembali ke rumah. Rumah jiwaku. Rumah tempatku tinggal tidak ada lagi. Di sana—aku lihat—hanya ada puing-puing. Rumahku yang dulu jadi tempat mainanku, kini jadi segumpal tanah. Entah kapan terjadi. Aku tak ingat. Di atas gumpalan itu, ada darah korban. Entah siapa korbannya. Entah keluargaku, ibuku, adikku, ayahku, kakek, nenekku, atau tetanggaku. Tak ingat. Tak lihat dengan mataku. Tetapi, temanku bilang, “Tanah ini adalah tanah korban. Darah keluarga kita, dan terutama, keluargamu, tumpah, di sini.”

Aku tertegun dan sedih. Mengapa keluargaku seperti itu? Ke mana aku harus pergi sekarang? Tidak adalagi kah keluargaku? Tentu saja masih ada. Keluarga kini adalah mereka yang tinggal di sampingku. Keluarga tidak perlu dibatasi dalam sekat, rumah, agama, suku, ras, dan negara. Kelak, aku pun akan merasakan betapa keluarga itu tidak hanya mereka yang serumah dengan mereka. Keluarga itu sebenarnya sekumpulan orang saja. Itulah sebabnya, keluarga itu bisa dibangun di mana saja. Tentu bisa juga dibubar kapan saja. Tetapi, lebih baik keluarga tidak perlu dibatasi dalam sekat, yang sewaktu-waktu bisa dibangun dan dihancurkan. Keluarga ya hanya satu dan abadi selamanya. Keluarga itu ibarat cinta sehidup semati.

Tak perlu aku bertanya di mana keluargaku. Kini, aku hidup bersama keluargaku. Mereka yang hidup di sekitarku. Meski, dalam hati, bayangan akan kebersamaan dengan bapak, ibu, dan adik-adik, masih kuat dalam benakku. Mereka bagai penghias hidup harianku. Rasanya hidup tanpa mereka tidak banyak berarti. Namun, aku tak mau mencari arti hidup. Toh, hidup jadi berarti jika dijalani. Bukan diingat. Bukan dinostalgia. Bukan diratapi. Bukan. Aku hanya ingin hidup. Aku hanya ingin menatap masa depanku. Perang yang bernafsu itu mungkin akan menghambatku. Betapa, saat aku bernafsu, semua orang di sekitarku jadi musuh yang harus kutembak. Senjata itu begitu angkuhnya. Keluarga pun bisa dihabisinya. Ah, betapa jahatnya dunia ini. Aku tak ingin nafsu itu datang lagi. (bersambung).

PRM, 11/5/15
Gordi

*Didedikasikan untuk imigran dari negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa. 

dari postingan di kompasianaPINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA 

Post a Comment

Powered by Blogger.