FOTO, news.liputan6.com |
Mengapa
duniaku ini kacau? Pertanyaan ini mengantarku ke alam yang luas. Mulai dari
negeriku sendiri. Negeriku ini kacau. Tak ada lagi pemimpin. Yang ada hanya
pemberontakan. Di mana-mana, kaum ibu dan anak-anak jadi korban. Aku dan kaumku
dipaksa jadi prajurit perang. Mau atau tidak, wajib hukumnya. Aku pun terjun
dalam dunia perang. Tak terhitung jumlah korban yang kutembak. Aku pun tak mau
ingat mereka. Betapa tidak, aku membunuh mereka karena aku bernafsu. Entah dari
mana datangnya nafsu ini. Yang jelas—saat itu—mereka adalah musuhku. Dan,
intuisi inilah yang mendorongku menghabiskan nyawa mereka. Sejenak nafsu itu
beranjak.
Aku
kembali ke rumah. Rumah jiwaku. Rumah tempatku tinggal tidak ada lagi. Di
sana—aku lihat—hanya ada puing-puing. Rumahku yang dulu jadi tempat mainanku,
kini jadi segumpal tanah. Entah kapan terjadi. Aku tak ingat. Di atas gumpalan
itu, ada darah korban. Entah siapa korbannya. Entah keluargaku, ibuku, adikku,
ayahku, kakek, nenekku, atau tetanggaku. Tak ingat. Tak lihat dengan mataku.
Tetapi, temanku bilang, “Tanah ini adalah tanah korban. Darah keluarga kita,
dan terutama, keluargamu, tumpah, di sini.”
Aku
tertegun dan sedih. Mengapa keluargaku seperti itu? Ke mana aku harus pergi
sekarang? Tidak adalagi kah keluargaku? Tentu saja masih ada. Keluarga kini
adalah mereka yang tinggal di sampingku. Keluarga tidak perlu dibatasi dalam
sekat, rumah, agama, suku, ras, dan negara. Kelak, aku pun akan merasakan
betapa keluarga itu tidak hanya mereka yang serumah dengan mereka. Keluarga itu
sebenarnya sekumpulan orang saja. Itulah sebabnya, keluarga itu bisa dibangun
di mana saja. Tentu bisa juga dibubar kapan saja. Tetapi, lebih baik keluarga
tidak perlu dibatasi dalam sekat, yang sewaktu-waktu bisa dibangun dan
dihancurkan. Keluarga ya hanya satu dan abadi selamanya. Keluarga itu ibarat
cinta sehidup semati.
Tak
perlu aku bertanya di mana keluargaku. Kini, aku hidup bersama keluargaku.
Mereka yang hidup di sekitarku. Meski, dalam hati, bayangan akan kebersamaan
dengan bapak, ibu, dan adik-adik, masih kuat dalam benakku. Mereka bagai
penghias hidup harianku. Rasanya hidup tanpa mereka tidak banyak berarti.
Namun, aku tak mau mencari arti hidup. Toh, hidup jadi berarti jika dijalani.
Bukan diingat. Bukan dinostalgia. Bukan diratapi. Bukan. Aku hanya ingin hidup.
Aku hanya ingin menatap masa depanku. Perang yang bernafsu itu mungkin akan
menghambatku. Betapa, saat aku bernafsu, semua orang di sekitarku jadi musuh
yang harus kutembak. Senjata itu begitu angkuhnya. Keluarga pun bisa
dihabisinya. Ah, betapa jahatnya dunia ini. Aku tak ingin nafsu itu datang
lagi. (bersambung).
PRM,
11/5/15
Gordi
*Didedikasikan untuk imigran dari
negara-negara Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik, di Benua Eropa.
dari postingan di kompasiana , PINGIN HIDUP BAHAGIA SEPERTI MEREKA
Post a Comment