FOTO, shutterstock |
Di
sudut gedung berlantai lima itu, kami bertemu. Dia menyelinap pelan di depan
mataku. Aku baru saja masuk gedung ini. Melewati dua pintu utama. Satu
berdinding kaca tembus pandang dan satu lagi pintu berkomando jarak jauh. Tepat
di depan pintu itu kami bertemu.
“Ke
mana kok bawa buku segala,” kataku padanya.
“Biar tampak seorang akademikus, (sambil lalu
dia tertawa).”
Ya, dari buku itu. Katanya biar kelihatan
akademikus. Maksudnya, mereka yang berkecimpung dalam bidang
akademik-pendidikan. Jadi, entah dia baca atau tidak buku itu, itu tidak
diperdebatkan. Dia hanya menunjukkan bahwa dia membawa buku. Dengan membawa
saja, dia beranggapan, dia akan dianggap seorang akademikus. Orang yang
melihatnya akan segera tahu tentang ini. Orang juga tidak bertanya-tanya
siapakah seorang akademikus. Mereka paham jika seorang akademikus adalah
seorang berintelek. Dan, orang berintelek biasanya membaca banyak buku.
Dengan
menunjukkan buku, dia merasa dirinya sudah jadi orang berintelek. Lalu,
bagaimana dengan intelek muda? Maksudnya anak muda yang kemana-mana juga
membawa buku. Yang di dalam kereta atau bis membaca buku. Apakah mereka juga
berintelek dan bertitel kaum akademikus? Dari definisi ini memang bisa
dimasukkan ke situ. Mereka toh membawa buku. Mereka mau menunjukkan bahwa
mereka juga masuk kaum akademikus.
Demikian
suatu pagi, kubertemu seorang gadis remaja. Dia duduk dekatku di kereta. Dia membawa buku.
Kebetulan kulit buku itu menarik. Gambar pemandangan indah. Aku pikir mungkin
buku tentang perjalanan. Aku
penasaran ingin bertanya. Dan memang aku bertanya pada gadis itu. Rupanya
tebakanku salah. Buku itu adalah novel. Menceritakan kisah cinta dua remaja di
taman idaman. Ah rupanya cerita menarik yang terjadi di tempat
menarik juga.
Dan
dari novel menarik itu, kami bisa ngobrol asyik dalam waktu 45 menit dalam
kereta itu. Rupanya dia suka baca novel. Seminggu bisa satu novel. Tergantung
jumlah halaman dan kesempatan yang ia miliki. Waktu libur biasanya dia habiskan
untuk membaca. Tentu pertama dia mengerjakan tugas sekolahnya. Baginya, membaca
novel mesti dilakukan setelah mengerjakan tugas kuliah. Novel seperti
dinomorduakan begitu. Meski dinomorduakan, novel itu membuatnya bisa berkenalan
denganku. Hemmm sebenarnya akulah yang ingin berkenalan dengannya.
Dua
orang ini membawaku ke alam buku. Aku memang suka baca buku. Juga sedikit
memamerkan bahwa aku suka baca buku. Sesekali membawa buku di jalan, di kereta,
di bis sekolah. Di pesawat tidak. Aku mau menikmati pemandagan saja kalau di
pesawat. Atau sesekali membaca majalah. Dengan membawa buku—meski belum
membacanya—aku dianggap berakademis. Padahal, belum tentu aku membaca buku itu.
Tetapi paling tidak, aku telah menunjukkan bahwa aku juga suka buku. Sama-sama
suka jadinya saling berkenalan. Ah gara-gara buku.
PRM,
31/5/15
Gordi
SEBELUMNYA:
BUKU ITU GURUKU
Post a Comment