FOTO, iodonna.it |
Saya
kira tidak ada seorang perempuan yang melupakan bayinya. Jika ia yakin itu bayi
dari kandungannya, ia pasti menyanyanginya. Jika tidak, ia mungkin enggan
menyanyanginya dan mudah melupakannya. Tetapi, pada dasarnya seorang ibu
menyanyangi anaknya dan juga anak-anak lainnya. Di sinilah seorang ibu menampilkan
naluri mengasuhnya.
Beberapa
waktu lalu, kami makan malam bersama teman-teman. Bersama kami, anak muda,
orang tua, juga anak-anak, dan beberapa yang masuk kategori tua (60-70 an).
Tetapi yang tua ini datang dengan jiwa muda. Saat itu, setelah membereskan
semua perlengkapan kamar makan, menata meja-kursi, dan menata jenis makanan
yang ada, saya bermain-main dengan beberapa anak kecil usia 8-12 tahun. Satu di
antara mereka suka main sulap dan tebak-tebakan. Saking sukanya, dia mengajak
saya menyaksikan sulapnya. Saya tidak berhasil menjawab semua pertanyaannya
dari tebakan itu. Kadang-kadang saya sengaja tidak menjawabnya supaya dia juga
tetap semangat menunjukkan tebakan berikutnya. Saya juga mengajak seorang teman
saya yang suka menyulap dan suka main tebak. Jadilah mereka dua ramai sekali
dalam permainan ini. Saya malah jadi penonton saja sejak keikutsertaan teman
saya. Tidak apa-apa. Saya hanya mengawasi saja biar ada pekerjaan juga.
Di
dalam ruangan suasananya ramai sekali. Makin banyak orang yang datang. Kami
menyingkir ke luar. Kami bermain sulap di dekat salah satu pintu masuk. Saya
menjadi jembatan antara mereka yang di dalam dan kami yang di luar. Anak kecil
ini makin asyik bermain sulap sampai-sampai dia tidak mau meninggalkan begitu
saja para penontonnya. Lama-lama, kami keasyikkan bermain sulap ini.
Sesekali
ibunya melihat kami. Ibunya yakin anaknya tidak terjadi apa-apa karena dia
sedang bermain dengan kami. Ibunya pun tidak mengkhawatirkan anaknya. Dia asyik
bercerita dengan teman-temannya di meja makan. Kami juga lanjut bermain. Meski
ibu ini yakin sekali, dia tetap memerhatikan anaknya. Sesekali dia bangkit dari
kursinya dan memastikan bahwa anaknya sedang dalam pengawasannya. Dia rupanya
kurang yakin jika kami memberitahukan bahwa anaknya sedang bermain dengan kami.
Dia datang langsung dan menyaksikan permainan kami. Kemudian, dia kembali ke
tempat duduknya.
Anaknya
lalu pergi ke toilet yang jaraknya kira-kira 80 meter dari tempat kami bermain.
Entah apa yang dirasakan ibu ini, dia datang kembali. Dengan senyum manisnya
dia seperti yakin sekali akan melihat anaknya. Padahal, anaknya sedang tidak
bersama kami. Lalu, dia bertanya pada saya, “Di mana Daniela (nama samaran) ?”
Karena
dengan senyum dia bertanya, maka saya juga menjawabnya dengan senyum dan dengan
nada meyakinkan.
“Daniela
sedang ke toilet bu. Jangan khawatir dia sedang bermain bersama kami.”
Ibu
ini menganggukkan kepala sambil tersenyum, “Okelah, saya percaya dia baik-baik
saja bersama kalian di sini,”katanya sebelum kembali ke tempat duduknya. Kami
pun senang mendengarnya dan juga lega.
Tindakan
ibu ini kiranya didasarkan pada naluri
mengasuh. Ya, seorang ibu tidak akan pernah melupakan anaknya sekalipun
anaknya berbuat jahat. Seorang Ibu dari dalam hatinya sudah memancarkan naluri
mengasuh ini. Isaia dalam kutipan awal tulisan ini melukiskan naluri mengasuh
seorang ibu. Isaia dalam hal ini sedang menggambarkan betapa naluri mengasih
seorang ibu begitu kuat. Isaia mengatakan mungkin seorang ibu melupakan
bayinya. Ini tentu hanya sebuah perbandingan. Kenyataannya, tidak ada seorang
ibu pun yang melupakan anaknya. Kalau pun kita pernah mendengar seorang ibu
membunuh dan melupakan anaknya, ibu itu bertindak melawan naluri mengasuhnya.
Dalam bahasa filsafat moral, ibu itu bertindak melawan hati nuraninya. Hati
nuraninya tetap mempunyai naluri mengasuh dan menyanyangi anaknya. Maka, jika
ia melupakan, ia sebenarnya bertindak melawan nuraninya. Dan, boleh jadi, dia
bertindak demikian karena desakan dari pihak luar apa pun bentuknya. Sebagai
konsekuensi lanjutnya, ibu ini pasti akan selalu diganggu oleh bayang-bayang
gelap tindakan melawan hati nuraninya ini.
Maka,
saya paham mengapa ibu ini tidak puas melihat anaknya dari tempat duduknya. Dia
mesti melihat langsung. Dia mesti meyakinkan dirinya dan memastikan bahwa,
anaknya sedang dalam pengawasannya dan bukan pengawasan orang lain. Dia yakin,
tak cukup jika kami saja yang mengawasi anaknya.
Ah
betapa ibu ini menyangangi anaknya. Terima kasih bu untuk tindakan konkretmu
ini. Semoga banyak ibu yang konsisten mengasuh anaknya dan tidak tergoda untuk
memberikan tugas ini pada pengasuh. Ibu ini kiranya mengkritik para ibu modern
yang lebih asyik kelihatan tak beranak daripada mengasuh anaknya secara
langsung. Ibu ini juga mengkritik para wanita modern yang enggan mengasuh anak
karena merepotkan. Ibu ini sudah menunjukkan senyumnya saat mengasuh anak. Ia
seolah-olah mengatakan, mengasuh anak itu mengasyikkan lhoo.
Buktinya dia mengasuh sambil tersenyum.
Ah
ibu senyummu memang menawan. Dan, sambil mengingat senyummu ini, saya selalu
mengingat tindakanmu, mengasuh dengan senyum.
PRM, 26/5/15
Gordi
Post a Comment