Halloween party ideas 2015
Showing posts with label Resensi Buku. Show all posts

Baru saja berlalu dari lalu lintas media, pemberitaaan tentang demo besar-besaran di Timur Tengah (Tunisia, Yaman, Libya, Mesir Yordania, dsb). Tidak hanya sebatas demo, gerakan itu berujung pada perang. Perang yang melenyapkan nyawa banyak orang. Prajurit yang terlibat langsung dalam peperangan dan juga warga sipil tak bersalah. Jauh sebelumnya, di awal abad 20, terjadi perang besar-besaran di Eropa. Perang ini pun mengorbankan ratusan ribu bahkan sampai jutaan prajurit. Belum terhitung korban warga sipil dan korban yang ditawan, disiksa, dan ditahan. Dari sini muncul istilah Perang Dunia I (1914-18) dan II (1939-45).

Di Indonesia, kisah tentang perang itu dikenal-luas melalui tulisan seorang wartawan kawakan. Dialah P.K.Ojong SH, yang menulis buku Perang Eropa jilid 1-3. Selain sebagai wartawan, dia dikenal sebagai guru, cendikiawan, pemerhati sejarah dan budaya, dan wiraswastawan. Buku ini merupakan kumpulan serial tulisan Ojong yang dimuat di majalah mingguan Star Weekly (Djakarta) tahun 1950-an. Enam puluhan tahun lalu dia menulis, tujuh tahun lalu Penerbit Buku Kompas membukukannya, dan sekarang saya baru saja selesai membacanya (buku jilid 1). Pembaca tulisan ini pun mungkin lebih dulu dari saya membaca buku ini. Dalam dunia akademik, tak ada kata terlambat untuk mulai membaca literatur apa saja. Apalagi kumpulan tulisan ini baru dibukukan. Dengan kata lain, masih ada banyak kesempatan untuk membaca buku ini.

Di mana-mana perang selalu menuntut korban. Prajurit akan bangga jika ada lawan yang meninggal. Dia akan dikenang sebagai pahlawan. Apalagi kalau korban meninggal itu adalah pemimpin prajurit. Mematikan  lawan menjadi harga mati yang mesti dikejar mati-matian. Boleh dibilang tiap prajurit perang mempunyai target mematikan lawan. Bahkan kalau perlu lebih dari satu.

Perang Eropa juga demikian. Ratusan ribu bahkan jutaan nyawa lenyap. Ada yang mati ditembak, dihanguskan bersama bom, hilang bersama pesawat tempur, tenggelam bersama kapal, mati membeku karena kedinginan es, dan sebagainya. Belum terhitung korban sipil akibat salah-sasaran. Menurut Ninok Leksono dalam Pengantar buku ini, Perang Eropa menewaskan sekitar 50 juta, dengan separuhnya dari Uni Soviet (Ninok Leksono dalam Pengantar P.K.Ojong, Perang Eropa Jilid 1, 2003: xxx).

Sejenak kita tengok perang dunia I yang berlangsung 4 tahun. Perang ini dalam arti tertentu merupakan “kekalahan” bagi negara Jerman. Kalau Jerman kalah, siapakah yang menang? Pemenag utama Perang Dunia I adalah Perancis (Ninok Leksono dalam Pengantar P.K.Ojong, Perang Eropa Jilid 1, 2003: xxvii). Selain itu, perang itu diakhiri dengan Perjanjian Versalles (1919). Perjanjian itu berisi demikian. Jerman tidak boleh mempunyai kapal perang yang lebih besar dari 10.000 ton. Jumlah tentara Jerman tidak boleh lebih dari 100.000 orang dan dilarang mempunyai tank yang adalah ciptaan Inggris pada Perang Dunia I. (P.K.Ojong, Perang Eropa Jilid 1, 2003: 2 dan 99). Selain pembatasan jumlah dan kemampuan militer Jerman, perjanjian ini juga memerintahkan Jerman untuk menyerahkan beberapa wilayahnya kepada negara tetangga, Perancis dan Polandia. Bagaimana reaksi Jerman terhadap isi perjanjian ini?

Secara garis besar, Perang Eropa (atau juga disebut Perang Dunia II) melibatkan beberapa kubu negara. Italia dengan Jerman melawan Inggris-Amerika. Amerika-Inggris (alias Sekutu) melawan Jepang. Sementara “Belgia diserbu oleh Inggris-Perancis” (P.K.Ojong, Perang Eropa Jilid 1, 2003: 28). Selain itu, ada beberapa negara yang terlibat antara lain Rusia-Soviet, Perancis, dan Polandia. Perancis dan Polandia berpihak pada Amerika-Inggris. Kelompok ini dinamakan Sekutu.  Demikian juga dengan Rusia. Di luar sekutu ada 3 negara pemegang kendali yakni Italia dan Jerman serta Jepang. Bisa diduga karena korban banyak dan luasnya wilayah perang muncullah nama Perang Dunia.  

Beberapa tokoh sentral yang terlibat dalam perang ini adalah Benitto Mussolini (Italia), Adolf Hitler (Jerman), Joseph Stalin (Rusia), Winston Churchill (Inggris), Franklin Roosevelt (AS), Władysław Sikorski (Polandia), Hideki Tojo (Jepang), dan Chiang Kai-Shek (Cina). *Semua foto dari google images

Kita kembali ke Perjanjian Versalles.
Rupanya Jerman tak menggubris isi perjanjian ini. Bahkan Adolf Hitler merobek Perjanjian Versailes pada 1935. Saat itu, ia membentuk beberapa divisi panser (P.K.Ojong, Perang Eropa, Jilid 1, 2003: 3). Bahkan 5 tahun sebelumnya, Jerman membikin pocket battleship yang mempunyai meriam-meriam dari 11 inchi atau 28 cm diameter (P.K.Ojong, Perang Eropa Jilid 1, 2003: 99). Kalau pun kalah dalam Perang Dunia I, Jerman tidak takut memulai perang baru. Perang Dunia II merupakan ambisi Jerman untuk menguasai wilayah Eropa. Kalau dilihat dengan jeli, di sini tampak kaitan antara Perang Dunia I dan II. Selain itu, Perang Dunia II pada gilirannya nanti mewariskan Perang Dingin. Dalam Perang Dingin, pihak Sekutu tercerai-berai. Mereka balik menyerang Hitler. (Lih, Ninok Leksono dalam Pengantar P.K.Ojong, Perang Eropa Jilid 1, 2003; xxx-xxxi).

Kemajuan Teknologi
Saya lebih tertarik melihat kemajuan teknologi di balik peperangan ini. Perang ini boleh dibilang sebagai ajang lomba perkembangan teknologi. Jerman dengan kegesitan para sarjana dan insinyurnya, menciptakan dan memperbarui peralatan perangnya. Demikian juga dengan Amerika dan Inggris serta Uni Soviet dan Italia.

Perhatikan pada halaman 239-40. Perseteruan perkembangan teknologi melalui U-Boat (Kapal Selam Jerman) dan FUMB (alat penangkis baru Jerman). Dikisahkan bahwa U-Boat berlayar dengan menggunakan motor diesel di permukaan laut pada malam hari. Siang hari dia bersembunyi di bawah air. Jadi, agak sulit menelusuri jejak kapal ini. Namun, Inggris tidak kehilangan akal. Ia mempunyai radar yang bisa menelusuri gerak-gerik kapal ini. Tertangkaplah kapal ini ketika mendadak disoroti lampu senter dari pesawat.

Meski demikian, sarjana Jerman menciptakan alat baru, FUBM, yang dapat menunjukkan saat mana kapal ini berada di wilayah radar pihak lawan. Namun, ini bukan solusi sempurna sebab masih ada celah. Pilot pesawat masih bisa meminta bantuan melalui udara dan laut untuk melacak dan mengejar kapal selam ini. Dan, diketahui pula bahwa, pada tahun 1943, para sarjana Sekutu menemukan sebuah alat untuk mencegat U-Boat dengan radar yang mengirim gelombang yang tidak dapat ditangkap oleh  FUMB.  Berlomba mencapai yang lebih.

Ini hanya sebuah contoh. Perkembangan lain dalam menjawabi perkembangan zaman itu adalah pembuatan torpedo jarak jauh oleh teknisi Angkatan Laut Italia, Letnan-Muda Teseo Tesei dan Elios Toschi tahun 1935 (P.K.Ojong, Perang Eropa, Jilid 1, 2003: 255). Torpedo ini dikemudikan oleh manusia katak.



Situasi saat ini
Dari sini dapat diketahui bahwa, ada perkembangan teknologi di beberapa negara yang terlibat perang. Kini, Rusia sudah menghasilkan banyak teknisi yang menjangkau angkasa. Begitu pula dengan Jerman, Amerika, Inggris, Perancis, dan Italia.

Di Asia sendiri ada Jepang. Menjadi pelajaran berharga bagi Jepang ketika kapalnya berhasil ditaklukkan oleh Sekutu. Juga ketika dua kota (Hiroshima dan Nagasaki) mereka dibombardir bom.  Kini, Jepang pun mengalami perkembangan teknologi yang sangat pesat. Meski baru-baru ini teknologi nuklir Jepang hancur dan merugikan banyak orang, perkembangan teknologi lainnya tidak musnah. Berapa jenis kendaraan yang dibuat Jepang cukup handal dan selalu diperbarui. Sebut saja Yamaha, Mitsubishi, Suzuki, Kia, Hyundai dan sebagainya.

Alangkan baik kalau Indonesia belajar dari peristiwa ini. Kemajuan teknologi memang mampu menyokong dan mempercepat mobilitas manusia. Teknologi robot kini tren di beberapa universitas di Indonesia. Baru-baru ini, sudah mulai muncul peserta kontes robot dari beberapa universitas seperti ITB, UGM, UI, ITS, dan yang lainnya. Jika ini dikembangkan, model teknologi lain di tanah air pun bermunculan.

Kalau Indonesia bisa membuat kapal laut handal dan pesawat yang handal, wilayah negara ini aman. Tak ada lagi kapal asing yang mencuri ikan dan menjarah pelaut kita. Indonesia membutuhkan sarana itu saat ini. Maraknya pencurian ikan oleh kapal asing semestinya menggugah hati anak bangsa untuk menciptakan kapal perang yang berkualitas. Dari segi kecepatan dan ketepatan dalam membidik musuh.

Namun, ada sisi lain di balik itu. Perkembangan teknologi semestinya kembali pada tujuan utamanya yakni mempercepat mobilitas manusia. Kapal perang tadi sebagai contoh. Dia ada untuk menjaga keutuhan wilayah laut dan menggertak musuh. Jangan sampai teknologi itu malah merugikan manusia. Seperti kita lihat dalam bahaya perang di atas. Meski manusia bukan target utama. Sebagai pengendali teknologi itu, manusia juga menjadi target secara tak langsung. Target lawan adalah teknologi itu. Namun, teknologi dan operatornya tidak dipisahkan. Lawan menargetkan penghancuran kapal perang. Namun mereka belum bisa menyelamatkan manusia yang ada dalam kapal itu. Jika nyawa manusia selalu di atas, semestinya kapal hancur tetapi manusianya selamat. Tiap perkembangan memang mengingatkan kita akan dualitas dampak perkembangan itu.

Cempaka Putih, 29 Juni 2011
Gordi Afri



Judul : Ketika Burung-burung Berhenti Berdoa
Penulis: Anthony Harton
Penerbit: Fidei Press, Jakarta, 2006
Tebal: viii +97 halaman

Hidup doa merupakan tema yang tak akan habis dibahas. Ketika kita mencoba mendefinisikan doa dengan sebuah batasan tertentu muncul definisi lain yang menandingi atau melengkapinya. Ini berarti bahwa hidup doa itu sendiri mempunyai kekayaan spiritual yang mesti dicari terus menerus. Pertanyaan mendasarnya adalah untuk apa (sebenarnya) kita berdoa?

Mendengar kata “doa” bayangan kita langsung tertuju pada Dia di seberang sana. Ada yang menyebutnya Tuhan, Dewi/a, Guru, dan sebagainya. Intinya kita membayangkan relasi manusia dengan Dia yang menciptakan manusia dan mempunyai kekuatan yang tak sebanding dengan manusia. Dalam relasi itu terjadi komunikasi. Agar relasi itu kuat kita mesti (perlu) berdoa. Sebab, “Berdoa perlu dan penting karena dengan doa kita menjalin komunikasi dengan Tuhan” (hlm. vii).

Buku KETIKA BURUNG-BURUNG BERHENTI BERDOA bukan buku petunjuk praktis bagaimana berdoa. Meskipun mesti diakui pula bahwa dengan membaca buku ini pola doa kita bisa saja berubah. Penulis buku ini menjadikan karyanya sebagai “bahan renungan, media pengingat, reminder tentang hal-hal yang mestinya kita lakukan, dan juga hal-hal yang sudah kita kerjakan agar hasilnya lebih baik lagi bagi siapa saja yang berada di sekeliling kita” (hlm. vii).

Ada banyak buku tentang petunjuk praktis berdoa. Namun, kita tentu saja tidak puas dengan satu cara berdoa. Kita ingin mencari cara yang cocok untuk kita. Kecocokan ini pun dinamis. Kadang cara A cocok ketika kita berdoa di tempat A dan belum tentu di tempat B. Singkatnya kecocokan itu tergantung situasi dan tempat kita berdoa.

Menurut pembacaan saya atas buku ini, penulis buku membagi dua kelompok orang berdoa. Kelompok pertama menganggap doa sebagai kegiatan ala kadarnya karena merupakan rutinitas belaka. Sementara kelompok kedua menganggap doa sebagai sebuah kebutuhan dan sebagai bentuk ungkapan syukur dan hormat pada Tuhan (Bdk. Hlm vii).  Keduanya melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari. Yang terpenting—menurut hemat saya—adalah tindak lanjut dari doa kita. Di situ dengan mudah kita bisa lihat keseriusan orang berdoa. Penulis buku ini melukiskan dengan tepat tentang hal ini. “Di samping berdoa, kita juga harus tetap berkarya, bertindak praktis dan tepat terutama pada saat-saat penting” (hlm. vii).

Buku ini mempunyai kelebihan yang berguna bagi pembaca yakni kisah-kisahnya (ada 36 kisah) menarik dan mudah dicerna. Kisah-kisah yang diangkat dari kehidupan sehari-hari. Simak saja kisah nomor 7 Sepiring Teh Panas dan 22 Aku Ingin Mengubah Dunia. Cerita nomor 7 menggambarkan hati manusia bagai sebuah piring yang berisi teh panas. Teh panas menggambarkan masalah yang dihadapi manusia. Teh itu baru bisa diminum ketika dingin karena berada di piring ketimbang di gelas. Sementara cerita nomor 22 berisi nasihat untuk mengubah diri sebelum mengubah dunia. Ini sebuah unsur baru yang ditampilkan buku ini.

Selain itu, pada akhir kisah, penulis mencantumkan kutipan berisi nasihat atau inti kisah. Ada yang ditulis sendiri oleh penulis buku (misalnya kisah nomor 1,4, dan 5) dan ada pula yang diambil dari kebijaksanaa Zen, (misalnya kisah nomor 2,18, dan 27), kata-kata bijak tokoh tertentu (Robert Kenedy, Douglas Mallock, keduanya dikisahkan dalam bagian kisah nomor 8) atau dari cerita rakyat (CR Jepang pada kisah nomor 10 dan sebuah kisah dari Filipina pada nomor 36 ). Nasihat-nasihat bijak ini membanty pembaca memahami makna sebuah pengalaman dan kisah.

Buku yang ditulis dengan kosa kata yang mudah dimengeri dan didesain dengan lukisan menarik pada bagian luar ini menjadi lebih lengkap jika semua kisah diakhiri dengan kutipan berupa nasihat atau inti kisah. Entah mengapa, penulis tidak mencantumkan nasihat di akhir beberapa kisah. Misalnya kisah nomor 12 (?),13,15,23,29,31,32,33,34. Mungkin penulis mempunyai alasan tertentu yang tidak dicantumkan dalam buku ini.

Selain itu, judul buku tampaknya belum diterangkan kepada pembaca. Judul itu rupanya dibuat sendiri tanpa ada kaitan langsung dengan judul 36 kisah di dalamnya. Tak satu pun dari 36 kisah yang memberi judul KETIKA BURUNG-BURUNG BERHENTI BERDOA. Ada satu kisah yang mirip yakni KETIKA AKU BERHENTI BERDOA, kisah nomor 17. Mungkin kata “Burung-burung” mau menggani kata “Aku”(?).

Kekurangan lain yang kiranya perlu diperhatikan pada cetakan atau edisi berikutnya yakni susunan daftar isi. Susunan yang sesuai hanya pada kisah nomor 1 sampai11. Dalam kisah selanjutnya mulai ada kekeliruan. Misalnya kisah nomor 12 dan 13 ditulis berada di halaman 26 dan 28 padahal keduanya berada di halaman 27 dan 29.

Namun, ini hanya hal teknis yang tidak mengurangi mutu isi buku. Buku ini cocok dibaca oleh siapa saja yang ingin memperkaya pengalaman tentang hidup doa dan menyegarkan kisah-kisah harian. Buku ini bisa menjadi inspirasi dan menjiwai setiap aktivitas kita dengan doa.

Cempaka Putih, 17 April 2011
Gordy Afri


Powered by Blogger.