TENTANG PENUMPANG YANG MEMILIH DIAM DI ANGKUTAN KOTA
Seorang ibu tampak ketakutan. Ia tidak berbicara dengan teman di sampingnya. Tiap kali ada penumpang baru masuk, dia selalu melihat ke kiri dan ke kanan, mengenali wajah penumpang lain. Ia tetap diam hingga tiba di tempat tujuannya. Begitulah kondisi di bis kota, Metromini, beberapa waktu lalu.*Gambar: google images
Kebanyakan penumpang angkutan umum di Jakarta memilih untuk diam. Mereka diam ketika berhadapan dengan orang baru. Budaya inisiatif untuk menyapa hilang. Mereka akan sibuk dengan keasyikannya sendiri ketika berada di dalam mobil atau kereta. Di dalam Metromini, saya temukan para penumpang yang diam. Anak mudi/a sibuk dengan HP atau MP3-nya, yang tua diam saja tanpa berkomentar. Di dalam bis Transjakarta juga sama. Penumpang berdesakan. Setelah mendapat tempat duduk, kebanyakan memilih untuk diam, tidak peduli dengan teman di samping. Mereka yang berdiri juga sama. Mereka hanya melihat pemandangan di luar bis, atau bergeser ketika ada penumpang lain yang hendak menempati tempat di samping, depan, dan belakangnya.
Hal yang sama terjadi dalam kereta. Selain duduk/berdiri berdesakan, penumpang juga berhadapan dengan pengamen, penjual, dan pengemis. Di tiap stasiun, ada satu (kelompok) oknum yang tidak dikenal yakni pencopet jalanan. Dia (mereka) pun diam, tidak berbicara dengan korban. Yang naik sibuk mencari tempat duduk, yang turun sibuk membereskan barang bawaan, yang mencopet sibuk mencari korban. Yang berbicara hanya mereka yang sudah berkenalan.
Diam berarti misteri. Diam berarti banyak hal. Namun, diam di dalam angkutan umum adalah diam karena curiga dan takut. Curiga terhadap teman di samping. Sebab, teman dalam sekejap saja bisa jadi lawan. Takut terhadap pencopet jalanan. Menurut pengakuan beberapa teman, mereka diam di angkutan umum karena takut. Bayangan tentang pencopet menjadi bayangan yang menakutkan. Kasus-kasus pencopetan jalanan pun kian marak. Ada pencopet yang menggaet kalung emas penumpang di stasiun kereta, ada penodong yang mengancam korban yang sedang berduaan dengan temannya demi mendapatkan sepeda motor, ada pencopet yang menggaet tas korban ketika bersama-sama melaju di jalan, ada pencopet yang membobol ATM, dan sebagainya.
Bayangan pencopet yang menakutkan ini membuat kebanyakan penumpang diam. Diam dan berjaga-jaga agar selamat dari pencopet. Diam sambil menaruh curiga terhadap teman di samping. Ketakutan membungkam mereka untuk diam, tidak mau berbicara, menyapa dengan teman di samping. Ada beberapa teman mengatakan ketakutan bisa hilang pelan-pelan ketika kita bisa berbicara dengan teman penumpang di samping. Saat itulah dia tidak merasa sendiri. Namun, ini tidak mudah. Hanya untuk menyapa saja tampaknya sulit. Ada juga yang “memasang” tampang muka bengis sehingga pencopet takut. Padahal yang namanya pencopet itu tidak mengenal korban, tidak mengenal orang baik/jahat.
Kapan lagi penumpang bisa berbicara? Apakah tunggu pencuri lenyap dari angkutan umum? Mungkin saja. Tetapi, hal itu sulit ditebak. Pencuri datang tanpa kenal waktu. Lebih baik kita tetap mau menyapa dengan teman penumpang lain daripada kita menunggu pencopet lenyap dari angkutan umum. Pekerjaan kita (hanya) menyapa. Dari (tegur) sapa, kita berkenalan. Setelah kenal, kita bisa berbagi cerita. Kalau sampai bercerita, kita tidak takut lagi. Meskipun, kita tetap was-was. Boleh curiga namun jangan sampai kecurigaan kita terlalu besar sampai kita tidak bisa menyapa. Memilih berjalan bersama teman tampaknya lebih nyaman karena kita bisa bercerita. Namun, tak jarang kita mesti pergi sendiri. Kita bisa saja beda tujuan bepergian dengan teman sehingga tidak bisa pergi bersama. Oleh karena itu, mari kita saling menyapa dengan siapa saja.
Cempaka Putih, 27 Februari 2011
Gordy Afri