foto dari google |
Beberapa waktu lalu, kami di komunitas menonton dan mendiskusikan sebuah film menarik yang berjudul “Invictus”. Artinya “tak terkalahkan”. Film ini membuat kami antusias dan memberi sejumlah inspirasi. Di tengah hiruk-pikuk perjuangan negeri kita tercinta Indonesia ini, kami justru menemukan sosok pemimpin yang mampu mengubah situasi (reformator). Inspirasi film ini membuat saya bertanya, mungkinkah Indonesia mempunyai seorang reformator saat ini? Jawabannya mungkin. Hanya saja siapakah orangnya. Negara ini membutuhkan reformator. Kalau tidak, kita akan terhanyut dalam perdebatan tak berujung dan peristiwa-peristiwa yang membuat telinga kita panas mendengarnya.
Petualangan sang reformator
Nelson Rolihlahla Mandela atau dikenal dengan Nelson Mandela lahir di Mvezo, Transkei, 18 Juli 1918. Sekarang dia berusia 93 tahun. Ia adalah anak pertama dari keluarganya yang mengikuti sekolah. Pada umur 16 tahun (1934) dia mulai berkenalan dengan kebudayaan Barat ketika mengenyam pendidikan di Clarkebury Boarding Institute. Tempat lain yang membuat wawasan berpikirnya berkembang adalah Forth Hare University, di mana ia menentang kebijakan universitas dan dikeluarkan; University of South Africa, Johannesburg; University of the Witswatersrand, tempat ia mengambil kuliah di bidang hukum. Selain itu dia pernah menjadi aktivis dan ikut dalam African National Congress (ANC) atau Kongres Nasional Afrika tahun 1942. Di sini dia mulai menggagas aktivitas antiapartheid (pemisahan atau perbedaan ras).
Mandela memulai karirernya menjadi pengacara muda kemudian menjadi ketua ANC. Berbagai aktivitas antiapartheid membawanya ke penjara selama 27 tahun di Robben Island. Ia dibebaskan pada 11 Februari 1990. Dia dan Presiden Frederick Willem de Klerk (menjabat selama 20 September 1989-10 Mei 1994) mendapat hadiah Nobel Perdamaian pada 1993. Mandela adalah presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan yang terpilih pada 10 mei 1994. Ia menjabat selama 5 tahun (10 Mei 1994-16 Juni 1999). Ia turun ketika warga menilainya gagal memberantas penyakit AIDS yang merebak saat itu. Anaknya Makgatho Mandela menjadi korban AIDS pada 6 Januari 2005.
Berpaling ke Afrika Selatan
Mandela adalah contoh reformator ulung. Seperti pejuang antiapartheid (anti Rasisme) lainnya misal Malcom X di Amerika, Mandela menghadapi berbagai tantangan. Sejak menjadi pengacara muda, dan menjadi ketua ANC, dia sudah dihadapkan dengan yang namanya tantangan. Perjuangan memang menjadi unik ketika dihadapkan dengan tantangan. Puncak perjuangan Mandela adalah ketika dia dipenjara selama lebih kurang 27 tahun. Waktu yang matang untuk membentuk sebuah pemikiran. Apa daya cita-cita Mandela terbendung ketika dia mendekam di dinding tembok penjara. Meski demikian dia tidak mundur. Dalam penjara dia mengatakan dia bersedia mati untuk visinya (membebaskan Afrika Selatan dari apartheid.)
Film “Invictus” hanyalah sebagian dari bentuk perjuangan Mandela. Film ini menampilkan perjuangan Mandela untuk mempersatukan Afrika Selatan melalui olahraga yakni permainan Rughby. Mandela memberi kepercayaan kepada kapten untuk mengharumkan nama Afrika Selatan. Sesuatu yang unik. Kapten dan sebagian besar pemain rughby berkulit putih, hanya satu pemain yang berkulit hitam. Mandela menaruh kepercayaan pada sang kapten. Dia pun tidak ragu-ragu dengan rendah hati mengundang sang kapten ke kantornya untuk “minum teh” bersama. Dia juga mengajak para pemain untuk turun ke seluruh pelosok tanah air, melihat langsung kondisi negeri, mencari bibit pemain, dan meminta dukungan warga.
Indonesia dan Mandela
Film ini cocok ditonton oleh kaum pemimpin di negeri ini (Indonesia). Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari “bunga kehidupan” sang reformator ulung ini. Melihat kondisi masyarakat kita saat ini yang diliputi berbagai masalah kemiskinan, cuaca tidak menentu, harga pangan naik, kejahatan, dan sebagainya, sudah saatnya pemerintah turun tangan. Gaya kepemimpinan Mandela bisa diterapkan di Indonesia. Kaum pemimpin misalnya berani turun tangan mengentas kemiskinan, memebri dukungan kepada para petani untuk meningkatkan produksi pangan. Selain itu kaum pemimpin perlu turun tangan melihat langsung tantangan yang dihadapi nelayan dan masyarakat kecil lainnya, dan membuat langkah konkret untuk membantu mereka.
Mandela tahu betul kondisi masyarakat dan negaranya. Dia pun tidak segan memanfaatkan potensi yang ada. Alangkah baik kalau kaum pemimpin memanfaatkan potensi di negeri ini dan memberi semangat kepada rakyat untuk mendukung upaya ini. Potensi laut yang bisa memperkaya para nelayan dan masyarakat lainnya. Bahkan dengan perjuangannya, para nelayan kita bisa menjaga kawasan terluar negeri ini. Potensi angin dan matahari yang bisa digunakan untuk pembangkit listrik. Akhirnya semuanya kembali kepada kita semua (pemerintah dan rakyat), apakah kita mau berubah? Mau menjadi reformator dalam setiap tugas dan profesi kita? Tidak cukup membuka mata tetapi mesti bertanya, apa yang bisa saya lakukan dengan ini semua?
Cempaka Putih, 6 Februari 2011
Gordy Afri
sayapun berharap akan ada pemimpin seperti Mandela.mudah2an pemilu kali ini akan menghsilkn pemimpin yang benar2 dapat menjadi panutan.
ReplyDeletebetul banget Neng Hera, kita bisa belajar dari tokoh ini
Deleteterima kasih udah mampir, salam hangat
sulit rasanya negara kita memiliki pemimpin seperti Mandela. Mandela adalah seorang pemimpin yang sangat memperjuangkan rakyatnya, sementara pemimpin di kita ? hanya sebagian yang mementingkan rakyatnya. Semoga suatu saat kelak negara kita mempunyai pemimpin seperti beliau, Nelson Mandela.
ReplyDeleteMas Roti, terima kasih sudah mampir, harapan kita sama
ReplyDeleteSAlam